Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Rakyat dan borobudur

Pembuatan candi borobudur terlantar karena ditinggalkan penduduk jawa tengah. ada kemungkinan berpindahnya penduduk itu akibat ancaman kerajaan lain terhadap jawa tengah. mungkin ada disintegrasi sosial.

26 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BETAPA besarnyakah harga yang harus dibayar rakyat setempat untuk mendirikan candi besar Borobudur di abad ke-9? Persoalan ini sampai sekarang masih hangat dibicarakan oleh para sejarawan. Adapun pada zaman itu penduduk masih sangat sedikit. Mereka terutama memadati wilayah sekitar kerajaan atau kraton. Dan ini terdapat di Jawa Tengah dan juga Timur -- yang juga sangat subur. Artinya pula, di sini pertanian dapat menghasilkan surplus (kelebihan) yang besar sekali. Memang hanya di wilayah seperti itu kebudayaan kraton yang monumental dapat lahir. Tenaga manusia di masa itu sudah tentu merupakan faktor produksi yang pokok. Dan tenaga ini pula yang dijadikan alat untuk membangun Borobudur, melalui kerja bakti. Kerja tanpa dibayar ini merupakan suatu bentuk upeti yang dikenal di daerah pedalaman Jawa dari dahulu sampai zaman modern di awal abad ke-20 suatu hal yang tak dikenal di daerah pesisiran dan di kerajaan-kerajaan maritim. Meskipun demikian, kalau kita menelaah kesenian yang terlihat pada patung dan pahatan Borobudur, tak nampak terpancar adanya paksaan di baliknya. Tidak ada perasaan dibebani kerja yang terlalu besar. Kesenian yang terungkap dalam candi menunjukkan keriangan dan kebaktian yang tak mungkin terdapat kalau ada pecut yang mengancam para pekerja. Namun banyaknya bangunan yang didirikan dalam waktu relatif singkat -- yakni dua abad -- menimbulkan dugaan terjadinya bencana sosial dan disintegrasi masyarakat. Sejarawan B. Schrieke misalnya menduga, bahwa beban kerja bakti untuk mendirikan candi ini akhirnya yang menyebabkan orang meninggalkan daerah kerajaan Jawa Tengah dan Timur, tempat berdirinya pusat-pusat kekuasaan. Memang, salah satu cara bagi para petani dan rakyat untuk melarikan diri dari beban berat adalah untuk berpindah -- entah ke pusat kerajaan lain, entah ke daerah lain tempat tanah masih luas. Dengan kata lain, mereka "memberikan suara" menolak dengan kaki mereka. Mungkin bangunan-bangunan batu itu hanya secara tidak langsung saja menyebabkan disintegrasi. Terlalu banyaknya beban untuk monumen dapat mengakibatkan telantarnya sawah dan tanah pertanian umumnya. Apalagi agraria di zaman itu sangat sensitif terhadap bencana, biarpun yang kecil sekalipun. Seandainya pun tak ada cambuk yang memaksa mereka membangun monumen batu itu, telantarnya sawah dapat mengakibatkan rusaknya sendi sosial. Ada juga dugaan bahwa pada akhirnya daerah sekitar Borobudur dan candi-candi lain di Jawa Tengah ditinggalkan orang karena adanya "ancaman" dari kerajaan lain terhadap Jawa Tengah. Menurut saya, kemungkinan seperti itu tak demikian besar. Di zaman dahulu, jawaban masyarakat terhadap ancaman seperti itu hanyalah: mengungsi buat sementara untuk kemudian kembali ke tempat pemukiman bila musuh sudah mundur. Ini mengingat dahulu tak ada kerajaan yang menduduki suatu tempat dalam waktu lama, karena belum cukup ada tentara pendudukan dan upaya mendirikan garnisun ataupun benteng. Lalu mengapa daerah Jawa Tengah ditinggalkan orang hingga telantar pula Borobudur sampai ia ditemukan orang Barat? Agaknya, seperti terdapat di India, bila suatu pusat politik terlalu banyak menyedot sumber-sumber masyarakat guna tegaknya peradaban kraton dan tempat suci, daerah itu pun mengalami disintegrasi sosial dan ekonomi. Namun sementara itu ada pula dampak lain, bila tenaga kerja manusia diperlukan dalam jumlah yang demikian besar. Ini memang tak nampak dalam masa Borobudur, tapi terjadi selama zaman kolonial Belanda di abad ke-19. Di zaman ini, sistem ekonomi juga berdasarkan tenaga manusia, khususnya di Jawa. Perkebunan tanam paksa memerlukan tenaga manusia yang cukup besar antara 60 sampai 80% penduduk petani Jawa terlibat di dalamnya. Juga kebutuhan tenaga kerja perkebunan kolonial diperoleh melalui upeti yang oleh rakyat disebut sebagai kerja rodi. Akibat dad kebutuhan besar tenaga manusia ini, menurut ahli antropologi Geertz, misalnya, yang menyebabkan masyarakat berusaha membagi kerja rodi seringan mungkin. Caranya: dengan melahirkan sebanyak-banyaknya anak, hingga banyak anak pun dianggap sebagai banyak rezeki. Tentu, pertumbuhan penduduk secara besar-besaran yang mengakibatkan Jawa di abad ke-19 dianggap salah satu tinggi tingkat kenaikannya di dunia -- tidaklah hanya karena faktor itu. Harus dicatat adanya perbaikan kesehatan, juga adanya efisiensi dalam panen dan tidak adanya peperangan. Mungkin faktor-faktor itulah yang tak ada di masa Borobudur, hingga monumen besar yang dibangun dengan susah payah itu kemudian ditelantarkan. Namun apa pun sebenarnya yang terjadi dengan kerajaan Mataram Hindu itu setelah melahirkan zaman bangunan batu monumental, kita tak tahu secara pasti. Kita tak memiliki dokumentasi yang cukup mengenainya. Untuk sementara yang kita ketahui ialah, bahwa daerah yang pernah padat penduduknya, dan jadi pusat kerajaan yang besar itu, kelihatan seperti lenyap kira-kira di akhir abad ke-10. Selama 400 sampai 500 tahun berikutnya bahkan kita tak mendengar apa pun tentang daerah di Jawa Tengah ini. Daerah itu hanya sunyi, sampai dinasti Pajang dan Mataram membangun kerajaan baru, setelah datangnya Islam. Tapi dibandingkan dengan Borobudur, peninggalan kerajaan yang datang kemudian ini justru praktis lebih tidak bertahan secara monumental. Pembangunan yang seperti di abad ke-9 tidak terulang lagi dalam sejarah, barangkali sampai dengan ya masjid Istiqlal di masa kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus