Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Penyiksaan tahanan: sampai kapan?

Berbagai macam penyiksaan terhadap para tahanan, dan klinik anti penyiksaan di rumah sakit universitas kopenhagen (rigshospitalet) di kopenhagen. (sel)

5 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI luar, Rumah Sakit Universitas Kopenhagen merupakan bangunan yang sangat besar dan terang-benderang. Lobinya yang luas dan berdinding kaca menimbulkan suasana lapang. Halamannya yang tenang dan teduh mengurangi kebisingan lalu lintas kota bagi pasien yang dirawat di sana. Dikenal pula dengan nama Rigshospitalet, pusat pendidikan dokter dan penyembuhan orang sakit ini termasyhur di seluruh Denmark karena efisiensi dan mutu perawalannya. Tapi apa yang tak banyak diketahui umum adalah - seperti ditulis Cal McCrystal dalam majalah Sunday Times 2 Oktober - di sini sedang berlangsung serangkaian eksperimen yang mengandung penghormatan pada peri kemanusiaan . Melalui liku-liku gang yang membingungkan di rumah sakit itu orang akan sampai pada satu seksi yang dikenal sebagai Unit 2084. Inilah klinik anti penyiksaan yang pertama di dunia. Penyiksaan - baik fisik maupun mental - terhadap para tahanan, khususnya, hingga kini masih menjalar bagai penyakit menular di banyak bagian bumi. Terutama dinegeri berkembang, seperti terbukti dari jumlah pasien yang datang ke rumah sakit ini - ke ruangan-ruangan yang tata hiasnya menimbulkan ketenangan dan lantainya berlapiskan permadani. Di situlah mereka diusahakan bisa melupakan teror mengerikan, bisa mendapat harapan - kepercayaan kembali kepada sesama manusia - dan kesembuhan. Miguel Angel Lee Urzua, anggota serikat buruh Chili berusia 47 tahun, adalah seorang di antaranya. Sepuluh tahun lalu ia bekerja di pertambangan El Teniente di luar ibu kota Santiago. Kota tambang itu merupakan salah satu pusat pendukung terkuat presiden Chili sosialis Salvador Allende. Ketika terjadi kudeta militer, 1973, Miguel termasuk orang yang ditangkap pasukan keamanan. Ia mengalami penyiksaan yang mengerikan: dicemoohkan, 37 hari dikunci dalam sel, dipukuli pada malam hari, dan disengat dengan arus listrik. Dua tahun kemudian dibebaskan, tapi sebagai manusia ia sudah ambruk. Penglihatannya pun rusak. Ia tiba di Denmark beberapa tahun yang lalu dengan bantuan kawan-kawannya. Menurut dr. Inge Kemp Genefke, ahli saraf yang merawatnya, kasus Miguel merupakan salah satu yang paling berhasil di rumah sakit itu. Ketika tiba di Kopenhagen Miguel dalam keadaan amat tertekan. Kepalanya sering diganggu rasa sakit yang berat, daya ingatnya kacau, dan sama sekali tak bisa tersenyum. Ia merasa dirinya sudah bukan laki-laki lagi. Tapi kini lelaki bertubuh pendek gemuk itu sudah bisa tersenyum, dengan cahaya cerah pada wajahnya. la menjabat erat tangan setiap tamu yang mengunjunginya. Perawatan yang diterima Miguel memang tampak telah memulihkan fungsi tubuh dan jiwanya. Antara lain ia diharuskan berenang di kolam khusus, untuk memulihkan otot-otot. Pendengarannya yang rusak bisa pula disembuhkan berkat teknik modern . Dengan diet yang cermat dan konsultasi dengan dokter jiwa, lambat laun hantu teror yang membebaninya bisa disingkirkan. Dan kejantanannya - yang menurut anggapannya telah dirusakkan anak buah Jenderal Pinochet - telah pulih. Tapi jika ia melihat film tentang Chili, "perut saya terasa sakit lagi," katanya. "Juga kepala. Tapi selebihnya saya merasa segar-bugar." Tiap pagi ia lari keliling kota dan main tenis. Menurut dr. Genefke, pemeriksaan bekas tahanan tersiksa merupakan bidang baru bagi ilmu kedokteran. Klinik antipenyiksaan alias Rigshospitalet itu sendiri sebuah proyek perintis, yang didirikan setelah kalangan kedokteran menyadari betapa mengerikannya akibat-akibat penganiayaan. Sembilan tahun yang lalu mereka mulai menyusun rencana, dan kemudian berdirilah klinik itu. Dua negara Barat lain, Prancis dan Kanada, belum lama ini sudah pula mendirikan unit eksperimental bagi perawatan serupa. Sedang Inggris baru memikirkannya. Penganiayaan, dalam bahasa Inggris, disebut torture. Ini dari bahasa Latin torquere, yang artinya 'memelintir','menyakiti','menyiksa','menakut-nakuti'. Selama ribuan tahun penyiksaan diakui sebagai hak masyarakat untuk melindungi penguasa, rakyatnya, atau lembaga-lembaga kepercayaannya terhadap kejahatan. Atau mencegah terjadinya penyimpangan, baik terhadap cara hidup, cara berpikir, maupun keimanan yang sudah diterima umum. Gereja, misalnya, baik di Barat maupun Timur, menggunakannya. Dan sampai abad ke-17 penyiksaan memang diakui sah di banyak negara. Di negara mana pun larangan terhadap tindakan itu belum sepenuhnya berlaku sampai abad ke 19. Tambahan lagi, meski dewasa ini tak satu undang-undang yang dalam pasal atau ayatnya membenarkan penyiksaan, ia tetap saja terjadi di mana-mana. Bahkan kemajuan teknologi melahirkan pula teknik penyiksaan baru. Di kalangan para ahli, paling sedikit dikenal 15 istilah yang menggambarkan cara penyiksaan. Dengan 'pemukulan', yang dimaksud adalah jotosan, tendangan, hantaman tongkat pendek, atau gagang senapan. 'Siksa api' dilakukan dengan menyulut korban dengan rokok, cerutu, tongkat yang dipanaskan dengan listrik, minyak mendidih, atau acidum - atau panggangan yang merah terbakar. 'Siksa gigi': pencabutan gigi dengan paksa, tanpa obatbius.'Setrum': penggunaan elektroda, atau cambuk, atau pengaliran arus listrik di ranjang besi tempat si korban diikat. Dengan teknik 'exposure', korban dibiarkan untuk waktu lama dalam hawa dingin. 'Posisi paksa' (forced position) berarti: korban berada dalam posisi tertentu untuk waktu sangat lama, baik berbaring dengan tangan diikat ke belakang maupun berdiri terus-menerus. 'Besi tenggeran burung' ( parrot's perch): tangan atau kaki korban digantungkan pada kipas angin di plafon sebuah ruangan. Phalanga atau bastinada: telapak kaki dipukuli dengan cambuk. 'Siksa farmakologis': korban dipaksa minum obat yang menghancurkan kesehatannya. Lalu bentuk-bentuk 'siksa psikologis': pemaksaan untuk menyaksikan orang lain disiksa tembakan dengan peluru kosong atau tikaman dengan pisau mainan membangunkan korban secara mendadak ketika sedang tidur nyenyak terus-menerus menyorotinya dengan cahaya menyilaukan pengucilan perusakan pancaindera intimidasi perusakan kemampuan seks. 'Siksa potong': pemotongan anggota badan. 'Perkosaan': ke dalam vagina atau lubang dubur dimasukkan benda asing. Kemudian 'submarino ': membenamkan kepala korban ke dalam air berisi kotoran muntahan atau air kencing. 'Submarino kering': membungkus kepala dengan kantung plastik sampai si korban megap -megap. 'Telefono': menciptakan suara keras dekat kuping si korban sehingga merusakkan gendang telinganya menutup kepala korban dengan helm yang kemudian dipukuli. Kegiatan medis terhadap korban penyiksaan dimulai 1974 - atas permintaan organisasi hak asasi manusia, Amnesty lnternational. Ketika itu 10 dokter Denmark memprakarsai studi sistematis mengenai akibat penyiksaan. Lebih dari 1.500 korban diteliti sejak itu. Di Unit 2084, barak penyakit saraf Rigshospitalet, sejumlah korban telah menjalani wawancara cukup gencar dan diperiksa secara klinik neurologis. Salah seorang, Archana Guha, wanita India, lumpuh kakinya. Ia kepala sebuah sekolah lanjutan di Kalkuta yang ditangkap 1974 karena dituduh terlibat gerakan Naxalit, kelompok teroris sayap kiri yang beroperasi di Benggala Barat. Sebelum ditangkap ia tak pernah sakit seumur hidupnya. Dalam penyiksaan selamatiga minggu seluruh bagian tubuhnya dipukuli, terutama daerah selangkang dan punggung. Beberapa bulan berikutnya ia dikurung dalam sebuah sel yang kotor. Begitu dibebaskan, ia terbang ke Kopenhagen. Tiga bulan para dokter berusaha memulihkan otot-otot kakinya sampai ia bisa berjalan kembali. Tapi perawatan yang diterimanya lebih dari sekadar mengurut-urut otot kaki. Yang juga dipulihkan para dokter adalah kepercayaan Nona Guha kepada orang-orang sekitarnya, baik dengan mengalaknya mengobrol maupun menumbuhkan suasana umum yang menunjukkan perhatian besar kepadanya. Dr. Genefke berusaha benar mempertahankan suasana ini, sehingga ia tak mengizinkan seorangpun pasiennya dipotret. Bisa dimengerti kalau para korban sendiri tidak senang kepada publisitas tentang diri mereka - kecuali Miguel dan Archana. Tiap pasien yang baru datang menjalani pemeriksaan sekali sehari, tutur dr. Genefke. Tapi ada kalanya jadwal ini tak bisa diterapkan: pasien terlalu lelah, atau merasa takut, atau tertekan karena terus-menerus "diinterogasi". Menurut perkiraan para dokter, pemeriksaan dan perawatan para korban penganiayaan itu memerlukan waktu empat kali dari yang diperlukan untuk pasien normal. * Seorang laki-laki, 35 tahun, sebelum disiksa kesehatannya baik sekali . Ia masuk ke Unit 2084 enam tahun setelah siksaan yang mencakup pukulan di seluruh tubuh, terutama bentuk phalanga, sengatan listrik pada anggota tubuh, alat kelamin, lidah dan telinga. Ia juga mengalami siksa 'besi tenggeran burung' selama beberapa jam sehari lalu dikucilkan 20 hari, dan dipaksa menyaksikan orang lain disiksa. Ketika masuk rumah sakit, ia menderita nyeri pada kaki dan punggung. Bukan hanya waktu berjalan - waktu istirahat pun ia diganggu rasa nyeri berulang-kali, dan mati rasa. Tiap malam bermimpi buruk. Selalu dikejar rasa takut. Dan tak mampu memusatkan perhatian. Dari pemeriksaan fisik diketahui bahwa tulang-tulang kakinya rusak. Ia melangkah sangat kaku. Ia lalu dirawat dengan 'suara ultra' berkali-kali untuk melenyapkan kekakuan itu. Juga dilatih menggerakkan anggota badan. Diajak ngobrol panjang lebar. * Lelaki lain, 42 tahun, kesehatannya juga baik sebelum disiksa empat tahun sebelumnya. Siksaan berupa pukulan pada tubuh, telefono, picana, phalanga, submarino, dan 'besi tenggeran burung'. Dari pemeriksaan diketahui otot kulit kepalanya rusak. Terjadi pula perubahan pada otot leher dan pundak. Ia di rawat dengan radiasi panas, lalu dipijit. Tempelan otot kulit kepalanya dilonggarkan, dan ia dilatih menggerak-gerakkan leher dan pundak. la menunjukkan kemajuan setelah dua bulan. Sakit kepala yang berat yang jadi keluhannya ketika masuk, lenyap. Ketika diperiksa lagi setahun kemudian, ia mengatakan pusingnya sudah tak ada lagi, dan hanya sesekali ia bermimpi buruk. * Lelaki lain lagi, 47tahun, jadi korban phalanga tak kurang dari tujuh tahun sebelum dikirim ke Denmark oleh Amnesty International. Kedua kakinya sakit, tulangnya rusak, telapaknya sangat tegang, dan kulitnya mati rasa. Perawatan berulang-ulang dengan ultrasonik pada telapak kaki tak memberi hasil karena kulit sudah sangat menebal. Tiga setengah minggu ia menjalani penyembuhan serius, diikuti latihan menggerakkan persendian. *Lelaki berikutnya, 44 tahun, menjalani penyiksaan selama dua tahun. Badan dan kepalanya kena tendangan dan pukulan popor senapan. Ia mendapat picana (sengatan listrik) di kaki, daerah perut, dan pinggul setiap hari, sehingga pusing dan susah bernapas. Juga mendapat submarino yang kadang-kadang menyebabkannya tak sadar diri. Setelah disiksa dimasukkan ke rumah sakit selama tiga bulan, sebelum dikirimkan lagi ke berbagai penjara dan kamp konsentrasi. Di tempat baru ini ia sering dikucilkan dan berulang-kali mendapat picana lagi di samping siksaan mental. Setahun sesudah itu ia diadili, tapi dibebaskan karena kekurangan bukti. Bersama istri dan dua anaknya ia datang ke Denmark tahun 1980. Ia dipijit untuk menghilangkan sakit kepalanya yang kronis tengkuk dan pundaknya ditempeli bungkusan panas dipijit lagi bagian dalam paha kirinya dirawat dengan suara ultrasonik. Beberapa lama kemudian ia menjalani latihan kesegaran jasmani . * Anak perempuan, 9 tahun, putri seorang korban penyiksaan. Sebelum ayahnya ditangkap, perangai si anak wajar saja. Tapi sesudah itu ia jadi agresif dan mengalami kesulitan. Ia tak bisa diam, tak bisa bergaul dengan kawan sebaya, dan selalu dihantui mimpi buruk. Ia menderita enuresis terkencing-kencing di sembarang waktu dan tempat. Ketika ayahnya dibebaskan keadaannya sudah telanjur tidak bisa baik. Pemeriksaan oleh dokter anak mengungkapkan, si anak menganggap ayahnya ditahan karena perbuatan anak itu. Seorang 'kawan-'nya dalm keluarga pernah mengatakan itu kepadanya. Setelah berbicara berkali-kali dengan dokter, ia jadi lebih tenang, mulai bisa bergaul . *** Sungguh mencengangkan betapa sedikit yang diperbuat orang mengenal perawatan korban penyiksaan. Ini diketahui para ahli Denmark yang mengadakan penelitian tidak hanya di Kopenhagen, tapi di banyak negara lain yang diduga masih menjalankan cara-cara biadab ini. Para pengungsi yang tiba di Eropa mereka wawancarai, kadang-kadang sampai delapan jam terus-menerus. Dapat dimengerti betapa sibuknya paradokter di Righospitalet itu. Mau tak mau mereka harus menambah kegiatan kerja, karena semakin banyak korban yang datang, dan itu berarti semakin luasnya masalah.'Antipenyiksaan' segera pula akan menjadi suatu lembaga, sebagaimana 'penyiksaan' sendiri. Dr.Genefke memperkirakan, dalam waktu kurang lebih setahun akan didirikan pusat rehabilitasi pertama di dunia bagi para korban, sebagai hasil pengembangan selama ini. Tempatnya mungkin di sekitar Rigshospitalet sendiri. Tentu diperlukan dana yang tak sedikit. Syukur, meski dalam suasana berhemat, pemerintah Denmark akan memberikan sumbangan uang tunai karena proyek seperti ini memang biasanya kekurangan dana. Perserikatan Bangsa-bangsa jelas merupakan sumber uang, tapi jangan dianggap mudah mendapatkannya. Tahun 1980 Denmark telah mendesak disisihkannya dana sukarela PBB untuk para korban tersebut. Dan sidang yang membicarakan hal itu berlangsung juga pada 16 Desember 1981. Ada 96 negara setuju yang menentang 15 negara. Sikap menolak itu ditunjukkan oleh - bisa ditebak - Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur (kecuali Rumania dan Yugoslavia yang abstain), lalu Aghanistan, Kuba Etiopia, Laos, Sychelles, Vietnam, Mongolia. Yang juga abstain adalah, boleh diingat, negara-negara ASEAN . Dan itu dipelopori oleh Filipina. Lalu Al jazair, RRC, India, Argentina, dan Brazil Negara Timur Tengah seperti Arab Saudi, juga Pakistan di Asia Selatan, dengan demikian termasuk yang setuju. Boleh diingat bahwa bentuk hukuman seperti cambukan di negeri negeri itu, seperti juga di Singapura, tidak dianggap penyiksaan. Ada aturan-aturannya, ada batas-batasnya. Tentu saja tidak termasuk kemungkinan penyiksaan di luar itu, yang di sendiri tidak dianggap sah. Sumbangan dana, atas permintaan sekretaris jenderal PBB tahun lalu, dalam pada itu telah diterima dari negara-negara Skandinavia, Prancis, dan Negeri Belanda, dan diserahkan kepada lembaga-lembaga penanggulangan korban penyiksaan. Di antara pasien yang dirawat ada seorang wartawan Irak berusia 23 tahun. Di kulit tubuhnya terdapat 35 bekas luka bakaran besi panas. Banyak pula pasien Amerika Latin yang seluruh tubuhnya mengalami penyiksaan listrik sistematis. Sebagian datang bersama keluarga, termasuk anak-anak yang disiksa di hadapan orangtua mereka, atau dipaksa menyaksikan orangtua mereka disiksa. Untuk menolong anak-anak ini, para dokter Denmark membentuk kelompok khusus anak - terdiri atas psikolog anak, dokter jiwa, beberapa pekerja sosial dan perawat. Sebagian besar orang tua anak-anak ini dari Chili. Pemeriksaan menunjukkan banyak anak korban kebiadaban ini tak tahan suara bising, dan selalu diganggu rasa takut. Bunyi rem mobil atau orang bicara keras saja bisa membuat mereka menangis. Sekelompok anak lain menderita susah tidur. Kalau pun bisa, diganggu mimpi mengerikan tentang polisi, tentara, pembunuhan, dan kematian. Seorang anak malah menjerit ketakutan ketika bertemu dengan sopir bis yang berpakaian seragam di jalan raya Kopenhagen. Banyak anak yang berjalan-jalan tanpa sadar di tengah tidur. Tujuh belas anak menjadi suka ngompol, dan 12 anak jadi introvert, sangat pendiam, dan mengalami depresi. Beberapa anak kacau ingatannya. Bisa dimengerti, untuk merebut kepercayaan para korban yang dirawat, para petugas Rigshospitalet harus benar-benar sabar. Melihat alat-alat kedokteran yang sederhana saja seorang pasien bisa hampir mati ketakutan. Ranjang rumah sakit yang tinggi, dengan beberapa palang besi atau alat lain, bisa mengingatkan mereka pada suasana siksa dalam sel. Seorang pasien harus dibujuk tak kurang dari dua minggu sebelum mau masuk sebuah ruang sempit tertutup rapat untuk memeriksa pendengarannya. Melihat ruang sempit misterius itu ia teringat yang dulu-dulu . Luasnya penelitian para ahli Denmark ini tampak pada studi penyiksaan gigi yang mereka lakukan terhadap para korban. Para pasiennya datang dari Uruguay, Brazil, Chili, Argentina, India, Pakistan, Filipina, Syria, Tanzania, Yunani, Irlandia Utara, dan Spanyol. Dr. Pia Marstrand mengatakan, penyiksaan gigi di negara-negara ini meliputi, misalnya: jotosan dengan tinju atau benda lain pada mulut pencabutan gigi tanpa bius submarino: kepala korban dicemplungkan ke air kotoran picana (sengatan listrik) pada pipi, dagu, bibir, langsung gigi atau gusi, atau lidah . Karena tak ada bekasnya, para dokter sulit memastikan secara medis keterangan korban bahwa mereka telah disiksa dengan sengatan lisrik. Tapi dari saran dokter hewan, Unit 2084 memperoleh penemuan sensasional: adanya kalsium yang tertinggal pada kulit yang kena siksaan jenis itu. Ini diketahui setelah diadakan percobaan pada anak babi yang kulitnya hampir mirip kulil kita. Para dokter Denmark itu menyadari pula, masih ratusan ribu lagi korban penyiksaan yang tak bisa mereka tolong - karena mereka tak diizinkan mendatangi para korban ataupun karena para korban tak diizinkan meninggalkan tanah air. Hanya saja peneliian anti penyiksaan akan acap berkembang. Ini terjadi dengan meminta perhatian para dokter lain pada seminar internasional atau mengajak kerja sama para dokter di negara yang masih menjalankan cara-cara bedebah ini. Seperti ditunjukkan pengalaman berikut, para dokter Denmark yakin pula besarnya bahaya yang bisa dihadapi. Tanggal 21 Maret 1982, mereka diberitahu tentang dilangkapnya dua dokter Basque, sebuah daerah di Spanyol yang ingin memisahkan diri. Kedua dokter itu, Esteban Muruetagoyena dan Jose Miguel Yetano, diambil tanggal 16 dan 22 Maret tak lain karena memeriksa dan merawat sejumlah korban penyiksaan . Kedua dokter itu dibawa ke kantor polisi Spanyol di San Sebastian, dan dituduh telah membocorkan berita penyiksaan yang telah dilakukan. Mereka lalu dipindahkan ke penjara Madrid, dan dibebaskan 25 dan 26 Maret itu. Oleh pengacaranya, dr. Muruetagoyena dibawa dengan mobil ke rumah ibunya di Oyarzun, Provinsi Basque. Dalam perjalanan Muruetagoyena tampak ketakutan, tak bisa memusatkan perhatian. Ia menderita halusinasi dan penyakit lupa. Tiga hari kemudian ibunya menemukan Muruetagoyena sudah tak bernapas lagi di tempat tidurnya. Dari pemeriksaan dokter setempat diketahui kematiannya karena serangan jantung. Jenazahnya dibawa ke kota asal mereka di Ondorroa, dan pada 30 Maret diadakan autopsi. Esok harinya, atas permintaan Dewan Penelitian Antipenyiksaan Kopenhagen, Dr. Sigurd Riber Albrectsen berangkat ke Spanyol untuk menemui dokter pengadilan, Faustino Alfageme Perez. Tapi dr. Perez tidak memberikan keterangan memuaskan. Beberapa pertanyaan Albrectsen sama sekali tak dijawab. Laporan autopsi nya, keti ka diteliti di Kopenhagen, menunjukkan dr. Perez ternyata tidak mengetahui anatomi patologi sama sekali . Dr. Albrectsen juga menemui Majelis Kesehatan Guipuzcoa, yang khawatir akan bahaya yang mengancam para dokter Spanyol yang merawat korban penyiksaan. Dari wawancara dengan orang lain yang ditahan bersama dengan Muruetagoyena dan orang-orang yang melihat ia disiksa, diketahui dokter tersebut mengalami sengatan listrik, submarino, dan kekerasan fisik. Hal-hal macam inilah yang menyebabkan para dokter enggan buka mulut. Pada 1977, ketika dua dokter Denmark ikut misi penyelidikan Amnesty lnternational terhadap tuduhan adanya penyiksaan yang dilakukan polisi Ulster, dokter-dokter setempat pun enggan nama mereka dicantumkan dalam laporan. Sebagaimana jika menghadapi wabah penyakit, terhadap penyiksaan demikian pula: dokter yang memberi pertolongan tak bisa 100% yakin takkan terkena akibatnya suatu ketika. Atau barangkali nasibnya berakhir sebagai pasien Unit 2084 Rigshospitaletù

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus