Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RESEP mengobati penyakit kronis pada tata niaga bawang putih sebenarnya sederhana: menghapus kuota impor. Tak hanya rentan ditunggangi para pemburu rente, saban tahun, sistem kuota impor justru memicu gangguan pada ketersediaan pasokan dan stabilitas harga bawang putih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kisruh kelangkaan bawang putih yang terjadi sekarang menjadi buktinya. Setidaknya hingga Jumat, 17 Mei 2024, sebanyak 14 dari 19 pasar induk kekurangan pasokan bawang putih. Dalam sepekan, rata-rata stok di semua pasar induk tersebut hanya 151 ton, merosot dari biasanya 191 ton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Walhasil, kenaikan harga bawang putih, yang gejalanya muncul sejak Maret 2024, makin tak terkendali. Badan Pangan Nasional mencatat, per 22 Mei 2024, harga rata-rata nasional bawang putih di tingkat pedagang mencapai Rp 42.830 per kilogram, jauh di atas batas harga eceran tertinggi Rp 32 ribu per kilogram. Rata-rata harga bawang putih di wilayah Indonesia bagian timur bahkan sudah menembus Rp 65 ribu per kilogram.
Biang masalahnya justru pemerintah. Sejak akhir tahun lalu, pemerintah menetapkan alokasi impor bawang putih 2024 sebanyak 645.025 ton. Namun, seperti pada tahun-tahun sebelumnya, realisasi rencana impor tersebut terhambat perizinan yang serba birokratis. Importir kudu mengantongi surat persetujuan impor dari Kementerian Perdagangan sebelum bisa memboyong bawang putih dari luar negeri. Sebelum itu, mereka juga harus mendapatkan rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) dari Kementerian Pertanian.
Persoalan muncul ketika proses birokrasi tersebut tersendat. Hingga 16 Mei 2024, Kementerian Perdagangan baru menerbitkan surat persetujuan impor 349 ribu ton bawang putih kepada 56 perusahaan. Belasan importir di antaranya baru memperoleh persetujuan pada awal Mei. Akibatnya, dalam lima bulan terakhir, tingkat realisasi impor bawang putih tak sampai seperempat dari total alokasi tahun ini.
Tentu saja, sudah bisa diduga, seretnya realisasi impor tak semata-mata disebabkan oleh urusan administrasi. Temuan terbaru Ombudsman RI menunjukkan adanya dugaan maladministrasi dan penyelewengan wewenang dalam perizinan impor bawang putih. Ombudsman mendapat pengakuan importir bahwa mereka diminta membayar komisi Rp 4.500-5.000 per kilogram jika ingin proses persetujuan impor di Kementerian Perdagangan lancar. Syarat wajib tanam dalam mekanisme pemberian RIPH di Kementerian Pertanian juga dianggap rawan praktik korupsi.
Pemerintah perlu segera menghapus sistem kuota impor bawang putih yang terbukti banyak mudaratnya. Tata niaga bawang putih tidak kompleks. Kebutuhan bulanannya cenderung stabil sehingga permintaan pasar mudah ditakar. Sumber pasokan terbesarnya sejak dulu juga jelas. Impor tak mungkin dihindari karena komoditas pangan ini tak cocok dibudidayakan di wilayah dengan iklim tropis seperti Indonesia.
Artinya, tugas memastikan ketersediaan pasokan dan menjaga stabilitas harga komoditas bawang putih sebetulnya tidak sulit. Pembebasan impor akan memaksa importir berkompetisi sehingga tercipta harga yang adil sesuai dengan mekanisme pasar. Pemerintah tinggal mengawasi persaingan tersebut agar tak melahirkan praktik monopoli dan kartel yang dampaknya tak kalah berbahaya bagi ekonomi. Memang, resep ini hanya bisa diterapkan oleh pemerintahan yang tak mudah ditunggangi para pemburu rente.
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Penyakit Kronis Tata Niaga Bawang Putih"