Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pengadilan HAM

24 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

T. Mulya Lubis Praktisi hukum, Presiden Jakarta Lawyers Club DI tengah tekanan komunitas internasional untuk mendorong Dewan Keamanan PBB membentuk suatu international tribunal untuk mengadili para pelaku kejahatan internasional di Timor Timur, pemerintah Indonesia tiba-tiba mengumumkan akan membentuk pengadilan hak asasi manusia (HAM) melalui suatu perpu atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Konon, pemerintah Indonesia, khususnya TNI, lebih menginginkan agar pengadilan terhadap ''warga negara Indonesia" yang dituduh menjadi human rights perpetrator dilakukan di pengadilan Indonesia. Alasan kedaulatan negara tampaknya digunakan sebagai argumen utama untuk menolak international tribunal. Dasar hukum dari pembentukan pengadilan HAM ini adalah Pasal 104 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dikatakan dalam Pasal 104 bahwa pengadilan HAM tersebut berada di lingkungan peradilan umum dan akan dibentuk dalam jangka waktu paling lambat empat tahun. Tapi tekanan internasional untuk menyeret pelanggar HAM dalam pembantaian, penyiksaan, dan pembumihangusan di Tim-Tim telah memaksa pemerintah Indonesia ngebut membuat perpu. Malah, dalam perpu itu dikatakan bahwa pelanggar HAM kategori berat, termasuk militer dan polisi, akan diadili di pengadilan HAM ini, jadi bukan di peradilan militer. Sementara itu, hasil temuan Komnas HAM akan digunakan sebagai bukti awal, jadi tak bisa dikesampingkan begitu saja. Pertanyaan kita adalah apakah kita bisa siap membentuk suatu pengadilan HAM secara kilat. Membangun gedung pengadilan serta menyediakan kursi dan alat tulis tentu sangat gampang, tapi mempersiapkan hukum acara dan sumber daya manusia yang siap dan andal tentu bukan pekerjaan mudah. Memang dikatakan akan ada apa yang disebut ''penuntut umum ad hoc" dan ''hakim-hakim ad hoc" yang datang dari luar kejaksaan dan pengadilan. Sukar membantah bahwa gagasan ini bagus, tapi sama sukarnya membantah ketidaktersediaan dan ketidaksiapan mereka, apalagi nanti akan dikaitkan dengan konflik kepentingan dan sikap ewuh pakewuh dalam hal yang diadili, misalnya, perwira tinggi TNI. Dalam pengadilan domestik, termasuk pengadilan HAM yang akan dibentuk nantinya, tentu berlaku hukum domestik. Tapi pertanyaan yang akan muncul: apakah pelanggaran HAM di Timor Timur itu bukan kejahatan yang disebut sebagai kejahatan internasional atau international offenses? Apakah hukum domestik mengatur semua kejahatan internasional? Bagaimana jika hukum domestik tidak mengatur hal tentang kejahatan internasional yang didakwakan? Apakah otomatis semua kejahatan internasional yang termuat dalam berbagai covenants dan conventions akan dijadikan dasar hukum meski belum diratifikasi? Apa itu kejahatan internasional? Seusai Perang Dunia II, ketika negara-negara Sekutu membentuk International Military Tribunal melalui apa yang disebut London Agreement (8 Agustus 1945), usaha untuk merumuskan kejahatan internasional itu sudah dimulai. Dan sekarang ini sudah sangat banyak kategori kejahatan internasional yang secara umum diterima oleh komunitas internasional, seperti pembajakan (piracy), kejahatan perang (war crimes), kejahatan terhadap perdamaian (crimes against peace), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), pembantaian etnis (genocide), pelanggaran Konvensi Jenewa, perbudakan dan perdagangan budak (enslavement and slave trade), perdagangan pelacuran (traffic in persons for prostitution), perdagangan obat terlarang (narcotic drugs), dan pembajakan pesawat (aircraft hijacking). Semuanya diatur dalam banyak sekali instrumen hukum internasional dan HAM. Yang dikhawatirkan, kalau pengadilan HAM yang akan dibentuk nanti menerapkan hukum domestik yang tidak sesuai dengan norma-norma hukum internasional, pasti akan ada banyak kecaman dan protes. Pengadilan ini nanti akan dicurigai sebagai bagian dari suatu ''konspirasi nasional" untuk mengelak dari tanggung jawab hukum internasional. Dalam bahasa hukum yang populer, ini juga nanti bisa dikategorikan sebagai upaya yuridis untuk melakukan cover up dan obstruction of justice. Pertanyaan lanjutannya: kalau hasil pengadilan HAM tidak diterima komunitas internasional, apa yang akan terjadi? Apakah tuntutan internasional untuk mengadili para pelanggar HAM di international tribunal akan terus berkumandang? Buat kepentingan ekonomi dan politik domestik, apakah tidak diterimanya hasil pengadilan HAM kita akan membuat lembaga atau negara pemberi bantuan dan pinjaman internasional seperti CGI, IMF, Bank Dunia, dan ADB menunda atau menghentikan bantuan dan pinjaman mereka? Bagaimana dengan para penanam modal asing yang notabene datang dari negara-negara Eropa, Amerika, dan Asia Timur? Kita tidak harus mencampuradukkan analisis yuridis dengan ekonomi, tapi naif kalau kita mengabaikan konsekuensi-konsekuensi internasional yang mungkin akan kita hadapi. Jika pemerintah tak ingin menghadapi kecaman dan protes internasional, mungkin tak ada salahnya menghadapi international tribunal dengan lapang dada. Kalau memang tak ada perintah dari atas untuk melakukan pembunuhan massal, pembantaian etnis, penyiksaan, pemerkosaan, dan pembumihangusan, terutama terhadap orang sipil, pemerintah dan khususnya TNI tak perlu khawatir. Jangan ada perkiraan bahwa diadili di pengadilan HAM di negeri sendiri hukumannya akan lebih ringan. Seharusnya tidak. Kita semua menyadari, sangat banyak pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kaum milisi dan TNI. Ada atrocities yang sukar dibantah. Agaknya akan ada juga perwira tinggi TNI yang terlibat dan harus diadili karena tidak semua kesalahan bisa ditimpakan kepada kaum milisi, prajurit, dan tamtama. Kalimat sakti ''perintah atasan" akan dijadikan dalil untuk menghindari hukuman. Jadi, seperti dalam German High Command Trial (1948), majelis hakim pengadilan memutuskan bahwa perwira yang tak mempunyai wewenang kebijakan (policy) dan perintah (command) harus dinyatakan bebas dari tuntutan hukum. Artinya, perwira tersebut turut bersalah, tapi ia melakukan itu semua karena perintah atasan. Kembali pada pelanggaran HAM yang brutal dan kejam di Timor Timur, pertanyaannya: siapa yang membuat kebijakan dan mengeluarkan perintah?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus