SAYA ingin mengomentari dua berita yang unik dan berhubungan, yang muncul dalam TEMPO 29 Juni. Pertama, berita tentang Pangeran Salman yang bingung menentukan kiblat (Pokok & Tokoh). Kedua, berita eksekusi yang membingungkan pada kasus Albert Wijaya dan Zaman ( Hukum). Tentang Pangeran Salman. Manusia di ruang angkasa memandang bumi yang berputar tidak bersama-sama dengan manusia penghuninya. Karena itu masjid Al-Haram (Mekkah) seralu berubah posisinya terhadap manusia yang akan salat. Fatwa Majelis Ulama Arab Saudi: Kiblat tak dapat dipastikan. Boleh salat menghadap ke mana saja, asal kan ke arah bumi . Tapi dari ruang angkasa matahari terbit dan tenggelam setiap 90 menit. Fatwa pun keluar: Waktu salat dihitung dengan jam. Komentar saya: Fatwa itu sungguh tepat dan adil. Rakyat (termasuk Pangeran Salman) memang berhak mendapatkan peradilan/putusan yang dapat dirasakan adil atau masuk akal. Saya ingin menambahkan, berpuasa pun dihitung dengan jam. Sebab, 90 menit untuk waktu berpuasa tidak masuk akal. Selanjutnya, kasus Albert Wijaya dan Zaman. Albert Wijaya dihukum membayar Rp 60 juta kepada Zaman, sedangkan Zaman dihukum membayar Rp 90 juta kepada Albert Wijaya. Albert minta agar harta Zaman dilelang lebih dulu buat membayar Rp 90 juta kepada Albert. Sesudah itu, harta Albert boleh dilelang buat membayar Rp 60 juta kepada Zaman. Kita semua maklum, pengadilan mengadili untuk rakyat. Jadi, dalam kasus Albert Wijaya dan Zaman, apa yang dirasakan adil oleh rakyat? Tentu saja, Zaman diwajibkan membayar Rp 90 juta - Rp 60 juta = Rp 30 juta kepada Albert. Itu sesuai dengan fatwa wakil ketua Mahkamah Agung, Poerwoto. Saya sengaja mengemukakan dua masalah - Pangeran Salman dan kasus Albert Wijaya dan Zaman yang, meskipun peristiwanya berbeda, mempunyai kaitan dengan hukum atau suatu fatwa. Sebab, akhirakhir ini banyak tindakan dan putusan pengadilan yang yuridis formal benar, tapi tidak dapat dirasakan adil oleh rakyat. Saya dapat mengemukakan sejumlah putusan hakim yang tidak masuk akal sebagai berikut: 1. Dua hektar tanah disahkan pembeliannya dengan harga Rp 10. Ketua pengadilan negeri tidak bersedia mengeksekusi. Tindakan ketua pengadilan negeri itu sangat tepat. 2. Tanah di jalan protokol disahkan penjualannya dengan harga Rp 1.000 per meter. Ini kasus korban rentenir, kasus Kartinah. Juga tidak dieksekusi. Ini pun tepat. 3. Seorang cucu harus menyerahkan tanahnya karena ia dianggap tidak dapat membuktikan bahwa 50 tahun lalu kakeknya membeli tanah itu dengan sah. Dan ini berakhir seperti contoh-contoh terdahulu . MR. SOEMARNO P. WIRJANTO Jalan Teposanan 18 Solo, Jawa Tengah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini