DUNIA kini tengah menunggu-nunggu apa kiranya yang akan
diputuskan oleh para menteri perminyakan negara-negara Teluk
(Arab) yang hari Selasa ini mulai bersidang di Dahran. Dipimpin
tuan rumah Menteri Perminyakan Arab Saudi Ahmad Zaki Yamani,
para menteri lainnya yang tergabung dalam Dewan Kerja sama Teluk
(GCC) -- Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar, Oman dan Bahrain --
tengah merundingkan situasi pasaran dan harga minyak dunia,
setelah Nigeria secara sepihak menurunkan harga ekspor minyak
mereka, jenis Bonny Light dengan US$ 5,50 per barrel, menjadi
US$ 30 per barrel.
Pengumuman yang dibacakan penasihat presiden urusan perminyakan
dan energi Mallam Yahaya Dikko, melalui televisi di Lagos Sabtu
malam lalu, memang mengejutkan banyak pihak, terutama para
anggota OPEC. Selain Yahaya Dikko kini masih menyandang
kedudukan sebagai presiden OPEC, baru kali ini dalam sejarah
organisasi negara-negara pengekspor minyak bumi (OPEC) yang
berusia 23 tahun, terjadi pelanggaran secara resmi oleh
anggotanya.
Yahaya Dikko sendiri dalam pengumumannya menyatakan, Nigeria
"masih tetap sebagai anggota OPEC", dan meminta agar dunia
mengerti bahwa tindakan pemerintahnya itu merupakan suatu upaya
untuk menyelamatkan perekonomian negerinya yang sedang dilanda
kesulitan keuangan. Tindakan penurunan harga sebanyak 15% itu,
menurut Dikko, adalah untuk mengimbangi harga minyak Laut Utara
yang sehari sebelumnya turun dengan US$ 3,50 per barrel, menjadi
US$ 30,50.
Adalah Inggris yang sesungguhnya telah menarik picu turunnya
harga minyak, ketika dengan tenang British National Oil
Corporation (BNOC) mengeluarkan surat edaran kepada para
langganannya untuk menurunkan harga minyak North Sea jenis
Forties dan Brent dengan 9% (US$ 3 per barrel). Itu pula yang
telah diramalkan oleh Sheikh Zaki Yamani, dan dikhawatirkan
banyak anggota OPEC, ketika mereka gagal mencapai kesepakatan
pengaturan produksi di Jenewa 24 Januari lalu.
Bagi Nigeria sendiri, gerak-gerik harga minyak North Sea itu
sungguh menyakitkan, mengingat jenis Bonny kurang lebih
berkualitas sama, dan mempunyai pasaran yang sama dengan minyak
Inggris.
Kedudukan Inggris sebagai pendatang baru dalam dunia minyak
memang tak bisa dipandang enteng. Produksi mereka sebanyak
rata-rata 2,2 juta barrel sehari --dengan ekspor sekitar 1,3
juta barrel -- menyamai produksi lima negara OPEC: Nigeria,
Kuwait, Qatar, Equador dan Gabon. Kalau saja ikut dihitung
produksi minyak North Sea dari Norwegia yang sekitar 600.000
barrel sehari, kunci penurunan harga minyak dunia memang adadi
saku kelompok Laut Utara. Seperti diketahui, bersamaan dengan
edaran BNOC itu, perusahaan minyak negara Norwegia Statoil telah
mengumumkan harga baru minyak mereka yang jatuh menjadi US$
30,15-31 per barrel.
Agaknya tindakan Inggris itu pula yang sejak lama
ditunggu-tunggu oleh Arab Saudi. Sekalipun produksi minyak Arab
Saudi sampai sekarang masih terbesar, kurang lebih 5 juta barrel
sehari, Ryadh agaknya tak ingin dituding sebagai pelopor
penurunan harga minyak. Itu pula sebabnya Menteri Yamani, dalam
dua sidang OPEC terakhir, di Wina dan Jenewa, tetap bertahan
pada harga patokan resmi yang US$ 34 per barrel. Meskipun di
pasaran spot, harga jenis Arabian Light bisa diperoleh sekitar
US$ 28 per barrel, atau kurang dari itu.
Bisa dipastikan harga patokan OPEC yang US$ 34 per barrel itu
tak lagi bisa dipertahankan. Sampai berita ini turun Selasa pagi
(22 Februari) belum terbetik berita, penurunan berapa dollar
kiranya yang akan disepakati sidang GCC di Dahran, sebagai
kelanjutan sidang di Ryadh akhir pekan lalu. Wartawan kantor
berita AP yang bertugas di sana, Senin malam lalu hanya
melaporkan, "akan terjadi suatu pemotongan harga besar."
Beberapa hari setelah gagalnya sidang darurat OPEC di Jenewa,
para pengamat mencatat paling tidak harga patokan minyak OPEC
itu harus turun dengan US$ 3, menjadi US$ 31 per barrel. Tapi
dengan turunnya harga Forties dan Brent sebesar US$ 3 per
barrel, yang kualitasnya lebih tinggi dari Arabian Light, tidak
mustahil harga patokan OPEC itu akan turun dengan sekitar US$ 4,
menjadi US$ 30 per barrel, menyamai harga Bonny-nya Nigeria.
Bisa juga harga patokan OPEC itu turun dengan US$ 5 per barrel,
siapa tahu?
Tapi omong-omong, bagaimana dengan minyak kita? Baik Menteri
Pertambangan dan Energi Subroto, maupun para pejabat Ekuin yang
lain, belum terdengar memberikan reaksi terhadap keputusan
London dan Lagos. Dua pekan lalu Menteri Subroto malah
mengatakan masih akan tetap memperjuangkan agar kuota produksi
minyak Indonesia yang ditetapkan oleh OPEC, bisa dinaikkan
dengan 200.000 barrel sehari, menjadi 1,5 juta barrel sehari.
Indonesia, yang pada Desember tahun lalu, masih tetap bisa
mempertahankan produksi minyaknya sebanyak 1.350.801 barrel
sehari, nampaknya lebih suka untuk menunggu perkembangan. Harga
patokan minyak Indonesia, jenis Sumatran Light Crude yang US$
34,57 per barrel, kurang lebih adalah setaraf dengan jenis
Bonny, Forties dan Brent. Dari situ agaknya bisa diduga apa yang
akan terjadi dengan harga ekspor minyak kita, kalau dalam
hari-hari ini akan keluar pengumuman penting dari Dahran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini