Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dwifungsi Merangkak Prabowo

Pemerintahan Prabowo berjalan tak efektif dan tak efisien. Bersandar pada militer untuk menjalankan program prioritas.

2 Februari 2025 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Presiden Prabowo Subianto di Akademi Militer Magelang, Jawa Tengah. Sekretariat Negara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Pemerintahan Prabowo menghadapi masalah akibat kabinet besar yang dibentuknya.

  • Prabowo tak seperti Jokowi yang punya partai penyangga kuat.

  • Presiden memilih menggunakan kartu militer alih-alih mempercayai kabinetnya.

SERATUS hari pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka ditandai dengan tingkat kepuasan yang tinggi. Survei Litbang Kompas dan Indikator Politik Indonesia memperlihatkan angka sangat tinggi: 80,9 persen dan 79,3 persen. Hasil survei ini bisa menjadi modal awal yang bagus untuk pemerintahan Prabowo.

Angka kepuasan publik itu bisa jadi bukan penanda optimisme. Ia harus dilihat sebagai harapan bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran bisa memberikan solusi atas masalah yang dihadapi publik. Kelesuan, khususnya di bidang ekonomi, makin nyata. Sekalipun beban hidup yang sulit ini tidak tertangkap dalam survei, ia bisa dirasakan dalam hidup sehari-hari.

Administrasi pemerintahan Prabowo secara tak langsung mengakui berbagai kesulitan yang berdampak pada agenda-agendanya. Bahkan, untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025, Prabowo sudah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 yang akan memangkas anggaran Rp 306 triliun untuk berbagai kementerian dan lembaga negara serta memotong dana transfer pusat ke daerah. Dampaknya tentu akan besar terhadap ekonomi. 

Masalahnya, Prabowo-Gibran telah membentuk kabinet besar. Mereka menunjuk lebih dari seratus pejabat untuk menjadi menteri, wakil menteri, dan kepala badan. Pengeluaran negara untuk menggaji para menteri, wakil menteri, dan pejabat turunannya sudah pasti meningkat. Pemotongan anggaran tentu berdampak terhadap kinerja mereka.

Dengan kata lain, keberadaan kabinet superjumbo ini berlawanan dengan logika pengetatan ikat pinggang. Besarnya kabinet juga membuat masalah koordinasi, kontrol, dan pengendalian menjadi lebih rumit. Pertanyaannya, mengapa Prabowo membuat kabinet yang sangat besar walaupun ia sudah tahu bahwa anggaran terbatas?

Kabinet Prabowo ini seolah-olah sangat akomodatif terhadap keberagaman kekuatan politik dan golongan di Indonesia. Ia menampung kekuatan banyak partai politik, militer, polisi, teknokrat, dan birokrat. Juga mengadopsi orang-orang dari berbagai spektrum ideologis, dari penganut pasar bebas hingga golongan progresif-sosialis.

Ada beberapa hal yang menurut saya bisa menjelaskan penyebab Prabowo membentuk kabinet besar. Pertama, Prabowo tidak benar-benar memiliki aliansi yang bisa menjadi mitra strategis dalam peta kekuatan politik Indonesia masa kini. Tidak seperti pendahulunya, Joko Widodo, yang didukung penuh oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Prabowo tidak memiliki kekuatan yang menyangganya seperti PDIP terhadap Jokowi. Sekalipun mungkin pelabelan PDIP terhadap Jokowi sebagai “petugas partai” itu membuat jengkel banyak pendukungnya, saat awal Jokowi berkuasa dan juga pada masa selanjutnya, PDIP menjadi penjaga pemerintahan.

Kedua, yang terkait dengan masalah pertama, adalah masalah struktural di dalam partai yang dipimpin Prabowo, Gerindra. Banyak kader Gerindra masih sangat muda dalam politik. Dibandingkan dengan Partai Golkar, misalnya, Gerindra tidak memiliki kekuatan organisasi dan kader hingga tingkat akar rumput yang sekuat partai itu. Kader-kader Gerindra memang masuk ke kabinet. Namun mereka belum terlalu teruji dan bahkan kerap kedodoran.

Ketiga adalah pengaruh Jokowi yang masih punya orang-orang di dalam kabinet dan pemerintahan. Sekalipun dibantah terus-menerus oleh Jokowi sendiri, manuver-manuver politik mantan presiden ini, juga ekspose media terhadapnya, jelas menimbulkan kesan bahwa ia masih memiliki pengaruh dalam pemerintahan. Bahkan ada gurauan bahwa Indonesia memiliki dua presiden: siang dan malam. Presiden siang adalah yang benar-benar berkuasa, sedangkan yang malam adalah presiden informal. Bagaimanapun, Jokowi punya kepentingan dalam pemerintahan ini. Bagian dari dinastinya, terutama Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, ada di dalam pemerintahan.

Politik akomodatif ini membuat pemerintahan tidak efisien dan tidak efektif. Ini terlihat dari berbagai respons pemerintah, khususnya Presiden Prabowo sendiri, yang sering terlambat, tidak efektif, dan tidak tegas. Respons lambat Presiden terhadap skandal pagar laut di Kabupaten Tangerang, Banten, misalnya, memperlihatkan kelambanan dan tidak sinkronnya gerak para menteri dalam kabinet. Prabowo hanya mengandalkan orang-orang terdekatnya dalam komunikasi dengan publik. Sementara itu, para menterinya memberikan pernyataan yang bertentangan satu sama lain sehingga membuka konflik kepentingan yang amat besar dalam kasus ini. 

Kondisi ini sangat berlawanan dengan image yang sering dimunculkan oleh Jokowi saat berkuasa. Dia selalu berusaha memunculkan imaji bahwa ia adalah presiden yang bekerja, efektif, solutif, dan get things done. Benar atau tidak, itu soal lain. Yang penting adalah citra bahwa presiden bekerja keras dan menyelesaikan banyak masalah. 

Prabowo agaknya punya solusi untuk mengatasi berbagai persoalan di kabinetnya. Ketiadaan mitra strategis yang mampu menjalankan semua agendanya membuat Prabowo akhirnya memilih militer. Ia sendiri adalah seorang mantan jenderal. Latar belakangnya yang kelam selama di dinas militer bisa dihapus dengan kekuasaannya sebagai presiden.

Hampir semua program unggulan pemerintahan Prabowo melibatkan militer. Pengerahan tentara ini mencapai beberapa kemenangan cepat (quick wins) pada awal pemerintahannya. Misalnya dalam program makan bergizi gratis, keamanan pangan dan food estate, kemandirian energi, serta air bersih.

Makan bergizi gratis membutuhkan organisasi yang besar. Prabowo memanfaatkan militer untuk mengoperasikan program ini. Tentara Nasional Indonesia mempersiapkan 599 lokasi untuk dapur umum. TNI juga mempersiapkan 351 komando distrik militer, 14 pangkalan utama Angkatan Laut, dan 41 pangkalan Angkatan Udara untuk operasi makan siang ini.

Militer juga sangat terlibat dalam keamanan pangan. Kepala Staf TNI Angkatan Darat mengumumkan tahun ini akan membentuk 100 batalion teritorial pembangunan untuk membantu keamanan pangan. Ketika menjadi Menteri Pertahanan, Prabowo sudah melibatkan militer dalam proyek food estate di Kalimantan Tengah. Pelibatan militer untuk lumbung pangan juga berlanjut sekarang ini. Tiga dari lima batalion yang baru dibentuk di Papua dikerahkan untuk membantu pembangunan food estate di Provinsi Papua Selatan.

Pelibatan militer hampir pasti akan makin besar di masa depan. TNI Angkatan Darat berencana membuat batalion teritorial pembangunan di setiap komando distrik militer. Kodim juga akan hadir di setiap kabupaten. Ada pula rencana pembentukan 22 komando daerah militer baru dari jumlah 15 yang ada saat ini.

Tidak diragukan lagi, pemerintahan Prabowo berkarakter teknokratik-militeristik. Ia tidak memakai istilah dwifungsi TNI untuk menggambarkan keterlibatan militer dalam politik pemerintahan. Untuk sementara, pendekatan teknokratik-militeristik ini berguna untuk mengatasi masalah-masalah struktural yang dihadapi Prabowo. Di sisi lain, dengan membiarkan kabinetnya berjalan apa adanya, Prabowo juga terlihat memiliki ketidakpercayaan (distrust) terhadap para politikus dan birokrat sipil. Ia menempuh jalan pintas dengan memainkan kartu militernya.

Sejauh mana ini akan berhasil? Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, militer pun tampak nyaman dan percaya diri dengan perannya yang makin besar. Fenomena ini bisa jadi merupakan dwifungsi merangkak. Jalan pintas serba cepat tanpa pertimbangan dan konsultasi yang matang dengan rakyat pemilik negeri ini akan sangat berisiko membawa Indonesia kembali ke otoritarianisme.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Dwifungsi Merangkak Prabowo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus