Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bankir mana tak takut pada Texmaco. Bank Negara Indonesia (Bank BNI), kreditor yang uangnya tersangkut di Texmaco Rp 10 triliun, kini pun tampak enggan berurusan dengan pemiliknya, Marimutu Sinivasan. Walaupun hubungan kedua pihak sudah terjalin bertahun-tahun, karena Texmaco tidak mencicil utangnya, BNI lalu menghentikan fasilitas letter of credit (LC) buat perusahaan ini. Fasilitas LC tersebut disepakati tahun 2000 senilai Rp 720 miliar dan diberikandengan tujuan mulia: agar pabrik tekstil milik Texmaco bisa terus dioperasikan.
Bicara tentang Texmaco, berarti bicara tentang nasib uang negara yang terbenam di situ sebesar Rp 29 triliun. Sekitar Rp 10 triliun dari dana itu dikucurkan oleh BNI, sisanya merupakan gabungan utang dari tiga bank pemerintah yang lain. Sinivasan waktu itu bisa merebut kepercayaan BNI, terutama karena ia dipersenjatai sehelai katebelece dari Presiden Soeharto.
Perjuangan untuk mendapat katebelece ini tentu merupakan kisah tersendiri. Yang pasti surat sakti itu merupakan buah kelihaian Sinivasan melobi Soeharto. Totalitas dari sikapnya yang takzim, ketekunannya melobi, dan kelihaiannya membaca karakter—termasuk melayani ambisi orang—terbukti ampuh untuk mengalirkan uang triliunan rupiah. Tapi itu cerita masa lampau. Yang kini mesti dicarikan solusinya, selain masalah utang Sinivasan, juga ulahnya membelokkan LC dari divisi tekstil ke divisi rekayasa Texmaco.
Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Syafruddin Temenggung, memang membenarkan adanya penyimpangan LC, tapi dia juga dengan tangkas memerintahkan BNI agar kembali menyalurkan fasilitas LC kepada Texmaco. BPPN juga mewajibkan Sinivasan menyetor US$ 25 juta sebagai bagian dari penjaminan LC, tapi Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK)—otoritas yang membawahkan BPPN—sudah lebih dulu menyetujui pencairan kredit baru untuk Texmaco. Selanjutnya BNI dituduh tidak melakukan pengawasan yang ketat terhadap Texmaco, padahal tugas itu seharusnya dilakukan BPPN. Soalnya, selain utang Texmaco diambil alih BPPN, lembaga ini juga bertindak sebagai penjamin bagi utang tersebut.
Bagaimana hal itu bisa terjadi? Harus diakui, semuanya berpangkal pada kebijakan yang dibuat oleh pengambil keputusan terdahulu. Waktu itu BPPN merestrukturisasi utang Texmaco dengan cara yang tidak biasa. Utang Texmaco Rp 29 triliun dipindahkan ke dua newco (new holding company) yakni PT Bina Prima Perdana (tekstil) dan PT Jaya Perkasa (engineering). Kemudian newco menerbitkan exchangeable bond (surat utang) berjangka 11 tahun, dengan seluruh aset newco sebagai jaminannya. Dengan restrukturisasi itu, kepemilikan Sinivasan atas newco tekstil tinggal 30 persen—sisanya 70 persen dimiliki pemerintah. Adapun newco rekayasa, 100 persen dikuasai Texmaco.
Di balik restrukturisasi yang janggal itu, mungkin tersimpan niat untuk mengembalikan piutang pemerintah. Tapi kenyataannya, utang Texmaco ditangani oleh BPPN (setelah 11 tahun baru dilunasi), surat utangnya juga menjadi urusan BPPN, sementara kedua newco tetap dikelola oleh Sinivasan. Formulasi ini membingungkan, karena BPPN memposisikan diri seolah-olah yang berutang dan karena itu seolah-olah mesti membayar. Sehingga, kalau utang itu macet, BPPN tidakdalam posisi menggebrak Sinivasan, dan BNI juga tak boleh banyak ngomong kecuali terus mengucurkan uang.
Restrukturisasi yang berpotensi merugikan pemerintah ini tentu harus ditinjau kembali. Sinivasan dan orang-orang pemerintah yang menggagas restrukturisasi itu pun harus dimintai penjelasan dan tanggung jawabnya. Memang BPPN kabarnya berencana mengawasi Texmaco—dengan mengandalkan pihak ketiga—tapi kebijakan ini, selain terlambat, juga belum tentu efektif. Harus diakui, tidak mudah menyelamatkan uang negara Rp 29 triliun. Tapi lebih baik mencoba, daripada tidak sama sekali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo