TANGGAL 13 dan 20 Desember 1975 TEMPO memuat tulisan-tulisan
mengenai kewarganegaraan RI yang perlu didudukkan pada
proporsi sebenarnya.
1. Tidak benar tulisan Sdr. MH Husino SH bahwa dalam UUD 1945
tidak dikenal pengertian Indonesia aseli. Pasal 26 dengan tegas
menyebutkan bahwa orang-orang bangsa Indonesia aseli dengan
sendirinya menjadi warganegara, sedang yang peranakan (istilah
yang dipergunakan dalam Penjejasan UUD) melalui Undang-undang
(in casu No. 62 tahun 1958).
2. Tidak benar uraian Bapak AR Baswedan bahwa kewarganegaraan RI
menganut azas ius soli (yang lahir di Indonesia dengan sendirinya
jadi warganegara, kecuali kalau menolak). Asas tersebut tercantum
pada pasal 5 Rancangan persetujuan perihal pembagian warganegara,
yang merupakan salah satu lampiran dari Statut Uni
Indonesia-Belanda. Padahal Uni tersebut sudah lama bubar!
3. Keadaan benar-benar ruwet waktu lahir Undang-undang No. 2
tahun 1958 tentang Persetujuan Perjanjian antara RI dan RRT
mengenai soal Dwikewarganegaraan. Pokoknya yang peranakan
Tionghoa menjadi warganegara RRT juga, tetapi tidak ada, seorangpun
yang memprotes apalagi membuat polemik di majalah atau surat
kabar. Sebabnya: karena undang-undang tersebut juga memberi
perlakuan khusus untuk hanya menjadi WNI dalam jangka waktu agak
lama. Demikian dinyatakan dalam Tambahan Lembaran Negara No. 2891.
Salah-satu perlakuan khusus tersebut adalah: Pemerintah RI tidak
diberi hak untuk mengadakan saringan terhadap mereka yang
akan jadi warganegaranya. Sudah tentu itu membahayakan keselamatan
Negara, dan untuk mencegah bahaya laten tersebut. Undang-undang
tersebut dicabut dengan Undang-undang No. 4 tahun 1969.
4. Sekarang menjadi warganegara Indonesia hanya melalui
Undang-undang No. 62 tahun 1958. Dan siapa yang belum melaksanakan
atau telah melaksanakan secara keliru (yaitu dengan undang-undang
yang dicabut tadi) harus melaksanakan atau mengulangi. Kalau sudah
menjadi WNI melalui Undang-undang No. 62 tahun 1958, bolehlah
menyebut-nyebut pasal 27 UUD 1945 tentang kesamaan kedudukan,
sebaliknya juga kesamaan dalam kewajiban. Pasal inilah yang jadi
titik-tolak tulisan Sdr MH Husino SH yang akan menyesatkan orang
awam di bidang hukum. Orang harus lahir dulu, baru minta baju.
Jangan dibalik: sudah minta baju, padahal lahirpun belum.
5. Sudah tentu Pemerintah tidak akan menutup mata bagi
pribadi-pribadi yang benar-benar berjasa buat Perjuangan Bangsa
Indonesia, antara lain seperti pengangkatan Bapak AR Baswedan
selaku Perintis Kemerdekaan. Tetapi kiranya sangat berkelebihan
kalau semua peranakan lalu minta mendapat perlakuan (hak) khusus,
tanpa mau menghiraukan pengabdian (kewajiban) kepada Bangsa dan
Negara Indonesia.
Harus dicamkan, pengabdian yang berarti adalah kepada Bangsa dan
Negara Indonesia, dan bukan kepada Bapak-bapak pejabat yang
kecipratan rezeki dan biasanya ada "udang di balik batunya".
6. Dapat dipahami pendirian Bapak AR Baswedan maupun lain-lainnya
(baik Tionghoa, Belanda maupun Arab) yang tidak mau mengganti
namanya. Masalah penggantian nama sebagaimana dimaksudkan dalam
Keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1966 yo. Keputusan
Presiden No. 423 th. 1968, hanya bersumber pada Undang-undang
No. 4 th. 1961 tentang Perubahan atau Penambahan Nama Keluarga.
Dari konsiderans (pertimbangan) undang-undang ini ternyata bahwa
perubahan atau penambahan nama keluarga tersebut adalah bertalian
dengan catatan sipil (burgelijke stand) yang erat hubangannya
dengan masalah kependusukan (ingezetenschap). Jadi tidak
bersumber pada Undang-undang No. 62 th 1958 mengenai
kewarganegaraan. Karenanya hanya dengan mengganti nama saja,
janganlah sekali-kali merasa sudah menjadi warga negara Indonesia.
7. Sdr. Kabul Kaswardi seyogyanya membedakan ketiga pengertian
bangsa, yaitu: dalam arti ethnis, politis dan ketatanegaraan.
Bangsa Indonesia dalam arti ethnis adalah anak-cucu keturunan
para pendatang dari Khmer yang beberapa ribu tahun yang lalu
hijrah dan mendiami kepulauan Nusantara ini. Yang diam di Jawa
menyebut diri suku Jawa, yang diam di Ambon menyebut diri suku
Ambon dan lain-lain. Bangsa Indonesia dalam arti potitis lahir
setelah adanya Sumpah Pemuda, yaitu ketika mereka yang tergabung
dalam Jong Sumatranen Bond, Jong Java, Jong Ambon dan lain-lain
bersumpah: Satu Tanah air Indonesia, Satu Bangsa Bangsa
Indonesia dan Satu Bahasa Bahasa Indonesia (28 Oktober 1928).
Saya hargai sekali kejujuran Bapak AR Baswedan bahwa para
peranakan Arab baru 6 tahun kemudian (4 Oktober 1934) mengikuti
jiwa sumpah pemuda tersebut. Bangsa Indonesia dalam arti
ketatanegaraan adalah yang menurut Hukum Tatanegara RI disebut
warganegara. Yaitu orang-orang Indonesia asli dan mereka yang
telah menempuh jalan melalui Undang-undang No. 62 tahun 1958 di
atas.
Maka dari itu usul Sdr. Kabul Kaswardi agar dipergunakan
perkataan suku untuk mereka yang semula termasuk pengertian
peranakan sama sekali tidak beralasan. Sebab di satu pihak
Pemerintah memang bermaksud tetap memelihara kebudayaan suku-suku
Minang, Tapanuli, Bali dan lain-lain, sebaliknya menjadi appeal
seluruh rakyat Indonesia agar yang telah menjadi warganegara
benar-benar hidup dengan jiwa dan kepribadian Indonesia. Kita
lebih senang menjumpai seseorang yang tetap mempergunakan nama
aslinya (seperti AR Baswedan) tetapi sudah dengan jiwa dan
kepribadian Indonesia, dari pada seseorang yang sudah ganti nama
mirip dengan nama Pangeran dari Kraton Jawa, tetapi mental dan
tingkah lakunya masih mengikuti norma-norma negeri leluhur.
JOEWONO SH
Jl. Prof. Dr. Soepomo. SH No. 52
Jakarta Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini