DENGAN pedang terhunus, 30 tahun yang lalu Raden Mochtar
berteriak: "Aku Rodrigo de Villa, pahlawan dari Kastilia!"
Menakjubkan. Itulah Rodrigo de Villa film Indonesia pertama yang
100% memakai tatawarna. Tapi bukan karena itu film ini kini
terasa menakjubkan. Dikenang kembali, ia mencerminkan sesuatu
yang mungkin ganjil tapi mungkin pula sudah semestinya: suatu
zaman yang barangkali tak akan kembali.
Rodrigo de Villa dibuat di Filipina. Bagaimana prosesnya yang
persis, tak jelas benar -- kecuali bila nanti ada seorang yang
menulis sejarah perusahaan film Persari. Yang pasti, pihak
Intonesia -- yakni perusahaan film milik Djamaludin Malik itu
rupanya tinggal mengambil oper satu cerita dan sana.
Sang pahlawan adalah seorang kesatria dari pedalaman Spanyol,
dari sebuah daerah yang nampak rimbun dengan anggur dan zaitun.
Di sana Rodrigo berkelana di atas kuda di waktu pagi, memetik
gitar dan nyanyi keras-keras. Masa yang melatarbelakanginya
adalah masa ketika Andalusia dalam peralihan kekuasaan: kerajaan
Islam di Selatan sedang terdesak oleh pasukan Kristen.
Tanpa banyak susah payah kita segera tahu di mana Rodrigo
berpihak, dan pihak mana yang dimusuhinya (dan dimusuhi penulis
skenario). Dalam film ini, akhirnya Rodrigo atau Raden Mochtar
merobohkan sejumlah prajurit berpakaian Arab. Itulah, kata
sahibul skenario, kemenangan yang mengantar happy ending bagi
film ini: Raja Alfonso bergabung lagi dengan Ratu Isabella.
"Bawalah mayit-mayit ini ke luar!" teriak Rodrigo sehabis suatu
perkelahian di awal film.
Mayit, bukan rnayat. Bahasa Indonesia di layar putih itu dari
segi penglafalan memang masih berdimik-dimik jalannya. Tapi
semua yang melenceng itu berlangsung dengan kalem: seperti
halnya Raden Mochtar dibiarkan terus dengan rambutnya yang ikal,
Astaman yang sangat berwajah Jawa itu pun hadir sebagai Raja
Alfonso, dan Sukarsih yang geulis menurut standar Sunda tapi
pesek menurut ukuran Spanyol tampil sebagai Ratu Isabella.
Ukuran kecantikan Indonesia tanpa canggung, atau lebih tepat
secara nekat, dikenakan ke Laut Tengah.
Yang aneh, tak ada rasa gentar untuk nekat seperti itu.
Djamaludin Malik sekali sabet memungut begitu saja sebuah cerita
yang mungkin cocok buat Filipina yang Katolik-Spanyol tapi agak
ganjil buat Indonesia yang Islam-Melayu.
Seandainya Rodrigo de Villa dibuat sekarang, pemerintah pasti
akan menyetopnya atau organisasi-organisasi Islam akan
memprotesnya. Dan para penulis resensi akan terpingkal-pingkal .
. .
Tapi 30 tahun yang lalu adalah 30 tahun yang lalu. Kita mungkin
rada tolol tapi yang pasti lebih toleran terhadap banyak hal
ihwal: Raden Mochtar toh dengan yakin tetap memakai kata raden
di depan namanya. Film masih suatu permainan, kegiatan yang
seakan-akan untuk menebus sebuah masa kanak yang hilang.
Film 30 tahun yang lalu memang praktis dunia sejumlah orang
dewasa yang tak bertingkah teramat dewasa. Ditambah dengan uang
dan teknologi, dari sana lahir segala hal yang dipetik dari
fantasi sebelum tidur siang seorang bocah bongsor: bocah yang
tadi malam menonton sebuah film Amerika. Tak ada yang
menganggapnya teramat serius.
Maka, seperti halnya fantasi siang hari itu, ia tak dituntut
macam-macam: ia terbang dengan permadani mimpi yang paling
cepat. Barang dagangan semata? Ya, dan ia mengiyakannya dengan
jujur. Selera kampungan? Ya, dan ia mengatakan, ia tak kenal
cita rasa yang lain.
Ia tak digertak oleh kepongahan intelektual yang fasih bicara
tentang neorealisme atau the new wave. Ia tak ada niat muluk,
misalnya, untuk membentuk bangsa, membentuk akhlak, membentuk
iman, membentuk optimisme, semangat revolusi, pembangunan,
penghijauan, wiraswasta, antinarkotik, dan sebagainya.
Memang agak dungu kedengarannya seperti sandiwara kampung yang
kita kenal dulu itu. Tapi kegembiraannya, langkahnya yang
ringan, dan cita-citanya yang pendek memberinya kemerdekaan yang
kini justru sulit didapat. Kita kini begitu yakin seakan film
dapat mengubah dunia. Kita lupa bahwa sutradara "progresif"
seperti Costa Gavras pun tidak yakin itu akan terjadi "Gila,"
katanya kepada majalah The Rolling Stones, "mengharapkan film
dapat mengubah dunia."
Mungkin bukan sekadar nostalgia, bila ada yang terasa hilang
dengan datangnya harapan besar. Setidaknya perasaan kita ketika
melihat Raden Mochtar menghunus pedang: ini sebuah permainan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini