Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Balada Thabranie dari Lampung

Calon terpilih Gubernur Lampung, Alzier Dianis Thabranie, dinyatakan masuk DPO oleh polisi. Ini permainan yang banyak jurusnya.

13 April 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ibarat permainan silat, lika-liku pemilihan Gubernur Lampung mempunyai jurus yang banyak. Ada politikus daerah yang tidak klop dengan politikus pusat, ada calon kuat di daerah yang tiba-tiba tersangkut kasus pidana, juga ada kemungkinan "politik uang" bermain di sini. Akibatnya sudah pasti, masyarakat Provinsi Lampung akan lama tidak memiliki gubernur yang definitif. Tersebutlah Alzier Dianis Thabranie. Ia seorang pengusaha kaya, Direktur CV Wisata. Entah apa kekuatannya di daerah, tiba-tiba dia muncul sebagai calon Gubernur Lampung berpasangan dengan Anzory Yunus sebagai wakilnya. Paket ini, seperti yang banyak terjadi di berbagai daerah, bukanlah pasangan yang dapat "restu" dari pusat. DPP PDI Perjuangan menjagokan pasangan Oemarsono (Gubernur Lampung) dan Syamsuria Ryacudu (Wakil Ketua DPD Golkar Lampung), meskipun Thabranie dan Yunus adalah kader PDIP juga. Anzory Yunus malah menjabat Ketua DPD PDIP Lampung. Mulus di tingkat pencalonan, pasangan Thabranie-Yunus masih dijegal setengah jam menjelang pemilihan pada 30 Desember 2002. Saat itu muncul surat kawat dari Menteri Dalam Negeri agar proses pemilihan ditunda karena Thabranie tersangkut beberapa perkara pidana. Surat kawat Menteri Dalam Negeri mengacu pada laporan dari Markas Besar Polri tanggal 29 Desember 2002. Hebat betul Mabes Polri, padahal 29 Desember itu hari Minggu. Toh, DPRD setempat mengesampingkan surat kawat Menteri Dalam Negeri, dan pemilihan tetap berlangsung. Thabranie-Yunus menang mutlak dengan 39 suara mengalahkan pasangan yang mendapat restu dari pusat. Tetapi sejak itu kasus tindak pidana yang menyangkut Thabranie berhamburan keluar. Ada tindak pidana penggelapan pupuk, ada utang ke PT Pusri senilai Rp 10,8 miliar, ada penipuan dan penggelapan sertifikat rumah toko di Jakarta. Semua perkara ditangani Mabes Polri. Anehnya, Mabes Polri sudah dua kali (10 Februari dan 17 Februari 2003) memanggil Thabranie, tapi ia tak pernah datang dengan alasan sakit. Dan pemanggilan ketiga secara paksa juga tanpa hasil, sehingga awal bulan ini Mabes Polri pun memasukkan Thabranie dalam daftar pencarian orang (DPO). Apa muatan yang bisa dipetik dari kasus ini? Pertama adalah, seandainya Thabranie bukan "calon liar", apakah kasus-kasus pidana itu menguap begitu saja? Kedua, kalau Thabranie merasa tidak bersalah, kenapa ia menghindar dari proses pemeriksaan polisi? Yang ketiga adalah rasa ingin tahu banyak orang, kenapa pengusaha seperti Thabranie mudah benar mendapat dukungan dari DPRD untuk pemilihan pejabat penting setingkat gubernur. Pemberantasan kolusi, korupsi, dan nepotisme di negeri ini memang sangat lamban. Dan kelambanan itu menjadi menyedihkan lagi seolah-olah ada pilih kasih siapa saja yang bisa disasar dan siapa yang bisa diselamatkan. Seandainya polisi sudah mengusut kasus pidana Thabranie selaku Direktur CV Wisata jauh sebelum pencalonan gubernur, langkah polisi sekarang tidak akan dianggap mencari-cari kesalahan orang. Begitu pula Thabranie. Kita heran kenapa ia menghindar dari panggilan Mabes Polri sehingga masuk DPO. Kalau ia merasa tidak bersalah, hadapi saja status sebagai tersangka dan itu tidak mengurangi haknya dilantik sebagai gubernur terpilih. Apalagi DPRD Lampung sudah sepakat bulat untuk tetap menjadwalkan pelantikan. Hanya, kendalanya adalah pemerintah baru menurunkan keputusan presiden mengenai pelantikan jika Thabranie selesai menjalani pemeriksaan di Mabes Polri. Tampaknya ia akan terjegal di sini. Akhirnya, sudah mendesak untuk dipikirkan agar di masa depan pejabat publik seperti gubernur dipilih secara langsung oleh rakyat. Menyerahkan pemilihan kepada DPRD, yang jumlah anggotanya sekitar 60 orang, sangat riskan karena seorang calon bisa saja menggunakan senjata uangnya untuk naik ke posisi itu. Aroma seperti itu—meski pembuktiannya sulit—sudah tercium di berbagai daerah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus