BANK Muammalat Indonesia (BMI), yang baru beroperasi sejak 1 Mei silam, akhir Agustus lalu sudah harus mengadakan RUPS (rapat umum pemegang saham). Ternyata, para pengelolanya menghadapi berbagai kendala besar, sehingga harus dibicarakan dengan para pemegang saham. Masalah utama BMI ialah bagaimana menyalurkan dana. Bank ini berdiri dengan hasil penjualan saham sebanyak Rp 75 milyar. Selain itu, BMI berhasil pula menarik dana pihak ketiga dalam bentuk giro wadiah, tabungan mudharabah, dan deposito mudharabah sebanyak Rp 10,4 milyar. Akhir Juli 1992, dana BMI sudah Rp 85 milyar lebih. Dari jumlah itu, manajemen baru menyalurkan Rp 6,6 milyar. Jika BMI sulit menyalurkan dana, ini erat kaitannya dengan kebijakan BMI yang cuma membantu pengusaha kecil dan menengah. Pinjaman yang disalurkan BMI bervariasi Rp 100.000-Rp 2 juta. "Untuk menyalurkan satu milyar saja, silakan hitung berapa nasabah yang dibutuhkan," kata Direktur Utama BMI, Zainulbahar Noor. Manajemen BMI juga tak bisa mengikuti sistem perkreditan yang biasa dikenal. Cara yang ditempuh ialah dalam bentuk penyertaan modal. Lalu, dana BMI yang Rp 78,8 milyar itu mau diapakan? "Sementara ditanamkan dalam surat berharga pasar uang (SBPU) di bankbank Pemerintah," ungkap Zainul kepada Iwan Qodar dari TEMPO. Untuk itu, BMI meminta premi sesuai dengan suku bunga pasar SBPU yang sekitar 16% per tahun. Komisaris Utama BMI, Rachmat Saleh, menyarankan agar BMI bekerja sama dengan BPR (bank perkreditan rakyat) syariah. "Pokoknya, masih banyak upaya yang bisa ditempuh," kata bekas Gubernur Bank Sentral dan Menteri Perdagangan itu, tenang. Diakuinya, jumlah BPR syariah masih sedikit. Tapi, dalam waktu dekat akan berdiri BPR syariah di Aceh, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini