Al-Zastrow
Asisten pribadi Gus Dur, mahasiswa Sosiologi Pascasarjana UI
SUSUNAN kabinet Presiden Abdurrahman Wahid telah memancing banyak kritikan dari masyarakat. Para pengkritik ini menyatakan bahwa banyak menteri yang "salah duduk", tidak sesuai antara kedudukan dan keahlian yang dimiliki. Beberapa contoh yang bisa ditunjuk adalah Susilo Bambang Yudhoyono, seorang perwira militer yang menangani Departemen Pertambangan dan Energi; Sonny Keraf, ahli filsafat yang menjadi Menteri Negara Lingkungan Hidup; dan Muh. A.S. Hikam, ahli ilmu politik yang duduk menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi.
Hal lain yang memancing tumbuhnya kontroversi adalah dihapuskannya departemen yang sudah mapan, yaitu Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, serta penghilangan departemen kebudayaan. Penghapusan ini tidak saja menimbulkan kontroversi, tapi juga memunculkan keresahan para karyawan departemen tersebut, yang berujung pada terjadinya unjuk rasa.
Di samping sebagai wujud kompromi politik, susunan kabinet yang ada juga dapat dipahami dengan pikiran bahwa Presiden sedang melakukan eksperimen untuk melawan kemapanan cara pandang dan pola pikir masyarakat. Kritik tajam yang dilakukan masyarakat karena Presiden menempatkan orang yang keahlian dan jabatannya tidak sesuai itu mencerminkan adanya pola pikir yang konvensional, linear, dan satu arah sehingga profesionalisme hanya diukur dengan satu ukuran belaka. Misalnya, seorang Menteri Riset dan Teknologi mesti memiliki keahlian di bidang riset dan teknologi, atau Menteri Pertambangan harus dijabat oleh orang yang ahli di bidang pertambangan.
Pemikiran seperti inilah yang hendak dikikis oleh Gus Dur. Profesionalisme tidak bisa diukur dengan melihat satu sisi semata, mengingat tugas seorang menteri bukan hanya menangani satu bidang. Misalnya, tugas Menteri Riset dan Teknologi tidak semata-mata melakukan kerja mekanik mengembangkan teknologi, tapi juga melakukan analisis mengenai harga sosial dan pengaruh kultural atas pengembangan dan penerangan teknologi. Hal-hal seperti itu tampaknya tidak terlihat karena bidang teknologi selama ini hanya dikuasai oleh para teknokrat yang cenderung berpikir mekanik dan eksak, sehingga nilai-nilai sosial dan kultural tidak pernah mendapat perhatian yang memadai.
Akibat penonjolan aspek yang serba mekanik dan mengabaikan dimensi sosial kultural itulah, selama lebih dari tiga dasawarsa, bangsa kita tidak mengalami perkembangan yang menggembirakan di bidang teknologi. Kenyataan juga menunjukkan, teknologi yang berkembang di negara kita hampir tidak memiliki relevansi dengan potensi sumber daya yang ada di negeri ini. Akibatnya, teknologi yang dihasilkan banyak yang mubazir dan tidak memiliki daya guna yang maksimal. Padahal, departemen riset dan teknologi dipimpin oleh para teknolog.
Contoh konkret yang bisa dilihat dalam hal ini adalah minimnya perkembangan teknologi pertanian dan kelautan yang dihasilkan oleh para teknokrat, padahal Negara Indonesia adalah negara agraris dan kelautan. Sebaliknya, demi menunjukkan prestasi kepada dunia luar, para teknolog kita justru mengembangkan teknologi tinggi seperti industri pesawat terbang dan pabrik senjata. Demi memenuhi ambisi di bidang teknologi, banyak anggaran dihabiskan untuk penelitian teknologi yang sebenarnya tidak memiliki keterkaitan dengan kondisi sosial dan kebutuhan masyarakat.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa profesionalisme tidak bisa diukur hanya dengan melihat kesesuaian antara keahlian dan jabatan yang disandang. Hal ini berkaitan dengan kondisi sosial dan taraf perkembangan pola pikir masyarakat. Di negara maju yang memiliki kedisiplinan tinggi, untuk menaati aturan main—baik dalam dunia politik maupun akademik—profesionalisme seseorang bisa diukur dengan keahlian yang dimilikinya. Namun, di negara berkembang seperti Indonesia—yang disiplinnya masih rendah dan cara kerjanya masih didominasi oleh kepentingan emosional ketimbang mekanisme kerja fungsional—dibutuhkan terobosan kebijakan agar tidak terjebak dalam profesionalisme formal sebagaimana terjadi selama ini.
Ketidaksesuaian antara keahlian dan jabatan yang terjadi dalam kabinet Abdurrahman Wahid bisa dipahami sebagai terobosan untuk menjawab masalah tersebut. Jabatan menteri adalah jabatan politik, bukan jabatan karir. Karena itu, yang menjadi dasar pertimbangan bukan semata-mata keahlian yang dimiliki oleh seseorang. Lebih dari itu adalah kemampuannya untuk berpikir alternatif dan kecakapannya dalam mengorganisasi serta mengonsolidasi para pakar yang ada di bawah tanggung jawabnya untuk diarahkan kepada kepentingan masyarakat. Dengan demikian, ukuran profesionalisme tidak saja dilihat dari kesesuaian antara keahlian dan lembaga yang ditanganinya, tapi sejauh mana orang tersebut bisa menciptakan iklim kerja yang baik serta menerapkan keahliannya secara bertanggung jawab pada bidang kerja yang diembannya.
Penyerahan urusan teknologi kepada seorang teknolog bukan berarti cermin sebuah kebijakan yang profesional. Sebab, kenyataan menunjukkan bahwa seseorang yang menguasai teknologi bukan berarti profesional di bidang teknologi. Demikian pula sebaliknya. Dapat dikatakan bahwa Gus Dur memiliki cara pandang dan ukuran tersendiri dalam merumuskan makna profesionalisme. Misalnya, ketika Gus Dur menunjuk A.S. Hikam, seorang pakar ilmu politik, menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi, bisa jadi bukan ingin mengembangkan teknologi canggih, melainkan ingin membangun teknologi yang memiliki sentuhan sosial dan tak mengabaikan dimensi kemanusiaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini