Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Penegakan hukum yang buruk di era Jokowi makin buruk di era Prabowo Subianto.
Penegakan hukum kembali menjadi alat penekan bagi rival politik agar tak liar menjadi oposisi.
Politikus kroni bisa melenggang bebas, sementara rival begitu mudah masuk penjara.
PENEGAKAN hukum pada awal pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka tak menumbuhkan harapan baik. Bukannya mengoreksi penyelewengan hukum pada era Joko Widodo, pendahulunya, pemerintahan baru dalam 100 hari kabinet Prabowo justru melestarikan praktik buruk tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada pemerintahan Jokowi, hukum acap kali menjadi alat kepentingan penguasa dan kroninya. Politisasi hukum dan kriminalisasi dijalankan untuk memberangus mereka yang dicap berseberangan dengan kekuasaan. Sebaliknya, pelanggaran hukum oleh kalangan yang dekat dengan penguasa tak diproses sebagaimana semestinya. Puncaknya, penyelewengan hukum dilakukan dengan mengubah aturan yang melibatkan lembaga-lembaga negara demi melestarikan kekuasaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Praktik semacam itu terus berlangsung meski rezim telah berganti. Tak sulit menunjuk contoh perbedaan perlakuan proses hukum pada awal pemerintahan Prabowo Subianto. Sebut saja penetapan Thomas Trikasih Lembong sebagai tersangka korupsi impor gula. Menteri Perdagangan 2015-2016 yang berkubu dengan pesaing Prabowo, Anies Rasyid Baswedan, pada pemilihan presiden 2024 itu mendapat status tersangka dan langsung ditahan. Ia dituduh melakukan korupsi karena mengimpor gula ketika produksi dalam negeri mengalami surplus. Sementara itu, pendahulu dan penggantinya yang menjalankan kebijakan serupa tetap aman.
Proses hukum terhadap Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto tak lepas dari urusan politik. Partai Hasto merupakan satu-satunya kekuatan di Dewan Perwakilan Rakyat yang tak bergabung dengan koalisi Prabowo. Meski sejak awal Hasto memang selalu disebut dalam kasus suap terhadap Komisi Pemilihan Umum agar menetapkan Harun Masiku sebagai anggota Dewan, proses hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tepat di awal pergantian rezim itu kental dengan kepentingan kekuasaan.
Diskriminasi terlihat karena, pada saat yang sama, penanganan kasus dugaan pemerasan Syahrul Yasin Limpo, mantan Menteri Pertanian dan politikus Partai NasDem, yang diusut Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, tak bergerak. Tersangka kasus itu, mantan Ketua KPK, Firli Bahuri, melenggang bebas hingga kini.
Prinsip kesamaan di depan hukum tak berjalan. Harapan akan adanya penegakan hukum pada pemerintahan baru pun meredup. Padahal prinsip mendasar kehidupan bernegara itu telah diatur tegas dalam konstitusi. Pemerintahan Prabowo mesti segera mengoreksi salah arah dalam penegakan hukum ini agar tidak melenceng makin jauh.
Selain memastikan keadilan bagi mereka yang menjadi korban penyelewengan, koreksi perlu dilakukan demi memastikan tercapainya kepastian hukum. Jaminan kepastian hukum ini sangat penting bagi setiap warga negara, juga mempengaruhi kepercayaan internasional terhadap Indonesia—satu hal yang berperan besar dalam investasi global.
Penggunaan hukum untuk kepentingan kekuasaan semestinya berhenti pada awal pemerintahan baru. Meski sejumlah petinggi lembaga penegak hukum merupakan “warisan” Jokowi, Prabowo seharusnya menghentikan praktik pendahulunya itu. Ia mesti memastikan terwujudnya janji konstitusi agar negara ini menjadi negara hukum. ●