RUDY, 27 tahun, pemuda asal Batam, selama ini minder bergaul. Soalnya, penyakit disfonia yang dideritanya sejak usia 13 tahun itu membuat artikulasi bicaranya sulit dimengerti orang lain. Bila berbicara, suara Rudi terdengar sengau, misalnya dia ingin mengatakan, "Perkenalkan nama saya." Maka, kalimat yang terdengar dari mulutnya, "Perkenyakkan nana saya." Setelah mengikuti terapi wicara di Klinik Bina Wicara Jakarta selama dua minggu pada Oktober lalu, kini Rudi bisa berbicara normal.
Soal disfonia ini menjadi salah satu tema Kongres Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT) di Semarang, 27-30 Oktober lalu. Jumlah penderita disfonia di Indonesia belum diketahui persis. Tapi, data di bagian THT Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, tahun 1995-1997 menunjukkan bahwa jumlah penderita disfonia 372 orang.
Disfonia adalah perubahan kualitas suara, baik yang menyangkut nada maupun intensitas, yang disebabkan oleh gangguan fungsional dan organik pada pita suara dalam tenggorokan. Penyebabnya, jakun tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Jakun, yang semestinya mendapat radiasi getaran suara secara normal, tidak berfungsi dengan baik. Kondisi seperti ini terkait erat dengan semua fungsi organ sekelilingnya, misalnya katup suara. Organ ini pada penderita disfonia tidak bisa berkontraksi sebagaimana mestinya. Penyebab lain disfonia adalah proses penuaan. Orang tua berusia di atas 50 tahun paling rentan terhadap disfonia.
Disfonia, menurut Prof. Dr. Hartono Abdurrahman, Kepala Sub-Bagian Laring THT RSCM, pada umumnya hanya terjadi karena pembengkakan atau lumpuh sebelah pada salah satu pita suara, yang disebabkan oleh kelebihan kelenjar tiroid. Sehingga, sebagian serabut romawi X yang berfungsi sebagai saraf motorik pada pita suara ikut lumpuh. Penderita disfonia biasanya sulit menyebut beberapa huruf secara jelas. Nada suara itu hanya keluar lewat hidung dengan bunyi suara bersengau. Huruf T dan D bisa diucapkan menjadi N. Contohnya, tetapi menjadi nenapi. Distorsi ini terjadi karena sistem resonansi berupa dinding faring yang seharusnya mampu menutup aliran udara ke hidung tidak berfungsi secara normal.
Gangguan disfonia bisa berakibat macam-macam bagi setiap orang. Rudi, misalnya, mengalami hambatan psikis dalam berkomunikasi. Soalnya, pesan pembicaraannya tidak bisa diterima langsung secara jelas oleh pendengarnya. Tak jarang orang menertawakannya atau mengernyitkan dahi bila dia bicara. Tapi disfonia memang bukan penyakit yang pantas diremehkan. Gangguan pada salah satu organ alat ucap ini, bila dibiarkan berlarut-larut, akan berkembang dan bisa menimbulkan komplikasi ke organ sekelilingnya. Akibatnya, kanker dan tumor pada pita suara bisa mengancam. Dan bila kondisi itu dibiarkan berlarut-larut, tumor itu akan menyebar ke paru-paru, jantung, serta organ sekitar dada dan perut. Bila begitu, akibatnya bisa fatal: kematian. Memang, angka kematian akibat kanker pita suara atau tenggorokan ini masih sangat kecil. Diperkirakan, jumlahnya sekitar 5 persen setiap tahun dari 300-400 penderita kanker tenggorokan. Ada beberapa jenis tumor pada pita suara, misalnya papiloma, polip, dan nodul. Juga ada yang ganas, yaitu karsinoma sel skuamosa.
Bila disfonianya masih tergolong ringan, seperti yang dialami Rudi, penanganannya cukup diterapi lewat latihan pernapasan dan latihan vokal. Latihan pernapasan itu berupa menahan napas selama satu menit sebanyak 18 sampai 20 kali. Juga latihan memperkuat kontraksi katup suara. Latihan ini berupa menarik dan menahan napas selama 40 detik. Cara ini dipakai untuk melatih aliran buka-tutup udara menuju paru-paru. Bila pasien mampu melewati fase itu, berikutnya adalah latihan fonetis. Latihan ini bertahap, dari pengucapan huruf A, I, O, E, U, meningkat ke suku kata, lalu kalimat. Tapi, bila gangguan suara itu parah, berupa afonia, yaitu kerusakan fatal terjadi pada kedua pita suara, tindakan operasi membuat pita suara buatan adalah jalan satu-satunya.
Karena disfonia tak layak diremehkan, penyakit ini semestinya dihadang sejak dini. Toh, gejala umumnya mudah diketahui. Tanda-tanda itu berupa suara berubah menjadi parau dan serak; suara lemah hampir hilang; suara kasar, terputus, dan bergetar. Keluhan lanjut pada penderita disfonia berupa kesulitan buang air besar, kelopak mata menonjol, dan biji mata seolah akan mencolot. Bila tanda-tanda tersebut tampak, berkonsultasi ke dokter adalah salah satu cara preventif. Juga ada tips untuk menghindari disfonia. "Prinsipnya, menjaga vocal hygiene," kata Hartono. Prinsip itu berupa upaya seminim mungkin membebani pita suara. Selain itu, menjaga pernapasan, tidak merokok, serta mengurangi penggunaan nada dan intensitas suara juga perlu dilakukan. Tips semacam ini penting untuk orang-orang yang rentan terhadap disfonia, yaitu para perokok berat, orang tua lanjut usia, juga anak-anak yang suka menangis menjerit-jerit. Orang-orang yang menggunakan bantuan suara mulut untuk pekerjaannya juga rentan, misalnya pedagang asongan, penyiar, penyanyi, politisi, dan pendakwah. Jadi, berteriaklah secara sehat.
Kelik M. Nugroho, Upik Supriyatun S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini