Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Pepesan Ongko buat BPPN

Bankir Kaharudin Ongko bebas dari tuntutan korupsi. Sekarang nyaris lepas dari membayar utang ke BPPN.

13 April 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALI ini Atrium Senen tidak diguncang oleh bom teroris, tapi oleh ledakan masalah utang konglomerat pemilik kompleks perdagangan itu kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Yang berutang adalah Kaharudin Ongko, aset yang jadi persoalan ialah PT Segitiga Atrium, dan yang berpotensi dirugikan adalah keuangan negara. Ini pola biasa. Yang istimewa adalah BPPN menerima sebuah jaminan pembayaran utang yang diberikan Ongko, padahal secara tidak langsung yang dijaminkan itu praktis sudah milik BPPN juga. Proses penyelesaian utang di BPPN cukup ruwet dan berbelit-belit, sehingga hanya mereka yang licin dan meliuk-liuk yang akan mampu lolos dari kekusutan itu. Kaharudin Ongko adalah salah satu yang lolos. Kelihaian bankir ini terbukti ketika ia berhasil mendapat putusan bebas dari tuntutan 16 tahun penjara dalam perkara korupsi dana BLBI Bank Umum Nasional bulan Januari lalu. Setelah bebas, Ongko tak pernah terlihat lagi, padahal ia masih harus menyelesaikan utang tanggungannya sejumlah Rp 8,3 triliun pada BPPN. Sebelumnya, untuk itu pada 1998 ia sudah meneken master of refinancing and notes issuance agreement (MRNIA), sebuah perjanjian menyelesaikan utang dengan jaminan aset dan jaminan pribadi. Harta yang dijaminkan Ongko adalah saham miliknya di 20 perusahaan, termasuk 60 persen saham PT Segitiga Atrium, pengelola kompleks Atrium Senen. Yang jadi masalah adalah bahwa PT Segitiga Atrium itu juga memiliki kewajiban melunasi kredit senilai Rp 418 miliar ke Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang sudah dialihkan ke BPPN. Jadi, BPPN mendapat jaminan saham sebuah perusahaan Ongko yang sebetulnya masih berutang kepada BPPN juga. Besarnya utang itu sudah menghapus nilai modal PT Segitiga Atrium yang sedianya jadi jaminan itu. Bisa dikatakan, BPPN menerima pepesan kosong sebagai jaminan pelunasan utang Ongko. Di BPPN, hak tagih atas utang dari kredit Rp 418 miliar diurus oleh Aset Manajemen Kredit (AMK), sedangkan penyelesaian utang tanggungan Ongko Rp 8,3 triliun dengan jaminan aset ditangani divisi Aset Manajemen Investasi (AMI). Koordinasi di antara keduanya ternyata kurang baik—kalaupun bukan tidak ada. AMI tidak tahu bahwa AMK sibuk dengan utang PT Segitiga Atrium. Maka AMK, melalui program penjualan aset kredit, menjual hak tagih Rp 418 miliar yang harus dibayar PT Segitiga Atrium kepada pihak ketiga. Pertengahan tahun lalu, hak tagih tersebut dijual kepada Japan Asia Investment Corporation (JAIC) dengan harga Rp 171,2 miliar. Ini berarti BPPN—setidaknya di atas kertas—telah merugi atau memberikan potongan sekitar 60 persen. Dengan sendirinya, kerugian itu dipikul negara. Lalu JAIC menjual lagi kepada Boliden Properties Ltd., perusahaan yang berdomisili di British Virgin Islands, tempat kepemilikan dan transaksi sulit dilacak jejaknya. Kemudian Boliden menagih haknya kepada PT Segitiga Atrium, yang tentu saja tidak bisa membayar utang itu. Jalan keluarnya, utang dikonversi menjadi saham, dan Boliden lalu memiliki 99,9 persen saham PT Segitiga Atrium, sehingga mengencerkan saham Ongko sampai jadi 0,06 persen. Hasil akhirnya adalah BPPN kehilangan 60 persen dari Rp 418 miliar, dan salah satu jaminan aset dari Ongko berupa saham mayoritas PT Segitiga Atrium susut nilainya jadi hampir nihil. Yang akan menjadi soa2l mahagawat ialah kalau ternyata—sukar dibuktikan, walau mungkin terasa—Boliden Properties Ltd. tidak lain adalah alat kepunyaan langganan lama BPPN juga, Kaharudin Ongko sendiri. Mungkin banyak yang sudah jemu memperingatkan dan menuntut agar BPPN lebih bersih, rapi, tegas, dan bertanggung jawab; agar BPPN tidak bertitik berat pada aspek teknis belaka, dan jangan sekadar berpegang pada recovery rate 25 atau 30 persen saja. Walaupun aset jaminan yang busuk masih bisa diganti, soal PT Segitiga Atrium ini harus diselesaikan pula dari segi hukum dan keadilannya. Untuk itu, Tuan Ongko harus dihadirkan di kantor BPPN Jakarta untuk membayar apa yang wajib dibayarnya sekarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus