Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Prabowo Subianto memiliki beban masa lalu yang tak terhapuskan. Saat menjabat Komandan Komando Pasukan Khusus pada 1997 dan 1998, Prabowo bertanggung jawab atas penculikan dan penghilangan paksa sejumlah aktivis. Kini pemerintahannya terlihat berupaya mengaburkan dosa besar tersebut melalui berbagai cara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 2008, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menetapkan 12 kasus pelanggaran HAM berat, termasuk penghilangan orang secara paksa yang melibatkan Prabowo bersama Satuan Tugas Mawar atau yang lebih dikenal sebagai Tim Mawar. Namun Prabowo, Partai Gerindra, serta para politikus pendukungnya menyatakan bahwa kasus ini telah selesai. Mereka berdalih bahwa semua aktivis yang diculik telah dikembalikan dan tak ada bukti langsung keterlibatan Prabowo dalam tindak pidana tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pernyataan seperti itu jelas berupaya menghapus sejarah. Pada 1998, Pusat Polisi Militer sebenarnya telah menemukan bukti yang menunjukkan bahwa Prabowo adalah “otak” di balik penculikan aktivis tersebut. Dewan Kehormatan Perwira pada Agustus 1998 juga menegaskan bahwa Prabowo sendiri yang memerintahkan anggota Tim Mawar dan Merpati untuk menangkap serta menahan sembilan aktivis.
Memang, sembilan aktivis tersebut kini telah kembali, bahkan tiga di antaranya—Faisol Reza, Mugiyanto, dan Nezar Patria—berada dalam pemerintahan Prabowo. Namun hingga kini masih ada 13 aktivis yang hilang, seperti Wiji Thukul dari Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat serta Petrus Bima Anugrah dan Suyat dari Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi atau SMID.
Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta pada April 1999 telah menjatuhkan hukuman penjara 12 hingga 22 bulan bagi sebelas anggota Tim Mawar. Hukuman ini kemudian diringankan oleh Mahkamah Militer Agung pada Oktober 2000. Ironisnya, komandan mereka, Prabowo, tetap bebas dan kini bahkan menduduki kursi presiden.
Dewan Kehormatan Perwira hanya mengadili Prabowo atas pelanggaran etik. Dewan menyatakan tindakannya “tidak mencerminkan etika perwira” dan merekomendasikan pemecatannya dari dinas kemiliteran. Namun Presiden B.J. Habibie kemudian memutuskan untuk memberhentikan Prabowo dengan hormat serta memberinya hak pensiun.
Dengan demikian, Prabowo hingga kini belum pernah diadili secara pidana atas kasus penculikan tersebut. Mengingat status penculikan aktivis ini sebagai pelanggaran HAM berat yang ditetapkan oleh Komnas HAM, Prabowo sebenarnya dapat diadili kapan saja. Inilah bagian dari masa lalu Prabowo yang tampaknya hendak ia hapus.
Pernyataan Menteri Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra yang menyebut peristiwa 1998 bukan pelanggaran HAM berat mencerminkan pandangan pemerintahan Prabowo terhadap HAM. Dalam Asta Cita—delapan misi pemerintahannya—Prabowo hanya menyebut penegakan HAM secara umum, seperti perlindungan hak seluruh warga dan penghapusan diskriminasi, tanpa menyentuh isu pelanggaran HAM berat masa lalu.
Kuat gelagat pemerintahan Prabowo hendak membuat bangsa ini melupakan sejarah kelam. Impunitas bagi para pelanggar HAM berat tampaknya akan terus dipelihara, sementara korban kejahatan mereka mungkin tak akan pernah mendapatkan keadilan.
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tak Akan Pupus Dosa Prabowo"