Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Kabinet Gemoy untuk Apa

Sejumlah orang bermasalah masuk kabinet Prabowo Subianto. Pemerintahan sulit efektif pada satu-dua tahun pertama.

27 Oktober 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASUKNYA sosok bermasalah ke Kabinet Merah Putih, serta timbulnya kekacauan struktur dan lembaga akibat pemecahan kementerian, memunculkan pertanyaan: apa yang bisa kita harapkan dari pemerintahan yang baru dalam 100 hari atau bahkan satu tahun ke depan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah menyerukan persatuan dalam pidato perdananya sebagai presiden, Prabowo Subianto merangkul banyak orang dan mengakomodasi kepentingan oligarki sebagai politik balas budi. Selain memilih 48 menteri, ia menunjuk 56 wakil menteri serta membentuk lima badan baru setingkat menteri. Dia juga menyediakan jabatan lain: utusan khusus dan penasihat khusus. Prabowo memaknai persatuan sebagai bagi-bagi kekuasaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beberapa pejabat, misalnya, pernah bekerja atau punya hubungan kekerabatan dengan Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam, pemilik Jhonlin Group, yang diduga kuat turut menyumbang logistik dalam pemenangan pemilihan presiden. Kedekatan mereka dengan pengusaha tambang batu bara dan kelapa sawit ini bisa memicu konflik kepentingan dan rawan penyalahgunaan wewenang.

Salah satunya adalah Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq. Hanif dekat dengan Haji Isam saat ia menjabat Kepala Dinas Kehutanan Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Ada juga menteri yang pernah bekerja di perusahaan milik Isam, yakni Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi dan Menteri Pekerjaan Umum Raden Dody Hanggodo. Wakil di Kementerian Kehutanan, Sulaiman Umar Siddiq, malah lebih dekat: ia adik ipar Isam.

Prabowo juga menampung orang-orang yang pernah tersangkut masalah hukum. Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej, misalnya, pernah menyandang status tersangka suap di Komisi Pemberantasan Korupsi. Menteri Pemuda dan Olahraga Ario Bimo Nandito Ariotedjo terseret korupsi proyek menara pemancar 4G di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Sementara itu, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto diperiksa Kejaksaan Agung dalam kasus korupsi izin ekspor sawit mentah. Kasus-kasus itu bisa membuat mereka “tersandera” agar tunduk pada keinginan Joko Widodo, presiden sebelum Prabowo.

Mengusung slogan keberlanjutan, Prabowo meniru Jokowi dalam hal membuat program dan mengeksekusinya. Prabowo memberi tempat kepada mereka yang berkeringat mengantarkannya ke kursi presiden 2024-2029. Dengan menawarkan jabatan kepada partai nonkoalisi, Prabowo menunjukkan ia tak ingin ada oposisi.

Di Eropa, ide pembagian kekuasaan lahir untuk menciptakan stabilitas dalam pemerintahan. Dengan kerja sama elite dari kelompok sosial yang berbeda, upaya merangkul semua kepentingan (consociationalism) mendorong moderasi dalam masyarakat yang terpolarisasi akibat perbedaan etnis atau agama, termasuk untuk melindungi kepentingan minoritas. Agar pemerintah tetap terkontrol, oposisi yang kuat tetap diberi tempat.

Di Indonesia, pendekatan itu berubah menjadi politik dagang sapi. Para elite menguasai lembaga-lembaga demokratis. Mereka menghasilkan kebijakan yang berpihak kepada kepentingan elite, bukan kesejahteraan publik. Kekuasaan dibagi-bagi dalam koalisi besar tanpa menyediakan ruang bagi oposisi—syarat hidupnya demokrasi. Tanpa oposisi, demokrasi akan berubah menjadi otokrasi.

Tak hanya mengorbankan demokrasi, bagi-bagi kue telah menimbulkan kekacauan struktur dan lembaga. Pembentukan Badan Penyelenggara Haji dan Umrah yang melanggar Undang-Undang Penyelenggaraan Haji, misalnya, melahirkan tumpang-tindih kewenangan dengan Kementerian Agama.

Membentuk kabinet gemoy, pemerintahan baru disibukkan oleh pelbagai hal teknis. Dari pencarian kantor dan rumah dinas hingga pembagian personel. Anggaran kementerian baru masih menginduk ke kementerian lama. Restrukturisasi birokrasi ini butuh waktu satu-dua tahun.

Dampaknya, para menteri tidak bisa bekerja optimal, bahkan akan pura-pura bekerja saja. Program 100 hari pemerintahan Prabowo pasti sulit terlaksana. Prabowo memang bisa merombak kabinetnya kapan pun. Tapi, dengan politik akomodasi, bukan tak mungkin ia kembali mengisi kabinet dengan orang-orang bermasalah.

Publik hendaknya tidak terlalu tinggi menggantungkan harapan kepada Prabowo. Seperti yang lalu-lalu, kita harus selalu bersiap kecewa.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus