Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pri dan non pri: warga negara ...

Pengertian tentang indonesia asli dan peranakan, serta penjelasan tentang undang-undang. dapat dikatakan wni bila sudah melaksanakan ketentuan uu no.62 tahun 1958. (kom)

27 Maret 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANGGAL 13 dan 20 Desember 1975 TEMPO memuat tulisan-tulisan mengenai kewarganegaraan RI yang perlu didudukkan pada proporsi sebenarnya. 1. Tidak benar tulisan Sdr. MH Husino SH bahwa dalam UUD 1945 tidak dikenal pengertian Indonesia aseli. Pasal 26 dengan tegas menyebutkan bahwa orang-orang bangsa Indonesia aseli dengan sendirinya menjadi warganegara, sedang yang peranakan (istilah yang dipergunakan dalam Penjejasan UUD) melalui Undang-undang (in casu No. 62 tahun 1958). 2. Tidak benar uraian Bapak AR Baswedan bahwa kewarganegaraan RI menganut azas ius soli (yang lahir di Indonesia dengan sendirinya jadi warganegara, kecuali kalau menolak). Asas tersebut tercantum pada pasal 5 Rancangan persetujuan perihal pembagian warganegara, yang merupakan salah satu lampiran dari Statut Uni Indonesia-Belanda. Padahal Uni tersebut sudah lama bubar! 3. Keadaan benar-benar ruwet waktu lahir Undang-undang No. 2 tahun 1958 tentang Persetujuan Perjanjian antara RI dan RRT mengenai soal Dwikewarganegaraan. Pokoknya yang peranakan Tionghoa menjadi warganegara RRT juga, tetapi tidak ada, seorangpun yang memprotes apalagi membuat polemik di majalah atau surat kabar. Sebabnya: karena undang-undang tersebut juga memberi perlakuan khusus untuk hanya menjadi WNI dalam jangka waktu agak lama. Demikian dinyatakan dalam Tambahan Lembaran Negara No. 2891. Salah-satu perlakuan khusus tersebut adalah: Pemerintah RI tidak diberi hak untuk mengadakan saringan terhadap mereka yang akan jadi warganegaranya. Sudah tentu itu membahayakan keselamatan Negara, dan untuk mencegah bahaya laten tersebut. Undang-undang tersebut dicabut dengan Undang-undang No. 4 tahun 1969. 4. Sekarang menjadi warganegara Indonesia hanya melalui Undang-undang No. 62 tahun 1958. Dan siapa yang belum melaksanakan atau telah melaksanakan secara keliru (yaitu dengan undang-undang yang dicabut tadi) harus melaksanakan atau mengulangi. Kalau sudah menjadi WNI melalui Undang-undang No. 62 tahun 1958, bolehlah menyebut-nyebut pasal 27 UUD 1945 tentang kesamaan kedudukan, sebaliknya juga kesamaan dalam kewajiban. Pasal inilah yang jadi titik-tolak tulisan Sdr MH Husino SH yang akan menyesatkan orang awam di bidang hukum. Orang harus lahir dulu, baru minta baju. Jangan dibalik: sudah minta baju, padahal lahirpun belum. 5. Sudah tentu Pemerintah tidak akan menutup mata bagi pribadi-pribadi yang benar-benar berjasa buat Perjuangan Bangsa Indonesia, antara lain seperti pengangkatan Bapak AR Baswedan selaku Perintis Kemerdekaan. Tetapi kiranya sangat berkelebihan kalau semua peranakan lalu minta mendapat perlakuan (hak) khusus, tanpa mau menghiraukan pengabdian (kewajiban) kepada Bangsa dan Negara Indonesia. Harus dicamkan, pengabdian yang berarti adalah kepada Bangsa dan Negara Indonesia, dan bukan kepada Bapak-bapak pejabat yang kecipratan rezeki dan biasanya ada "udang di balik batunya". 6. Dapat dipahami pendirian Bapak AR Baswedan maupun lain-lainnya (baik Tionghoa, Belanda maupun Arab) yang tidak mau mengganti namanya. Masalah penggantian nama sebagaimana dimaksudkan dalam Keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1966 yo. Keputusan Presiden No. 423 th. 1968, hanya bersumber pada Undang-undang No. 4 th. 1961 tentang Perubahan atau Penambahan Nama Keluarga. Dari konsiderans (pertimbangan) undang-undang ini ternyata bahwa perubahan atau penambahan nama keluarga tersebut adalah bertalian dengan catatan sipil (burgelijke stand) yang erat hubangannya dengan masalah kependusukan (ingezetenschap). Jadi tidak bersumber pada Undang-undang No. 62 th 1958 mengenai kewarganegaraan. Karenanya hanya dengan mengganti nama saja, janganlah sekali-kali merasa sudah menjadi warga negara Indonesia. 7. Sdr. Kabul Kaswardi seyogyanya membedakan ketiga pengertian bangsa, yaitu: dalam arti ethnis, politis dan ketatanegaraan. Bangsa Indonesia dalam arti ethnis adalah anak-cucu keturunan para pendatang dari Khmer yang beberapa ribu tahun yang lalu hijrah dan mendiami kepulauan Nusantara ini. Yang diam di Jawa menyebut diri suku Jawa, yang diam di Ambon menyebut diri suku Ambon dan lain-lain. Bangsa Indonesia dalam arti potitis lahir setelah adanya Sumpah Pemuda, yaitu ketika mereka yang tergabung dalam Jong Sumatranen Bond, Jong Java, Jong Ambon dan lain-lain bersumpah: Satu Tanah air Indonesia, Satu Bangsa Bangsa Indonesia dan Satu Bahasa Bahasa Indonesia (28 Oktober 1928). Saya hargai sekali kejujuran Bapak AR Baswedan bahwa para peranakan Arab baru 6 tahun kemudian (4 Oktober 1934) mengikuti jiwa sumpah pemuda tersebut. Bangsa Indonesia dalam arti ketatanegaraan adalah yang menurut Hukum Tatanegara RI disebut warganegara. Yaitu orang-orang Indonesia asli dan mereka yang telah menempuh jalan melalui Undang-undang No. 62 tahun 1958 di atas. Maka dari itu usul Sdr. Kabul Kaswardi agar dipergunakan perkataan suku untuk mereka yang semula termasuk pengertian peranakan sama sekali tidak beralasan. Sebab di satu pihak Pemerintah memang bermaksud tetap memelihara kebudayaan suku-suku Minang, Tapanuli, Bali dan lain-lain, sebaliknya menjadi appeal seluruh rakyat Indonesia agar yang telah menjadi warganegara benar-benar hidup dengan jiwa dan kepribadian Indonesia. Kita lebih senang menjumpai seseorang yang tetap mempergunakan nama aslinya (seperti AR Baswedan) tetapi sudah dengan jiwa dan kepribadian Indonesia, dari pada seseorang yang sudah ganti nama mirip dengan nama Pangeran dari Kraton Jawa, tetapi mental dan tingkah lakunya masih mengikuti norma-norma negeri leluhur. JOEWONO SH Jl. Prof. Dr. Soepomo. SH No. 52 Jakarta Selatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus