DARI luar, Rumah Sakit Universitas Kopenhagen merupakan bangunan
yang sangat besar dan terang-benderang. Lobinya yang luas dan
berdinding kaca menimbulkan suasana lapang. Halamannya yang
tenang dan teduh mengurangi kebisingan lalu lintas kota bagi
pasien yang dirawat di sana.
Dikenal pula dengan nama Rigshospitalet, pusat pendidikan dokter
dan penyembuhan orang sakit ini termasyhur di seluruh Denmark
karena efisiensi dan mutu perawalannya. Tapi apa yang tak banyak
diketahui umum adalah - seperti ditulis Cal McCrystal dalam
majalah Sunday Times 2 Oktober - di sini sedang berlangsung
serangkaian eksperimen yang mengandung penghormatan pada peri
kemanusiaan . Melalui liku-liku gang yang membingungkan di rumah
sakit itu orang akan sampai pada satu seksi yang dikenal sebagai
Unit 2084. Inilah klinik anti penyiksaan yang pertama di dunia.
Penyiksaan - baik fisik maupun mental - terhadap para tahanan,
khususnya, hingga kini masih menjalar bagai penyakit menular di
banyak bagian bumi. Terutama dinegeri berkembang, seperti
terbukti dari jumlah pasien yang datang ke rumah sakit ini - ke
ruangan-ruangan yang tata hiasnya menimbulkan ketenangan dan
lantainya berlapiskan permadani. Di situlah mereka diusahakan
bisa melupakan teror mengerikan, bisa mendapat harapan -
kepercayaan kembali kepada sesama manusia - dan kesembuhan.
Miguel Angel Lee Urzua, anggota serikat buruh Chili berusia 47
tahun, adalah seorang di antaranya. Sepuluh tahun lalu ia
bekerja di pertambangan El Teniente di luar ibu kota Santiago.
Kota tambang itu merupakan salah satu pusat pendukung terkuat
presiden Chili sosialis Salvador Allende. Ketika terjadi kudeta
militer, 1973, Miguel termasuk orang yang ditangkap pasukan
keamanan.
Ia mengalami penyiksaan yang mengerikan: dicemoohkan, 37 hari
dikunci dalam sel, dipukuli pada malam hari, dan disengat dengan
arus listrik. Dua tahun kemudian dibebaskan, tapi sebagai
manusia ia sudah ambruk. Penglihatannya pun rusak. Ia tiba di
Denmark beberapa tahun yang lalu dengan bantuan kawan-kawannya.
Menurut dr. Inge Kemp Genefke, ahli saraf yang merawatnya, kasus
Miguel merupakan salah satu yang paling berhasil di rumah sakit
itu. Ketika tiba di Kopenhagen Miguel dalam keadaan amat
tertekan. Kepalanya sering diganggu rasa sakit yang berat, daya
ingatnya kacau, dan sama sekali tak bisa tersenyum. Ia merasa
dirinya sudah bukan laki-laki lagi. Tapi kini lelaki bertubuh
pendek gemuk itu sudah bisa tersenyum, dengan cahaya cerah pada
wajahnya. la menjabat erat tangan setiap tamu yang
mengunjunginya.
Perawatan yang diterima Miguel memang tampak telah memulihkan
fungsi tubuh dan jiwanya. Antara lain ia diharuskan berenang di
kolam khusus, untuk memulihkan otot-otot. Pendengarannya yang
rusak bisa pula disembuhkan berkat teknik modern . Dengan diet
yang cermat dan konsultasi dengan dokter jiwa, lambat laun hantu
teror yang membebaninya bisa disingkirkan. Dan kejantanannya -
yang menurut anggapannya telah dirusakkan anak buah Jenderal
Pinochet - telah pulih.
Tapi jika ia melihat film tentang Chili, "perut saya terasa
sakit lagi," katanya. "Juga kepala. Tapi selebihnya saya merasa
segar-bugar." Tiap pagi ia lari keliling kota dan main tenis.
Menurut dr. Genefke, pemeriksaan bekas tahanan tersiksa
merupakan bidang baru bagi ilmu kedokteran. Klinik
antipenyiksaan alias Rigshospitalet itu sendiri sebuah proyek
perintis, yang didirikan setelah kalangan kedokteran menyadari
betapa mengerikannya akibat-akibat penganiayaan. Sembilan tahun
yang lalu mereka mulai menyusun rencana, dan kemudian berdirilah
klinik itu. Dua negara Barat lain, Prancis dan Kanada, belum
lama ini sudah pula mendirikan unit eksperimental bagi perawatan
serupa. Sedang Inggris baru memikirkannya.
Penganiayaan, dalam bahasa Inggris, disebut torture. Ini dari
bahasa Latin torquere, yang artinya
'memelintir','menyakiti','menyiksa','menakut-nakuti'.
Selama ribuan tahun penyiksaan diakui sebagai hak masyarakat
untuk melindungi penguasa, rakyatnya, atau lembaga-lembaga
kepercayaannya terhadap kejahatan. Atau mencegah terjadinya
penyimpangan, baik terhadap cara hidup, cara berpikir, maupun
keimanan yang sudah diterima umum. Gereja, misalnya, baik di
Barat maupun Timur, menggunakannya. Dan sampai abad ke-17
penyiksaan memang diakui sah di banyak negara. Di negara mana
pun larangan terhadap tindakan itu belum sepenuhnya berlaku
sampai abad ke 19. Tambahan lagi, meski dewasa ini tak satu
undang-undang yang dalam pasal atau ayatnya membenarkan
penyiksaan, ia tetap saja terjadi di mana-mana. Bahkan kemajuan
teknologi melahirkan pula teknik penyiksaan baru.
Di kalangan para ahli, paling sedikit dikenal 15 istilah yang
menggambarkan cara penyiksaan. Dengan 'pemukulan', yang dimaksud
adalah jotosan, tendangan, hantaman tongkat pendek, atau gagang
senapan. 'Siksa api' dilakukan dengan menyulut korban dengan
rokok, cerutu, tongkat yang dipanaskan dengan listrik, minyak
mendidih, atau acidum - atau panggangan yang merah terbakar.
'Siksa gigi': pencabutan gigi dengan paksa, tanpa
obatbius.'Setrum': penggunaan elektroda, atau cambuk, atau
pengaliran arus listrik di ranjang besi tempat si korban diikat.
Dengan teknik 'exposure', korban dibiarkan untuk waktu lama
dalam hawa dingin. 'Posisi paksa' (forced position) berarti:
korban berada dalam posisi tertentu untuk waktu sangat lama,
baik berbaring dengan tangan diikat ke belakang maupun berdiri
terus-menerus. 'Besi tenggeran burung' ( parrot's perch): tangan
atau kaki korban digantungkan pada kipas angin di plafon sebuah
ruangan. Phalanga atau bastinada: telapak kaki dipukuli dengan
cambuk. 'Siksa farmakologis': korban dipaksa minum obat yang
menghancurkan kesehatannya.
Lalu bentuk-bentuk 'siksa psikologis': pemaksaan untuk
menyaksikan orang lain disiksa tembakan dengan peluru kosong
atau tikaman dengan pisau mainan membangunkan korban secara
mendadak ketika sedang tidur nyenyak terus-menerus menyorotinya
dengan cahaya menyilaukan pengucilan perusakan pancaindera
intimidasi perusakan kemampuan seks. 'Siksa potong': pemotongan
anggota badan. 'Perkosaan': ke dalam vagina atau lubang dubur
dimasukkan benda asing.
Kemudian 'submarino ': membenamkan kepala korban ke dalam air
berisi kotoran muntahan atau air kencing. 'Submarino kering':
membungkus kepala dengan kantung plastik sampai si korban megap
-megap. 'Telefono': menciptakan suara keras dekat kuping si
korban sehingga merusakkan gendang telinganya menutup kepala
korban dengan helm yang kemudian dipukuli.
Kegiatan medis terhadap korban penyiksaan dimulai 1974 - atas
permintaan organisasi hak asasi manusia, Amnesty lnternational.
Ketika itu 10 dokter Denmark memprakarsai studi sistematis
mengenai akibat penyiksaan. Lebih dari 1.500 korban diteliti
sejak itu. Di Unit 2084, barak penyakit saraf Rigshospitalet,
sejumlah korban telah menjalani wawancara cukup gencar dan
diperiksa secara klinik neurologis.
Salah seorang, Archana Guha, wanita India, lumpuh kakinya. Ia
kepala sebuah sekolah lanjutan di Kalkuta yang ditangkap 1974
karena dituduh terlibat gerakan Naxalit, kelompok teroris sayap
kiri yang beroperasi di Benggala Barat. Sebelum ditangkap ia tak
pernah sakit seumur hidupnya. Dalam penyiksaan selamatiga minggu
seluruh bagian tubuhnya dipukuli, terutama daerah selangkang dan
punggung. Beberapa bulan berikutnya ia dikurung dalam sebuah sel
yang kotor.
Begitu dibebaskan, ia terbang ke Kopenhagen. Tiga bulan para
dokter berusaha memulihkan otot-otot kakinya sampai ia bisa
berjalan kembali. Tapi perawatan yang diterimanya lebih dari
sekadar mengurut-urut otot kaki. Yang juga dipulihkan para
dokter adalah kepercayaan Nona Guha kepada orang-orang
sekitarnya, baik dengan mengalaknya mengobrol maupun menumbuhkan
suasana umum yang menunjukkan perhatian besar kepadanya.
Dr. Genefke berusaha benar mempertahankan suasana ini, sehingga
ia tak mengizinkan seorangpun pasiennya dipotret. Bisa
dimengerti kalau para korban sendiri tidak senang kepada
publisitas tentang diri mereka - kecuali Miguel dan Archana.
Tiap pasien yang baru datang menjalani pemeriksaan sekali
sehari, tutur dr. Genefke. Tapi ada kalanya jadwal ini tak bisa
diterapkan: pasien terlalu lelah, atau merasa takut, atau
tertekan karena terus-menerus "diinterogasi". Menurut perkiraan
para dokter, pemeriksaan dan perawatan para korban penganiayaan
itu memerlukan waktu empat kali dari yang diperlukan untuk
pasien normal.
* Seorang laki-laki, 35 tahun, sebelum disiksa kesehatannya baik
sekali . Ia masuk ke Unit 2084 enam tahun setelah siksaan yang
mencakup pukulan di seluruh tubuh, terutama bentuk phalanga,
sengatan listrik pada anggota tubuh, alat kelamin, lidah dan
telinga. Ia juga mengalami siksa 'besi tenggeran burung' selama
beberapa jam sehari lalu dikucilkan 20 hari, dan dipaksa
menyaksikan orang lain disiksa.
Ketika masuk rumah sakit, ia menderita nyeri pada kaki dan
punggung. Bukan hanya waktu berjalan - waktu istirahat pun ia
diganggu rasa nyeri berulang-kali, dan mati rasa. Tiap malam
bermimpi buruk. Selalu dikejar rasa takut. Dan tak mampu
memusatkan perhatian.
Dari pemeriksaan fisik diketahui bahwa tulang-tulang kakinya
rusak. Ia melangkah sangat kaku. Ia lalu dirawat dengan 'suara
ultra' berkali-kali untuk melenyapkan kekakuan itu. Juga dilatih
menggerakkan anggota badan. Diajak ngobrol panjang lebar.
* Lelaki lain, 42 tahun, kesehatannya juga baik sebelum disiksa
empat tahun sebelumnya. Siksaan berupa pukulan pada tubuh,
telefono, picana, phalanga, submarino, dan 'besi tenggeran
burung'. Dari pemeriksaan diketahui otot kulit kepalanya rusak.
Terjadi pula perubahan pada otot leher dan pundak. Ia di rawat
dengan radiasi panas, lalu dipijit. Tempelan otot kulit
kepalanya dilonggarkan, dan ia dilatih menggerak-gerakkan leher
dan pundak. la menunjukkan kemajuan setelah dua bulan. Sakit
kepala yang berat yang jadi keluhannya ketika masuk, lenyap.
Ketika diperiksa lagi setahun kemudian, ia mengatakan pusingnya
sudah tak ada lagi, dan hanya sesekali ia bermimpi buruk.
* Lelaki lain lagi, 47tahun, jadi korban phalanga tak kurang
dari tujuh tahun sebelum dikirim ke Denmark oleh Amnesty
International. Kedua kakinya sakit, tulangnya rusak, telapaknya
sangat tegang, dan kulitnya mati rasa. Perawatan berulang-ulang
dengan ultrasonik pada telapak kaki tak memberi hasil karena
kulit sudah sangat menebal. Tiga setengah minggu ia menjalani
penyembuhan serius, diikuti latihan menggerakkan persendian.
*Lelaki berikutnya, 44 tahun, menjalani penyiksaan selama dua
tahun. Badan dan kepalanya kena tendangan dan pukulan popor
senapan. Ia mendapat picana (sengatan listrik) di kaki, daerah
perut, dan pinggul setiap hari, sehingga pusing dan susah
bernapas. Juga mendapat submarino yang kadang-kadang
menyebabkannya tak sadar diri. Setelah disiksa dimasukkan ke
rumah sakit selama tiga bulan, sebelum dikirimkan lagi ke
berbagai penjara dan kamp konsentrasi. Di tempat baru ini ia
sering dikucilkan dan berulang-kali mendapat picana lagi di
samping siksaan mental.
Setahun sesudah itu ia diadili, tapi dibebaskan karena
kekurangan bukti. Bersama istri dan dua anaknya ia datang ke
Denmark tahun 1980. Ia dipijit untuk menghilangkan sakit
kepalanya yang kronis tengkuk dan pundaknya ditempeli bungkusan
panas dipijit lagi bagian dalam paha kirinya dirawat dengan
suara ultrasonik. Beberapa lama kemudian ia menjalani latihan
kesegaran jasmani .
* Anak perempuan, 9 tahun, putri seorang korban penyiksaan.
Sebelum ayahnya ditangkap, perangai si anak wajar saja. Tapi
sesudah itu ia jadi agresif dan mengalami kesulitan. Ia tak bisa
diam, tak bisa bergaul dengan kawan sebaya, dan selalu dihantui
mimpi buruk. Ia menderita enuresis terkencing-kencing di
sembarang waktu dan tempat. Ketika ayahnya dibebaskan keadaannya
sudah telanjur tidak bisa baik.
Pemeriksaan oleh dokter anak mengungkapkan, si anak menganggap
ayahnya ditahan karena perbuatan anak itu. Seorang 'kawan-'nya
dalm keluarga pernah mengatakan itu kepadanya. Setelah
berbicara berkali-kali dengan dokter, ia jadi lebih tenang,
mulai bisa bergaul .
***
Sungguh mencengangkan betapa sedikit yang diperbuat orang
mengenal perawatan korban penyiksaan. Ini diketahui para ahli
Denmark yang mengadakan penelitian tidak hanya di Kopenhagen,
tapi di banyak negara lain yang diduga masih menjalankan
cara-cara biadab ini. Para pengungsi yang tiba di Eropa mereka
wawancarai, kadang-kadang sampai delapan jam terus-menerus.
Dapat dimengerti betapa sibuknya paradokter di
Righospitalet itu. Mau tak mau mereka harus menambah
kegiatan kerja, karena semakin banyak korban yang datang, dan
itu berarti semakin luasnya masalah.'Antipenyiksaan' segera
pula akan menjadi suatu lembaga, sebagaimana 'penyiksaan'
sendiri. Dr.Genefke memperkirakan, dalam waktu kurang lebih
setahun akan didirikan pusat rehabilitasi pertama di dunia bagi
para korban, sebagai hasil pengembangan selama ini. Tempatnya
mungkin di sekitar Rigshospitalet sendiri.
Tentu diperlukan dana yang tak sedikit. Syukur, meski dalam
suasana berhemat, pemerintah Denmark akan memberikan sumbangan
uang tunai karena proyek seperti ini memang biasanya kekurangan
dana. Perserikatan Bangsa-bangsa jelas merupakan sumber uang,
tapi jangan dianggap mudah mendapatkannya.
Tahun 1980 Denmark telah mendesak disisihkannya dana sukarela
PBB untuk para korban tersebut. Dan sidang yang membicarakan hal
itu berlangsung juga pada 16 Desember 1981. Ada 96 negara setuju
yang menentang 15 negara. Sikap menolak itu ditunjukkan oleh -
bisa ditebak - Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur (kecuali
Rumania dan Yugoslavia yang abstain), lalu Aghanistan, Kuba
Etiopia, Laos, Sychelles, Vietnam, Mongolia. Yang juga abstain
adalah, boleh diingat, negara-negara ASEAN . Dan itu dipelopori
oleh Filipina. Lalu Al jazair, RRC, India, Argentina, dan Brazil
Negara Timur Tengah seperti Arab Saudi, juga Pakistan di Asia
Selatan, dengan demikian termasuk yang setuju. Boleh diingat
bahwa bentuk hukuman seperti cambukan di negeri negeri itu,
seperti juga di Singapura, tidak dianggap penyiksaan.
Ada aturan-aturannya, ada batas-batasnya. Tentu saja tidak
termasuk kemungkinan penyiksaan di luar itu, yang di sendiri
tidak dianggap sah. Sumbangan dana, atas permintaan sekretaris
jenderal PBB tahun lalu, dalam pada itu telah diterima dari
negara-negara Skandinavia, Prancis, dan Negeri Belanda, dan
diserahkan kepada lembaga-lembaga penanggulangan korban
penyiksaan.
Di antara pasien yang dirawat ada seorang wartawan Irak berusia
23 tahun. Di kulit tubuhnya terdapat 35 bekas luka bakaran besi
panas. Banyak pula pasien Amerika Latin yang seluruh tubuhnya
mengalami penyiksaan listrik sistematis. Sebagian datang bersama
keluarga, termasuk anak-anak yang disiksa di hadapan orangtua
mereka, atau dipaksa menyaksikan orangtua mereka disiksa.
Untuk menolong anak-anak ini, para dokter Denmark membentuk
kelompok khusus anak - terdiri atas psikolog anak, dokter jiwa,
beberapa pekerja sosial dan perawat. Sebagian besar orang tua
anak-anak ini dari Chili. Pemeriksaan menunjukkan banyak anak
korban kebiadaban ini tak tahan suara bising, dan selalu
diganggu rasa takut. Bunyi rem mobil atau orang bicara keras
saja bisa membuat mereka menangis. Sekelompok anak lain
menderita susah tidur. Kalau pun bisa, diganggu mimpi mengerikan
tentang polisi, tentara, pembunuhan, dan kematian. Seorang anak
malah menjerit ketakutan ketika bertemu dengan sopir bis yang
berpakaian seragam di jalan raya Kopenhagen.
Banyak anak yang berjalan-jalan tanpa sadar di tengah tidur.
Tujuh belas anak menjadi suka ngompol, dan 12 anak jadi
introvert, sangat pendiam, dan mengalami depresi. Beberapa anak
kacau ingatannya.
Bisa dimengerti, untuk merebut kepercayaan para korban yang
dirawat, para petugas Rigshospitalet harus benar-benar sabar.
Melihat alat-alat kedokteran yang sederhana saja seorang pasien
bisa hampir mati ketakutan. Ranjang rumah sakit yang tinggi,
dengan beberapa palang besi atau alat lain, bisa mengingatkan
mereka pada suasana siksa dalam sel. Seorang pasien harus
dibujuk tak kurang dari dua minggu sebelum mau masuk sebuah
ruang sempit tertutup rapat untuk memeriksa pendengarannya.
Melihat ruang sempit misterius itu ia teringat yang dulu-dulu .
Luasnya penelitian para ahli Denmark ini tampak pada studi
penyiksaan gigi yang mereka lakukan terhadap para korban. Para
pasiennya datang dari Uruguay, Brazil, Chili, Argentina, India,
Pakistan, Filipina, Syria, Tanzania, Yunani, Irlandia Utara, dan
Spanyol. Dr. Pia Marstrand mengatakan, penyiksaan gigi di
negara-negara ini meliputi, misalnya: jotosan dengan tinju atau
benda lain pada mulut pencabutan gigi tanpa bius submarino:
kepala korban dicemplungkan ke air kotoran picana (sengatan
listrik) pada pipi, dagu, bibir, langsung gigi atau gusi, atau
lidah .
Karena tak ada bekasnya, para dokter sulit memastikan secara
medis keterangan korban bahwa mereka telah disiksa dengan
sengatan lisrik. Tapi dari saran dokter hewan, Unit 2084
memperoleh penemuan sensasional: adanya kalsium yang tertinggal
pada kulit yang kena siksaan jenis itu. Ini diketahui setelah
diadakan percobaan pada anak babi yang kulitnya hampir mirip
kulil kita.
Para dokter Denmark itu menyadari pula, masih ratusan ribu
lagi korban penyiksaan yang tak bisa mereka tolong - karena
mereka tak diizinkan mendatangi para korban ataupun karena
para korban tak diizinkan meninggalkan tanah air. Hanya saja
peneliian anti penyiksaan akan acap berkembang. Ini terjadi
dengan meminta perhatian para dokter lain pada seminar
internasional atau mengajak kerja sama para dokter di negara
yang masih menjalankan cara-cara bedebah ini. Seperti
ditunjukkan pengalaman berikut, para dokter Denmark yakin pula
besarnya bahaya yang bisa dihadapi.
Tanggal 21 Maret 1982, mereka diberitahu tentang dilangkapnya
dua dokter Basque, sebuah daerah di Spanyol yang ingin
memisahkan diri. Kedua dokter itu, Esteban Muruetagoyena dan
Jose Miguel Yetano, diambil tanggal 16 dan 22 Maret tak lain
karena memeriksa dan merawat sejumlah korban penyiksaan .
Kedua dokter itu dibawa ke kantor polisi Spanyol di San
Sebastian, dan dituduh telah membocorkan berita penyiksaan yang
telah dilakukan. Mereka lalu dipindahkan ke penjara Madrid, dan
dibebaskan 25 dan 26 Maret itu. Oleh pengacaranya, dr.
Muruetagoyena dibawa dengan mobil ke rumah ibunya di Oyarzun,
Provinsi Basque. Dalam perjalanan Muruetagoyena tampak
ketakutan, tak bisa memusatkan perhatian. Ia menderita
halusinasi dan penyakit lupa.
Tiga hari kemudian ibunya menemukan Muruetagoyena sudah tak
bernapas lagi di tempat tidurnya. Dari pemeriksaan dokter
setempat diketahui kematiannya karena serangan jantung.
Jenazahnya dibawa ke kota asal mereka di Ondorroa, dan pada 30
Maret diadakan autopsi. Esok harinya, atas permintaan Dewan
Penelitian Antipenyiksaan Kopenhagen, Dr. Sigurd Riber
Albrectsen berangkat ke Spanyol untuk menemui dokter pengadilan,
Faustino Alfageme Perez. Tapi dr. Perez tidak memberikan
keterangan memuaskan. Beberapa pertanyaan Albrectsen sama sekali
tak dijawab. Laporan autopsi nya, keti ka diteliti di
Kopenhagen, menunjukkan dr. Perez ternyata tidak mengetahui
anatomi patologi sama sekali .
Dr. Albrectsen juga menemui Majelis Kesehatan Guipuzcoa, yang
khawatir akan bahaya yang mengancam para dokter Spanyol yang
merawat korban penyiksaan. Dari wawancara dengan orang lain yang
ditahan bersama dengan Muruetagoyena dan orang-orang yang
melihat ia disiksa, diketahui dokter tersebut mengalami sengatan
listrik, submarino, dan kekerasan fisik.
Hal-hal macam inilah yang menyebabkan para dokter enggan buka
mulut. Pada 1977, ketika dua dokter Denmark ikut misi
penyelidikan Amnesty lnternational terhadap tuduhan adanya
penyiksaan yang dilakukan polisi Ulster, dokter-dokter setempat
pun enggan nama mereka dicantumkan dalam laporan.
Sebagaimana jika menghadapi wabah penyakit, terhadap penyiksaan
demikian pula: dokter yang memberi pertolongan tak bisa 100%
yakin takkan terkena akibatnya suatu ketika. Atau barangkali
nasibnya berakhir sebagai pasien Unit 2084 Rigshospitaletù
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini