Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Robohnya Rezim Saddam

13 April 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagdad jatuh pekan lalu. Kemenangan Amerika Serikat dalam perang Irak boleh dikata telah di ambang mata. Namun siapakah yang akan menang setelah perang berakhir? Akankah berakhirnya perang berarti perdamaian bagi rakyat Irak?

Kedua pertanyaan itu tak mudah dijawab. Setidaknya bagi kebanyakan orang. Sebab, bagi sedikit manusia, termasuk seorang George Walker Bush, jawabannya sungguhlah mudah. Presiden Amerika Serikat ini, dengan mimik yang meyakinkan, menyatakan berkali-kali: setelah rezim Saddam Hussein tumbang, pencerahan akan datang bagi rakyat Irak. Demokrasi akan lahir di Bagdad dan menyebar ke seluruh kawasan Timur Tengah sekaligus mengakhiri sengketa Israel-Palestina yang telah berlangsung hampir setengah abad.

Andai saja retorika Bush dapat dipercaya, alangkah indahnya. Sayang sungguh sayang, sejarah keterlibatan Amerika di negara lain tak menunjang mimpi ini. Intervensi di Vietnam pada 1967 adalah salah satu contoh angan-angan Presiden Lyndon B. Johnson yang kemudian menjadi mimpi buruk Presiden Nixon, satu dekade kemudian. Keterlibatan dinas rahasia AS dalam perubahan rezim di Iran dengan menggulingkan Perdana Menteri Mohammed Mossadeq dan mentahbiskan Muhammad Reza Pahlevi menjadi Syah Iran pada 1953 ternyata malah bermuara pada revolusi yang membuat Iran menjadi musuh Amerika Serikat, tak sampai tiga dekade kemudian.

Simak juga intervensi Amerika Serikat di Afganistan. Invasi Uni Soviet ke negara ini pada 1979 memicu CIA, bersama mitranya di Arab Saudi dan Pakistan, untuk giat membantu terbentuknya laskar mujahidin. Bantuan besar-besaran itu berhenti sepuluh tahun kemudian, setelah Rusia angkat kaki. Setelah itu, perang saudara melanda Afganistan dan berujung pada berkuasanya rezim Taliban yang dibantu kelompok Al-Qaidah di bawah pimpinan Usamah bin Ladin, yang gencar memusuhi Amerika Serikat di seluruh penjuru dunia. Akibatnya, setelah serangan 11 September 2001 di New York terjadi, pasukan AS menggempur Afganistan, menggulingkan rezim Taliban, dan merestui pengangkatan Presiden Hamid Karzai sebagai pemimpin interim pada Juni 2002, yang pada akhir tahun nanti akan habis masa jabatannya.

Kisah serupa agaknya kini berulang di Irak. Adalah dukungan Amerika Serikat pada penggulingan rezim Jenderal Abdul Karim Qasim pada 1963 yang telah membuat Partai Baath naik ke tampuk kekuasaan, dan 16 tahun kemudian memunculkan Saddam Hussein sebagai presiden negeri kaya minyak itu. Presiden yang berasal dari kelompok minoritas ini sempat lama didukung AS, karena dianggap menjadi sekutu melawan rezim Iran yang anti-Amerika Serikat, terutama dalam perang Irak-Iran 1980-1988. Ketika itu, kediktatoran Saddam Hussein yang sudah sangat bengis, antara lain menggunakan senjata gas terhadap penduduk negerinya, seperti tak dipersoalkan Washington, DC. Bahkan kuat dugaan sebagian peralatan pendukung senjata kimia dan biologi Irak saat itu didapat atas bantuan tak langsung Amerika Serikat melalui rezim Jenderal Pinochet yang memimpin Cile. Hubungan akrab ini baru berubah 180 derajat setelah Irak menginvasi Kuwait, 1990.

Setelah itu nasib Saddam Hussein seperti mengikuti jejak Usamah bin Ladin. Pada awalnya didukung penuh Washington, DC, karena dianggap sebagai sekutu dalam menghadapi musuh bersama, kemudian menjadi seteru karena lawan lama telah dikalahkan.

Ini sebenarnya bukanlah soal yang luar biasa. Dalam politik, tiada lawan maupun kawan yang abadi karena kepentingan masing-masing tak selalu sealiran ataupun berlainan. Itu sebabnya retorika Bush yang mengata-kan menyerang Irak dengan alasan "membebaskan rakyat negeri ini dari rezim otoriter" patutlah dipertanyakan.

Bahwa Saddam Hussein seorang diktator yang bengis memang sebuah fakta yang sulit dibantah. Bahwa rakyat Irak perlu didukung agar terbebaskan dari penindasan rezim otoriter ini juga sebuah keniscayaan. Namun mengenai bagaimana cara yang benar dalam membantu rakyat Irak agar mendapatkan kembali haknya untuk memilih sendiri pemerintahannya secara bebas adalah soal yang lain. Yang pasti, mengirimkan kekuatan militer untuk menggulingkan rezim Saddam Hussein tanpa dukungan dunia internasional, seperti yang kini dilakukan Amerika Serikat dengan bantuan penuh Inggris, adalah bukan cara yang dapat dibenarkan. Sebab, metode ini tak ada bedanya dengan gerakan kolonialisme di masa lalu, yang dari buku sejarah kita tahu selalu mencari pembenaran melalui retorika "demi membebaskan rakyatnya dari kepemimpinan lokal yang primitif dan bengis, serta membawa mereka menjadi masyarakat yang modern dan beradab".

Memang rezim Saddam Hussein kini telah runtuh dan dunia boleh bernapas lega. Namun ini bukan alasan untuk menghentikan kutukan atas agresi Amerika ke Irak. Masyarakat internasional justru harus semakin menggerakkan kekuatan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menggulirkan proses dekolonisasi di Irak. Dewan Keamanan PBB wajib didorong sekuat tenaga agar segera melahirkan resolusi untuk mengambil peran utama dalam membantu rakyat Irak di era pascakekuasaan Saddam Hussein.

Jangan lupa, konstitusi Indonesia dibuka dengan kata-kata "Bahwa kemerdekaan adalah hak setiap bangsa", oleh karena itu membantu rakyat Irak mendapatkan kembali kedaulatannya adalah kewajiban kita semua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus