BERUNTUNG sekali, awal Maret yang lalu hujan tak jadi turun di
Tanjung Pinang. Disponsori oleh KNPI Dati II Kepulauan Riau,
telah dilangsungkan kerepotan yang mereka namakan "Kontes
Penyanyi Pop". Sejak tanggal 2 berturut-turut selama 4 hari,
dikebut seleksi babak penyisihan sampai ke tingkat final. Lalu
dibagikan hadiah-hadiah yang membuat banyak orang iri hati. Di
bawah langit terbuka di atas lapangan basket "Teladan", lebih
dari 2000 penonton ikut berdoa sehingga mendung yang sudah mulai
menggerayangi langit cukup bersabar hati dan kemudian
benar-benar pergi.
Ini berarti bahwa panitia sempat melapangkan dadanya, karena
karcis yang dijual seharga Rp 100 pada babak seleksi yang
kemudian dilipatkan dua setengah kali pada babak puncak,
terkuras habis oleh tangan warga Tanjung Pinang dan sekitarnya.
4 malam itu boleh dicatat (oleh sejarah malam pertunjukan
setempat yang cukup langka) sebagai malam-malam yang sukses.
Tapi panitia bukan panitia namanya kalau tidak mengeluarkan
keluhan. "Mudah-mudahan tidak rugi", ujar salah seorang dari
mereka, meskipun nadanya cukup optimis.
Menilik gaya penyelenggaraannya, orang mudah menangkap bahwa
kontes tersebut sesungguhnya tidak begitu rapi. Mungkin sekali
karena kurangnya pengalaman dari para tulang punggung. Tapi tak
syak lagi, mereka sudah sempat meledak, mengejutkan, mengungguli
segala macam kontes sejenis yang pernah digelarkan di kota
kabupaten yang jauh dari ibukota ini. "Wah inilah hadiah yang
paling besar", gunjing para pengikut kontes-kontes sebelumnya,
tatkala mereka menatap hadiah-hadiah yang baru ketahuan pada
malam terakhir.
Dengan berbinar-binar -- ingatlah ini ukuran Tanjung Pinang
--mereka terus memandang piala-piala yang oleh Iman Sudradjad
sang bendahara panitia, dinyatakan berharga lebih dari Rp
150.000. Belum lagi waktu diperlihatkan 8 buah buku Tabanas
dengan jumlah Rp 130.000 yang akan langsung menjadi milik para
pemenang. Masih ditambah lagi dengan hadiah dari Bank Dagang
Negara dan Bank Rakyat Indonesia. Sampai-sampai Agussimin
Tanjung, salah seorang juri yang pernah memikul gelar Bintang
Radio di kepulauan Riau, tak dapat menahan dirinya untuk
berkata: "Kalau saya tahu hadiah- nya begitu besar, saya tak mau
jadi juri, tapi ikut tanding".
Demam Bimbo
Orang iseng yang suka mengusut juga tidak sedikit di kawasan
ini. Merekapun lalu kedatangan tanda tanya, bagaimana
bisa-bisanya hadiah semacam itu dilimpahkan sementara harga
karcis tidak meyakinkan. Dengan hasil Rp 800.000 selama 4 malam,
tentulah ada dana istimewa untuk menyelenggarakan kerepotan yang
dengan gencar sudah dipublikasikan jauh hari sebelumnya. Belum
lagi ongkos untuk kontrak band pengiring dan sebagaimana
biasanya pengeluaran-pengeluaran "tak terduga" yang bisa
menelorkan angka-angka yang mengejutkan. "Untuk itu kami dapat
bantuan dari instansi pemerintah, pengusaha dan pemuka
masyarakat", ujar ir. Ben Burhanuddin -- ketua KNPI dengan terus
terang. Rupa-rupanya panitia cukup lihai juga menyelusup kesana
ke mari sehingga dari Bupati, Dan Dim, Dan Res, Panglima Daerah
II tembus oleh pungutan dana, bahkan sampai ke PT Kimia Farma
juga Golkar dan PDI.
Panjanglah nafas panitia -- tanpa memusingkan apakah kegiatan
dana semacam itu pada masa ini memang praktis dilakukan.
Bukankah, kata orang, musik sesungguhnya sudah mulai bisa
dijual, sementara yang memerlukan dana adalah kegiatan-kegiatan
yang masih belum dikomersiilkan? Tapi tak apalah. Pokoknya
Tanjung Pinang sudah dibikin rame. Sebab inilah kontes yang
pertama sesudah selama 5 tahun tak pernah lagi ada orang mau
repot soal kontes-kontesan.
Di balik cerita kontes, rupa-rupanya tak sedikit dorongan para
pekerja kontes untuk melangsungkan peristiwa yang cukup
"berbobot". Maka tak ayal lagi, disabet saja lagu-lagu yang
untuk sementara sudah dibenarkan oleh banyak orang punya mutu
"boleh". Kepada para pengikut pria disodorkan lagu Cinta dari
Titiek Puspa sebagai lagu wajib. Sementara untuk kaum hawa
diberikan Oh Tuhan dari tangan Bimbo. Kemudian sebagai lagu
pilihan diberikan kesempatan memilih: Bulan Merah, Ballada
Seorang Biduan, Tajam Tak Bertepi Salju. Sebagaimana diketahui
ke-4 lagu ini juga berasal dari tangan Bimbo, sehingga dengan
gampang saja publik menuduh panitia memang sedang kena imbas
oleh rombongan trio dari Tanah Priangan itu.
Namun mereka setuju-setuju saja, apalagi kemudian mereka merasa
lagu-lagu itu memang cukup sedap dan santai dikeluarkan oleh 75
buah mulut para peserta. 7 orang juri yang menatap tak berkedip
sambil memasang kupingnya dengan awas ternyata tidak mendapat
banyak kesulitan dalam menentukan pilihannya -- walaupun hasil
akhirnya kemudian, ada yang tidak disetujui oleh khalayak. "Itu
kan biasa dalam pertandingan", ujar mereka, sambil mengingatkan
bahwa keputusan mereka tidak bisa diganggu gugat. Maka yang mau
protes cukup menyimpan marahnya dalam hati saja.
Meloncat Seorang Gagu
Karyawan Pertamina di Tanjung Uban yang bernama Iskandar B.
beruntung mendapat julukan kampiun pria malam itu. Ini hanya
mengingatkan warga Tanjung Pinang pada 5 tahun yang lewat, di
mana Iskandar juga menjadi jagonya pada acara yang sama. Tapi
manakala juri menyatakan gadis mungil Andria Hendro yang masih
duduk di bangku SMA, sebagai ratu kontes, banyak orang tidak
seia sekata. Namun demikian, mereka bertepuk tangan juga. Lalu
hadiah-hadiah yang tak kecil artinya untuk ukuran kabupaten itu
mulai diterimakan.
Pada saat inilah dengan tak terduga, seorang pemuda bernama
Ichemy Pandy yang berusia 25 tahun yang dikenal masyarakat
sebagai pemuda yang gagu, meloncat ke atas panggung. Dengan
kepalanya yang gundul dan tingkah lakunya yang sangat lugu,
bagaikan Hanoman yang menjadi utusan Ramadewa, ia mengulurkan
sebuah kotak yang dibungkus dengan koran bekas ke arah para
pemenang. Dengan berdebar-debar penonton menanti apa yang akan
dilakukannya. Sesudah meletakkan di atas organ, Ichemy kemudian
membuka bungkus kotak dan mengeluarkan teriakan: "Eaaaa". Lalu
tampaklah sebuah mahkota kertas yang disolek cukup keren.
Penonton yang semula senyap bertepuk sorak dengan riuh --
tatkala mahkota itu segera nangkring di kepala Raja dan Ratu
kontes. "Harganya Rp 500", demikian pemuda gagu itu menerangkan
kepada TEMPO nilai buah tangannya. Tentu saja dengan bahasa
isyarat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini