BERBEDA dengan oom senang, pamor bapak angkat masih cukup
tinggi dalam masyarakat kita. Mulai dari bisnis industri
macam-macam hingga bisnis olah raga, semuanya memakai bapak
angkat. Bahkan pemerintah turut mencanangkan sistem pengembangan
suatu sektor kehidupan masyarakat dengan menggunakan bapak
angkat. Peringatan para cendekiawan bahwa sistem bapak angkat
nantinya akan macet di tangan anak emas, sering tidak dihiraukan
.
Tetapi persoalannya ternyata tidak begitu mulus dengan jenis
bapak angkat lain, yang berhubungan dengan adopsi. Banyak
prokontranya. Yang setuju, tentu, mula-mula para perantara yang
mengusahakan adopsi - apalagi yang memperoleh laba besar.
Sesudah itu orang yang tidak punya anak, yang memandang adopsi
akan memberi kesenangan sebagaimana yang dirasakan orang lain
yang tampak bahagia.
Tetapi yang menolak bukan main-main 'tanda pengenal' nya.Tidak
kurang dari para ulama. Juga para pemuka Islam. Tak ketinggalan
tentu 'barisan depan' mereka, seperti kaum remaja masjid dan
sejumlah cendekiawan muslim. Banyak argumen dikemukakan. Untung,
pihak Majlis Ulama belum secara resmi mengumumkan adopsi sebagai
dosa seperti dalam kasus sterilisasi - tubektomi dan vasektomi -
baru-baru ini.
Mengapa masih begitu-begitu juga reaksi 'juru bicara Islam'
terhadap berbagai masalah 'masa kini'? Apakah Islam tidak mau
tahu nasib orang yang menderita karena tak punya anak? Atau
tidak kasihan melihat bayi-bayi yang tak akan terangkat nasibnya
tanpa diambil anak orang lain yang bernasib lebih baik?
Pertanyaan itu wajar - walau di dalamnya masih terselip sebuah
kesalahpahaman tentang sikap Islam terhadap masalah-masalah
keluarga dan kemasyarakatan, khususnya di sini sehubungan dengan
adopsi.
Dalam Hukum Islam, hubungan kekeluargaan menyangkut dua aspek
utama. Yaitu nasab (keturunan) dan pergaulan sesama anggota
keluarga (hirmah). Aspek keturunan akan menentukan hak anak atas
warisan, yang dapat berkembang juga menjadi hak saudara atas
harta saudara, kakek atas harta ayah, ayah atas harta anak,
suami atas harta istri dan sebaliknya, ibu atas harta anak pula,
dan seterusnya.
Sekali hak itu ditegakkan, ia harus diikuti secara tuntas. Dalam
kasus orang meninggal tanpa punya anak seorang pun, hartanya
harus dibagi antara istri, ayah, atau ibu, saudara, dan
seterusnya, sudah tentu dalam kombinasi yang kompleks. Itu semua
ilmu tersendiri dalam Hukum Islam: ilmu pembagian harta waris,
Faraid.
Anak orang yang diangkat menjadi anak sendiri dengan sendirinya
akan menggeser kedudukan anggota keluarga yang mungkin akan
memperoleh warisan. Ini tentu menyulitkan - atau bahkan
menggagalkan seluruhnya - sistem waris yang struktur dasarnya
sudah 'disahkan Allah'. Tak heran masalahnya lalu ditanggapi
secara emosional: takut kepada implikasi 'kutak-katik hukum
Allah'.
Aspek kedua. Seorang anak, ayah, ibu, saudara kandung, saudara
tiri, paman, bibi, kemanakan, kakek, nenek, cucu, semuanya itu
sah sebagai keluarga langsung. Tidak dapat dikawin. Pergaulan
dapat dilakukan 'bebas', dalam arti tak ada larangan untuk
bertemu mungkin karena tidak dikhawatirkan akan berkencan.
Berbeda dengan orang lain. Suami dan istri hanya boleh bergaul
bebas, melakukan hubungan seksual, kalau telah sah menjadi
suami- istri. Itu pun masih terbawa 'status orang luar' yang
dimilikinya sejak sebelum kawin. Yakni dalam soal batalnya wudu:
istri dan suami akan batal wudu mereka begitu bersentuhan kulit.
Kalau ke dalam persepsi hukum agama seperti itu lalu masuk
'unsur baru', berupa anak pungut yang tidak punya garis
kekeluargaan langsung, tidak usah diherankan muncul reaksi.
Apalagi kalau dikaitkan dengan kecurigaan hubungan antaretnis,
'jiwa kebangsaan', dan seterusnya.
Di lain pihak, perbenturan budaya dengan masyarakat-masyarakat
lain telah membawakan tuntutan untuk menerima gagasan adopsi.
Humanisme Barat, umpamanya, menganggap tindakan memungut anak
sesuatu yang terpuji - didasari penghormatan yang sama kepada
manusia, baik keturunan sendiri maupun bukan, baik asal-usul
etnisnya sama maupun tidak.
Perkembangan historis juga membawakan tuntutannya sendiri.
Berabad-abad lamanya berbagai kawasan dunia menyaksikan kekuatan
politik yang berbeda-beda menyusun koalisi dengan sistem
angkat-mengangkat anak dan bapak, atau melalui sumpah setia
persaudaraan.
Pandangan kosmopolitan seperti ini sudah tentu heran melihat
bahwa masalah memungut dan mengangkat anak saja dapat menjadi
sesuatu yang begitu ruwet, seperti dalam Hukum Islam. Mungkin
lalu muncul anggapan bahwa Hukum Islam tak punya kelonggaran dan
kelenturan yang diperlukan guna mengatur hubungan antarmanusia
secara lebih manusiawi.
'Tuduhan' yang tidak sepenuhnya tepat itu, sebenarnya sudah
sering tampak dalam hal-hal lain. Rigiditas atau kekakuan Hukum
Islam sering dikeluhkan orang. Para ulama dan pemuka Islam tidak
punya jalan selain mempertahankan kekakuan itu, selama orientasi
legal-formalistik dijadikan pendckatan dalam masalah.
Sudah waktunya dipikirkan sebuah pendekatan yang lain, yang
memperlakukan manusia secara lebih menyeluruh, berdasar konsep
yang lebih bulat memandang manusia dalam kehidupannya. Kalau
tidak, alternatifnya: di kala para agamawan sibuk
mempertahankan penolakan atas gagasan adopsi anak, warga
masyarakat Islam melakukannya atas prakarsa sendiri, tidak
berkonsultasi dengan mereka. Oh, Islam, di manakah engkau?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini