AKAN segera dibukanya hubungan dagang RI-RRC tampaknya membuat pihak Taiwan masygul. Mereka pesimitis akan masa depan hubungan langsung itu. "Saya kira, pihak Indonesia akan sulit sekali mencapai volume perdagangan hingga US$ 100 juta," kata Ma Chyan-Yih, sekretaris perdagangan dari Kamar Dagang Republik Cina (Taiwan) di Jakarta. Sebagai alasan, Ma menunjuk beberapa komoditi Indonesia yang Belakangan ini sulit dipasarkan. Karet, misalnya, memperoleh saingan dari Malaysia dan Singapura (yang sebagian besar berasal dari Indonesia), yang sangat kompetitif. "Republik Cina sendiri mengimpor karet dari Malaysia dan Singapura. Di samping kualitasnya baik, harganya juga lebih murah dari pada karet Indonesia. Kayu lapis juga sedang lesu di pasaran dunia," kata Ma. Ma Chyan-Yih berpendapat, prospek perdagangan negaranya dengan RI justru sangat baik dan cerah. Yang paling membuat dia optimistis adalah rencana pemerintahnya untuk membeli LNG dari Indonesia. "Kami merencanakan untuk 1,5 juta ton LNG setiap tahun, dengan nilai US$ 300 juta," tuturnya. Ia juga menunjuk rencana pemerintahnya menanam modal, yang bakal menghabiskan US$ 60 juta, dalam penambangan batu bara di Kalimantan. Rencana tersebut, kata Ma, akan menaikkan volume perdagangan Indonesia dan Republik Cina menjadi dua kali lipat. Neraca perdagangan kedua negara selama ini terus meningkat. Menurut catatan Kementerian Urusan Ekonomi dan Perdagangan Luar Negeri Taiwan, pada 1974 ekspor Taiwan ke Indonesia cuma US$ 127,5 juta, sedangkan impor US$ 181,7 juta. Pada 1983, ekspor melonjak menjadi US$ 429 juta, sedangkan impor US$ 344,5 juta. Tahun lalu (1984) impor naik men jadi USS 423 juta, tapi ekspor ke Indonesia menurun menjadi US$ 346 juta karena Indonesia mengurangi impor beras dari Taiwan berkat panen yang melimpah. Barang Taiwan yang masuk ke Indonesia sebagian besar adalah peralatan mesin dan alat elektronik di samping bahan kimia dasar serta alat pertukangan. Di pihak lain, minyak bumi dan kayu lapis merupakan 90% impor Taiwan dari Indonesa. Dagang langsung RI-RRC, menurut pendapat Ma, tidak akan meningkatkan persaingan antara produk negaranya dan produk RRC. "Produk kami sudah bersaing dengan produk RRC di pasaran Indonesia," ujarnya. Ma juga membanggakan barang buatan negerinya, yang lebih tinggi kualitasnya, lebih canggih, dibandingkan dengan buatan RRC. Ma juga mengingatkan, neraca perdagangan RI-RRC sekarang ini tidak menguntungkan dibandingkan neraca perdagangan RI - Republik Cina. Ekspor Indonesia ke RRC, misalnya, lebih banyak berupa barang konsumsi, seperti kopi, yang sewaktu-waktu bisa dihentikan pembeliannya. Lain halnya dengan Taiwan. Ekspor Indonesia ke sana banyak yang berupa bahan mentah vital, seperti minyak bumi. "Jadi, bagaimanapun bangkrutnya kami, tetap kami akan membeli minyak bumi karena itu vital bagi kami." Tampaknya, Ma Chyan-Yih ingin menunjukkan bahwa untuk jangka panjang negaranya lebih bisa diandalkan sebagai partner dagang dibandingkan RRC. "Negara kami seratus persen penduduknya anti-komunis dan anti-Cina Daratan. Perasaan anti-komunis ini saya kira juga ada pada pemerintah Indonesia. Lalu, kalau sama-sama anti-komunis, kenapa pemerintah Indonesia kurang ramah pada kami?" Ia menunjukkan beberapa bukti. Antara lain sulitnya warga negara Taiwan untuk memperoleh visa Indonesia, yang sering harus menunggu dua bulan. Padahal, pihaknya bisa memberikan visa buat orang Indonesia yang mau berkunjung ke Taiwan dalam 24 jam. "Ini menyulitkan pengusaha kami untuk berkunjung ke Indonesia," katanya. Tatkala mengatakan hal itu, nada suara Ma terdengar getir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini