BETAPA besarnyakah harga yang harus dibayar rakyat setempat
untuk mendirikan candi besar Borobudur di abad ke-9? Persoalan
ini sampai sekarang masih hangat dibicarakan oleh para
sejarawan.
Adapun pada zaman itu penduduk masih sangat sedikit. Mereka
terutama memadati wilayah sekitar kerajaan atau kraton. Dan ini
terdapat di Jawa Tengah dan juga Timur -- yang juga sangat
subur. Artinya pula, di sini pertanian dapat menghasilkan
surplus (kelebihan) yang besar sekali.
Memang hanya di wilayah seperti itu kebudayaan kraton yang
monumental dapat lahir. Tenaga manusia di masa itu sudah tentu
merupakan faktor produksi yang pokok. Dan tenaga ini pula yang
dijadikan alat untuk membangun Borobudur, melalui kerja bakti.
Kerja tanpa dibayar ini merupakan suatu bentuk upeti yang
dikenal di daerah pedalaman Jawa dari dahulu sampai zaman modern
di awal abad ke-20 suatu hal yang tak dikenal di daerah
pesisiran dan di kerajaan-kerajaan maritim.
Meskipun demikian, kalau kita menelaah kesenian yang terlihat
pada patung dan pahatan Borobudur, tak nampak terpancar adanya
paksaan di baliknya. Tidak ada perasaan dibebani kerja yang
terlalu besar. Kesenian yang terungkap dalam candi menunjukkan
keriangan dan kebaktian yang tak mungkin terdapat kalau ada
pecut yang mengancam para pekerja.
Namun banyaknya bangunan yang didirikan dalam waktu relatif
singkat -- yakni dua abad -- menimbulkan dugaan terjadinya
bencana sosial dan disintegrasi masyarakat.
Sejarawan B. Schrieke misalnya menduga, bahwa beban kerja bakti
untuk mendirikan candi ini akhirnya yang menyebabkan orang
meninggalkan daerah kerajaan Jawa Tengah dan Timur, tempat
berdirinya pusat-pusat kekuasaan. Memang, salah satu cara bagi
para petani dan rakyat untuk melarikan diri dari beban berat
adalah untuk berpindah -- entah ke pusat kerajaan lain, entah ke
daerah lain tempat tanah masih luas. Dengan kata lain, mereka
"memberikan suara" menolak dengan kaki mereka.
Mungkin bangunan-bangunan batu itu hanya secara tidak langsung
saja menyebabkan disintegrasi. Terlalu banyaknya beban untuk
monumen dapat mengakibatkan telantarnya sawah dan tanah
pertanian umumnya. Apalagi agraria di zaman itu sangat sensitif
terhadap bencana, biarpun yang kecil sekalipun. Seandainya pun
tak ada cambuk yang memaksa mereka membangun monumen batu itu,
telantarnya sawah dapat mengakibatkan rusaknya sendi sosial.
Ada juga dugaan bahwa pada akhirnya daerah sekitar Borobudur dan
candi-candi lain di Jawa Tengah ditinggalkan orang karena adanya
"ancaman" dari kerajaan lain terhadap Jawa Tengah.
Menurut saya, kemungkinan seperti itu tak demikian besar. Di
zaman dahulu, jawaban masyarakat terhadap ancaman seperti itu
hanyalah: mengungsi buat sementara untuk kemudian kembali ke
tempat pemukiman bila musuh sudah mundur. Ini mengingat dahulu
tak ada kerajaan yang menduduki suatu tempat dalam waktu lama,
karena belum cukup ada tentara pendudukan dan upaya mendirikan
garnisun ataupun benteng.
Lalu mengapa daerah Jawa Tengah ditinggalkan orang hingga
telantar pula Borobudur sampai ia ditemukan orang Barat?
Agaknya, seperti terdapat di India, bila suatu pusat politik
terlalu banyak menyedot sumber-sumber masyarakat guna tegaknya
peradaban kraton dan tempat suci, daerah itu pun mengalami
disintegrasi sosial dan ekonomi.
Namun sementara itu ada pula dampak lain, bila tenaga kerja
manusia diperlukan dalam jumlah yang demikian besar. Ini memang
tak nampak dalam masa Borobudur, tapi terjadi selama zaman
kolonial Belanda di abad ke-19.
Di zaman ini, sistem ekonomi juga berdasarkan tenaga manusia,
khususnya di Jawa. Perkebunan tanam paksa memerlukan tenaga
manusia yang cukup besar antara 60 sampai 80% penduduk petani
Jawa terlibat di dalamnya. Juga kebutuhan tenaga kerja
perkebunan kolonial diperoleh melalui upeti yang oleh rakyat
disebut sebagai kerja rodi.
Akibat dad kebutuhan besar tenaga manusia ini, menurut ahli
antropologi Geertz, misalnya, yang menyebabkan masyarakat
berusaha membagi kerja rodi seringan mungkin. Caranya: dengan
melahirkan sebanyak-banyaknya anak, hingga banyak anak pun
dianggap sebagai banyak rezeki.
Tentu, pertumbuhan penduduk secara besar-besaran yang
mengakibatkan Jawa di abad ke-19 dianggap salah satu tinggi
tingkat kenaikannya di dunia -- tidaklah hanya karena faktor
itu. Harus dicatat adanya perbaikan kesehatan, juga adanya
efisiensi dalam panen dan tidak adanya peperangan.
Mungkin faktor-faktor itulah yang tak ada di masa Borobudur,
hingga monumen besar yang dibangun dengan susah payah itu
kemudian ditelantarkan. Namun apa pun sebenarnya yang terjadi
dengan kerajaan Mataram Hindu itu setelah melahirkan zaman
bangunan batu monumental, kita tak tahu secara pasti. Kita tak
memiliki dokumentasi yang cukup mengenainya.
Untuk sementara yang kita ketahui ialah, bahwa daerah yang
pernah padat penduduknya, dan jadi pusat kerajaan yang besar
itu, kelihatan seperti lenyap kira-kira di akhir abad ke-10.
Selama 400 sampai 500 tahun berikutnya bahkan kita tak mendengar
apa pun tentang daerah di Jawa Tengah ini.
Daerah itu hanya sunyi, sampai dinasti Pajang dan Mataram
membangun kerajaan baru, setelah datangnya Islam. Tapi
dibandingkan dengan Borobudur, peninggalan kerajaan yang datang
kemudian ini justru praktis lebih tidak bertahan secara
monumental. Pembangunan yang seperti di abad ke-9 tidak terulang
lagi dalam sejarah, barangkali sampai dengan ya masjid Istiqlal
di masa kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini