Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Prabowo berencana mengampuni koruptor asalkan mengembalikan uang hasil korupsi.
Pernah berjanji mengejar koruptor sampai ke Antarktika saat masa kampanye pemilihan presiden 2024.
Rencana yang bertentangan dengan sistem hukum di Indonesia.
DI Kairo, Mesir, sekitar 9.000 kilometer dari Jakarta, Prabowo Subianto mencetuskan gagasan kontroversial pada 18 Desember 2024 atau dua bulan setelah pelantikannya menjadi presiden. Ia mengatakan akan mengampuni koruptor. Syaratnya, para pelaku mau mengembalikan hasil korupsi. Prabowo bahkan hakulyakin cara itu tak akan membuat para koruptor kehilangan muka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana itu sepertinya bukan spontanitas. Buktinya, ia melontarkan penjelasan tambahan. Prabowo mengatakan akan memberikan keistimewaan itu agar kerugian negara bisa dipulihkan. Para koruptor juga tak perlu waswas karena pemerintah tak bakal menyeret mereka sebagai pesakitan di pengadilan. “Nanti kami beri kesempatan cara mengembalikannya, bisa diam-diam, biar tidak ketahuan,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski hingga kini tak ada tindak lanjutnya, pemikiran Prabowo telanjur membuat gaduh jagat media sosial dan pemberitaan media massa. Kalangan aktivis, akademikus, dan praktisi hukum ramai-ramai mengkritik ide Prabowo. Beberapa di antara mereka mengkontraskan ucapan itu dengan janji Prabowo saat berbicara dalam acara Partai Gerindra pada 31 Agustus 2024. Saat itu ia mengklaim tak akan menoleransi koruptor dan bakal mengejar mereka sekalipun harus ke Antarktika.
Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Arif Maulana menilai wacana pengampunan koruptor itu blunder karena tak sejalan dengan prinsip penegakan hukum. Ia khawatir pelaku kejahatan bakal menganggap praktik korupsi sebagai hal sepele. Mereka bisa leluasa menggasak kekayaan negara dan baru meminta pertobatan ketika disorot penegak hukum. “Ide itu justru bakal menyuburkan praktik korupsi,” ujarnya.
Menurut Arif, wacana pengampunan koruptor merupakan gagasan yang bertabrakan dengan prinsip pemberantasan korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 4 Undang-Undang Tipikor terang benderang menyatakan pengembalian uang hasil korupsi tidak menghapuskan proses pemidanaan bagi para pelaku. “Mandat undang-undang sudah jelas, kebijakan Presiden karena itu tak boleh berlawanan dengan aturan,” ucapnya.
Dalam sistem peradilan pidana, pengembalian uang bukanlah alasan untuk menghapuskan kesalahan. Uang tersebut hanya berfungsi sebagai faktor pengurang hukuman saat hakim menjatuhkan putusan. Arif mengungkapkan, gagasan pengampunan koruptor bertolak belakang dengan tujuan penyelamatan kekayaan negara. “Juga tujuan penegakan hukum untuk menciptakan efek jera,” tuturnya.
Mendapat reaksi penolakan, sejumlah menteri Prabowo berusaha memberikan klarifikasi. Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyatakan pengembalian uang hasil korupsi tak menghapus proses hukum. Ia bahkan melontarkan wacana lain: konsep pengampunan dengan penerapan denda damai sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan. “Jadi bukan berarti bisa bebas begitu saja,” ujarnya kepada wartawan.
Tapi pernyataan ini juga menuai kritik. Peneliti Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch Diky Anandya menilai ketentuan denda damai tak dikenal dalam Undang-Undang Tipikor. Dia menjelaskan, aturan itu lazim dipakai untuk menyelesaikan tindak pidana ekonomi seperti perkara cukai dan kepabeanan. “Ini pernyataan manipulatif yang bakal memperburuk kondisi penegakan hukum kasus korupsi yang terus meningkat,” ucapnya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar langsung meluruskan pernyataan Menteri Supratman. Pasal 35 ayat 1 huruf k Undang-Undang Kejaksaan menyebutkan Jaksa Agung berwenang menangani tindak pidana yang menyebabkan kerugian negara dan dapat menggunakan denda damai dalam tindak pidana ekonomi. “Denda damai yang dimaksud adalah untuk kasus yang merugikan perekonomian negara, termasuk tindak pidana ekonomi seperti kepabeanan dan cukai,” tutur Harli.
Diky Anandya mengatakan pemulihan kerugian negara akibat ulah para koruptor tak bisa dilakukan lewat mekanisme pengampunan. Salah satu solusi yang bisa dijajaki adalah pengesahan Undang-Undang Perampasan Aset. Peraturan tersebut sejatinya sudah masuk daftar program legislasi nasional sejak 2008. “Tapi hingga kini belum ada komitmen serius dari pemerintah ataupun Dewan Perwakilan Rakyat,” katanya.
Anggota Komisi III DPR, yang membidangi hukum, Benny Kabur Harman, mengakui banyaknya hambatan dalam pembahasan Undang-Undang Perampasan Aset. Dia menjelaskan, DPR dan pemerintah belum memiliki kesamaan pandangan dalam mendefinisikan istilah aset sitaan. Selama ini, dia menambahkan, mekanisme perampasan masih bisa dilakukan penegak hukum terhadap obyek yang ditengarai berasal dari hasil kejahatan. “Dasar hukumnya tak harus undang-undang baru,” ujarnya.
Benny menilai mekanisme pengampunan koruptor dan upaya pemulihan keuangan negara bukanlah isu baru. Dalam praktiknya, gagasan itu sudah diadopsi ketika pemerintah menggulirkan program tax amnesty atau pengampunan pajak. Meski begitu, Benny tak setuju jika gagasan itu diberlakukan untuk perkara yang sudah masuk ranah hukum. “Uang mereka harus dirampas. Kejahatannya dihukum. Jangan dikembalikan diam-diam,” tuturnya.
Sebenarnya, jauh sebelum gagasan Prabowo berembus, pemerintahan di periode pertama Presiden Joko Widodo pernah mewacanakan gagasan serupa. Dosen hukum tata negara di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar, mengaku pernah diundang membahas gagasan itu bersama sejumlah pakar dan pejabat kementerian. “Ide itu menarik dari sisi gagasan, tapi problematik dalam konteks penegakan hukum,” ucapnya.
Menteri Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan istilah pengampunan koruptor memang tak dikenal dalam sistem hukum Indonesia. Sebab, mekanisme pengampunan hanya bisa dipahami dalam konteks kewenangan presiden dalam memberikan amnesti, abolisi, ataupun grasi. Ketiga hak tersebut merupakan prerogatif presiden yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Yusril menerangkan, grasi atau amnesti merupakan mekanisme pengurangan atau pembebasan hukuman bagi para terpidana, apa pun jenis pidananya. Berbeda dengan hakim, keputusan presiden tak lagi berpijak pada pertimbangan hukum. “Melainkan alasan-alasan keadilan substantif, kemanusiaan, ataupun pertimbangan politik demi kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar,” katanya.
Dalam 100 hari kepemimpinan Prabowo, dia melanjutkan, wacana pengampunan tengah digodok untuk narapidana usia produktif yang terjerat kasus narkotik. Program tersebut merupakan bagian dari upaya mengurangi beban hunian lembaga pemasyarakatan di banyak tempat. Mereka yang layak mendapat pengampunan bakal menjalani rehabilitasi dan program pelatihan militeristik sebagai komponen cadangan.
Komponen cadangan merupakan mandat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Manusia untuk Pertahanan Negara. Melalui program tersebut, pemerintahan Prabowo berencana menerjunkan para penerima “amnesti” dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat dan melibatkan mereka dalam pembangunan proyek raksasa, seperti pembukaan lahan pertanian di Pulau Kalimantan dan Papua, sebagai pekerja.
Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Agus Andrianto mengatakan aturan pelaksana program tersebut tengah dikaji pemerintah, termasuk untuk para narapidana. Nantinya, dia mengimbuhkan, program ini bakal menyasar sekitar 39 ribu narapidana kasus narkotik. “Program ini hanya untuk pengguna, tidak berlaku untuk narapidana yang masuk kategori bandar dan jaringan pengedar narkotik,” ujarnya. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo