SETELAH melewati proses yang teramat penting, akhirnya pekan lalu Rancangan Undang-Undang Tata Ruang (RUUTR) disetujui oleh para wakil rakyat kita di DPR untuk disahkan. Alhamdulillah. Puji Tuhan. Suatu peristiwa bersejarah yang patut disyukuri. Sebagaimana kita semua mafhum, landasan hukum perencanaan tata ruang yang selama ini dianut adalah Stadswormings Verordening tahun 1947 dan Stadsvormings Ordonantie tahun 1948. Keduanya bikinan Belanda dan jelas sudah sangat kedaluwarsa. Apalagi menilik perkembangan kota dan daerah di tanah air kita yang begitu pesat beberapa tahun terakhir ini. Berbeda dengan Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang terkesan instant, RUUTR disusun dan dibahas belasan kali, melibatkan berbagai pihak yang terkait. Tidak ketinggalan pula para pakar dan ilmuwan dari perguruan tinggi. Dengan demikian, kalau toh akan timbul reaksi, diharapkan mewujud dalam bentuk unjuk rasa mendukung kelahiran UUTR tersebut. Bukan memprotes atau menentangnya. Dengan adanya UUTR, paling tidak akan dapat mulai dibenahi segala macam kerancuan, tumpang tindih, kekaburan tentang pembagian peran, hak dan kewajiban dari setiap agen pembangunan. Tudingan dari pakar mancanegara bahwa di Indonesia "there are many plans but no planning" sepatutnya diterima dengan lapang dada. Bayangkan, betapa pusingnya para bupati dan wali kota beserta segenap aparatnya, manakala mereka disodori berbagai rencana penataan ruang yang berbeda dari instansi yang berbeda. Arogansi sektoral, egoisme daerah, "surat sakti", dan lain-lain. Belum lagi bila pimpinan daerah sendiri memiliki kepentingan pribadi dan berperilaku menyimpang dengan memanfaatkan wewenangnya. Istilah gagahnya use of power, yang dipelesetkan menjadi abuse of power. Harap jangan ada yang tersinggung, karena kisah semacam itu tidak hanya berlangsung di negara berkembang seperti Indonesia, melainkan juga di negara maju. Tatkala seorang wali kota negara Barat mencanangkan slogan "city for people", muncul karikatur menggambarkan sekelompok manusia yang mempertanyakan "which people do you serve?" dan ditanggapi oleh rakyat kecil dengan jawaban telak "business people". Persepsi dan aspirasi masyarakat memang wajib diserap dengan kepekaan yang tinggi. Saya teringat pesan bijak Menteri Rudini dalam suatu seminar di Jakarta: "Bila rakyat butuh air bersih, janganlah lurah memaksa membuat gapura". Kepekaan sosio-kultural para perencana dan penentu kebijaksanaan sangat diperlukan, agar dapat betul-betul menangkap dambaan dan harapan masyarakat. Soalnya, orang Indonesia, suku Jawa khususnya, senang dengan sanepa, kiasan, simbolisme, lambang-lambang, dan sulit sekali mengatakan "tidak". Sampai-sampai disebutkan bila orang Jawa mengatakan "ya", yang dimaksud adalah "mungkin". Bila mereka bilang "mungkin", yang dimaksud adalah "tidak". Kalau mereka sampai bilang "tidak", berarti mereka sudah bukan lagi orang Jawa. Nah. Selain masalah komunikasi semacam itu, para perencana juga dituntut untuk tidak secara deterministik melolohkan norma-normanya sendiri. Pemindahan kegiatan industri perkalengan dari lingkungan kampung dengan alasan pencemaran suara atau kebisingan yang mengganggu, misalnya, bisa sangat keliru. Sebabnya sepele: buat rakyat kecil, suara dentingan kaleng merupakan simfoni yang sangat indah karena menyiratkan peluang memperoleh tambahan penghasilan. Yang tidak kalah pentingnya adalah mekanisme pengawasan pembangunan yang dilengkapi dengan sistem insentif dan disinsentif. Penghargaan atau bonus diberikan pada yang taat pada rencana tata ruang, dan teguran atau sanksi dikenakan pada mereka yang melanggar. Kasus-kasus hutan bakau yang disulap menjadi lapangan golf, persawahan subur beralih rupa menjadi kawasan permukiman, daerah konservasi air dialihfungsikan menjadi kawasan industri, dan berbagai kemencengan lain perlu disiasati penangkalannya. Peran media massa dalam penyebarluasan informasi yang menyangkut tata ruang sangat menentukan. P-4 pelaku pembangunan, yaitu Power, Profit, People, dan Planner, perlu didukung oleh P yang kelima, yaitu Press. Dalam berbagai kasus, terutama yang menyangkut masalah lingkungan, memang tak dapat disangkal keperkasaan media massa sebagai kelompok penekan dan pembentuk opini. Dalam buku mutakhirnya Theories for Planning (1991), Shean McConnel secara eksplisit mencantumkan the media (pers, radio, dan televisi) sebagai komponen utama yang sangat berpengaruh dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan tata ruang. Perkara jangka waktu perencanaan yang banyak dipersoalkan oleh para wakil rakyat yang terhormat, pada hemat saya, memang juga penting, akan tetapi tidak merupakan masalah besar. Setiap perencanaan tata ruang harus selalu mengacu pada tujuan jangka panjang (goals motivated), tetapi juga ditujukan untuk memecahkan masalah jangka pendek (problems oriented). Diperlukan kekenyalan dan keluwesan dalam proses perencanaan secara makro, namun juga butuh ketaat-asasan dan kelugasan dalam perancangan dan implementasinya secara mikro. Jadi, sikap kita bukanlah either-or melainkan both-and. Ibarat mengkaji keunikan jenis pohon tertentu dalam konteks pelestarian hutan. Atau mengamati keseluruhan hutan tanpa mengabaikan keanekaragaman pohon di dalamnya. Hanya dengan demikian, akan dapat dicegah kecenderungan pelecehan big city menjadi dig city. Terakhir, tetapi justru yang paling penting, adalah bahwa setiap perencanaan tata ruang mesti ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan, harkat, dan martabat segenap lapisan masyarakat tanpa kecuali. Kaidah-kaidah etika, moral, dan keadilan dalam pemanfaatan ruang sepatutnya dipegang dan dijunjung tinggi. Kelompok rakyat yang berperan serta, atau pada kasus tertentu merelakan diri untuk berkorban demi pembangunan, haruslah pula ikut mengecap hasilnya. Jangan sampai terjadi kisah tragis: "Kita yang berpartisipasi, tetapi mereka yang beruntung". Guru besar pada Fakultas Teknik Undip, Semarang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini