Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Harga jatuh dari london

Para menteri perminyakan negara-negara teluk (arab) yang tergabung dalam gcc (dewan kerjasama teluk), bersidang di dahran, merundingkan situasi pasaran dan harga minyak dunia.(eb)

26 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUNIA kini tengah menunggu-nunggu apa kiranya yang akan diputuskan oleh para menteri perminyakan negara-negara Teluk (Arab) yang hari Selasa ini mulai bersidang di Dahran. Dipimpin tuan rumah Menteri Perminyakan Arab Saudi Ahmad Zaki Yamani, para menteri lainnya yang tergabung dalam Dewan Kerja sama Teluk (GCC) -- Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar, Oman dan Bahrain -- tengah merundingkan situasi pasaran dan harga minyak dunia, setelah Nigeria secara sepihak menurunkan harga ekspor minyak mereka, jenis Bonny Light dengan US$ 5,50 per barrel, menjadi US$ 30 per barrel. Pengumuman yang dibacakan penasihat presiden urusan perminyakan dan energi Mallam Yahaya Dikko, melalui televisi di Lagos Sabtu malam lalu, memang mengejutkan banyak pihak, terutama para anggota OPEC. Selain Yahaya Dikko kini masih menyandang kedudukan sebagai presiden OPEC, baru kali ini dalam sejarah organisasi negara-negara pengekspor minyak bumi (OPEC) yang berusia 23 tahun, terjadi pelanggaran secara resmi oleh anggotanya. Yahaya Dikko sendiri dalam pengumumannya menyatakan, Nigeria "masih tetap sebagai anggota OPEC", dan meminta agar dunia mengerti bahwa tindakan pemerintahnya itu merupakan suatu upaya untuk menyelamatkan perekonomian negerinya yang sedang dilanda kesulitan keuangan. Tindakan penurunan harga sebanyak 15% itu, menurut Dikko, adalah untuk mengimbangi harga minyak Laut Utara yang sehari sebelumnya turun dengan US$ 3,50 per barrel, menjadi US$ 30,50. Adalah Inggris yang sesungguhnya telah menarik picu turunnya harga minyak, ketika dengan tenang British National Oil Corporation (BNOC) mengeluarkan surat edaran kepada para langganannya untuk menurunkan harga minyak North Sea jenis Forties dan Brent dengan 9% (US$ 3 per barrel). Itu pula yang telah diramalkan oleh Sheikh Zaki Yamani, dan dikhawatirkan banyak anggota OPEC, ketika mereka gagal mencapai kesepakatan pengaturan produksi di Jenewa 24 Januari lalu. Bagi Nigeria sendiri, gerak-gerik harga minyak North Sea itu sungguh menyakitkan, mengingat jenis Bonny kurang lebih berkualitas sama, dan mempunyai pasaran yang sama dengan minyak Inggris. Kedudukan Inggris sebagai pendatang baru dalam dunia minyak memang tak bisa dipandang enteng. Produksi mereka sebanyak rata-rata 2,2 juta barrel sehari --dengan ekspor sekitar 1,3 juta barrel -- menyamai produksi lima negara OPEC: Nigeria, Kuwait, Qatar, Equador dan Gabon. Kalau saja ikut dihitung produksi minyak North Sea dari Norwegia yang sekitar 600.000 barrel sehari, kunci penurunan harga minyak dunia memang adadi saku kelompok Laut Utara. Seperti diketahui, bersamaan dengan edaran BNOC itu, perusahaan minyak negara Norwegia Statoil telah mengumumkan harga baru minyak mereka yang jatuh menjadi US$ 30,15-31 per barrel. Agaknya tindakan Inggris itu pula yang sejak lama ditunggu-tunggu oleh Arab Saudi. Sekalipun produksi minyak Arab Saudi sampai sekarang masih terbesar, kurang lebih 5 juta barrel sehari, Ryadh agaknya tak ingin dituding sebagai pelopor penurunan harga minyak. Itu pula sebabnya Menteri Yamani, dalam dua sidang OPEC terakhir, di Wina dan Jenewa, tetap bertahan pada harga patokan resmi yang US$ 34 per barrel. Meskipun di pasaran spot, harga jenis Arabian Light bisa diperoleh sekitar US$ 28 per barrel, atau kurang dari itu. Bisa dipastikan harga patokan OPEC yang US$ 34 per barrel itu tak lagi bisa dipertahankan. Sampai berita ini turun Selasa pagi (22 Februari) belum terbetik berita, penurunan berapa dollar kiranya yang akan disepakati sidang GCC di Dahran, sebagai kelanjutan sidang di Ryadh akhir pekan lalu. Wartawan kantor berita AP yang bertugas di sana, Senin malam lalu hanya melaporkan, "akan terjadi suatu pemotongan harga besar." Beberapa hari setelah gagalnya sidang darurat OPEC di Jenewa, para pengamat mencatat paling tidak harga patokan minyak OPEC itu harus turun dengan US$ 3, menjadi US$ 31 per barrel. Tapi dengan turunnya harga Forties dan Brent sebesar US$ 3 per barrel, yang kualitasnya lebih tinggi dari Arabian Light, tidak mustahil harga patokan OPEC itu akan turun dengan sekitar US$ 4, menjadi US$ 30 per barrel, menyamai harga Bonny-nya Nigeria. Bisa juga harga patokan OPEC itu turun dengan US$ 5 per barrel, siapa tahu? Tapi omong-omong, bagaimana dengan minyak kita? Baik Menteri Pertambangan dan Energi Subroto, maupun para pejabat Ekuin yang lain, belum terdengar memberikan reaksi terhadap keputusan London dan Lagos. Dua pekan lalu Menteri Subroto malah mengatakan masih akan tetap memperjuangkan agar kuota produksi minyak Indonesia yang ditetapkan oleh OPEC, bisa dinaikkan dengan 200.000 barrel sehari, menjadi 1,5 juta barrel sehari. Indonesia, yang pada Desember tahun lalu, masih tetap bisa mempertahankan produksi minyaknya sebanyak 1.350.801 barrel sehari, nampaknya lebih suka untuk menunggu perkembangan. Harga patokan minyak Indonesia, jenis Sumatran Light Crude yang US$ 34,57 per barrel, kurang lebih adalah setaraf dengan jenis Bonny, Forties dan Brent. Dari situ agaknya bisa diduga apa yang akan terjadi dengan harga ekspor minyak kita, kalau dalam hari-hari ini akan keluar pengumuman penting dari Dahran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus