LAKI-laki itu kecewa, dan berkata bagaikan bersumpah. "Saya
kapok bertransmigrasi lagi. Di sana saya menderita batin maupun
penghasilan. Keadaan tidak sebaik yang diomongkan Pak Lurah."
Namanya Busro. Sulasmi, istri Busro, meninggal karena sakit di
lokasi transmigrasi.
Nasib sepahit itu tidak ditanggungnya sendiri. Pada September
1982, bersama sekitar 100 keluarga lain, ia diberangkatkan dari
Jawa Tengah, menuju Desa Kurau, Kecamatan Koba, Bangka, Sumatera
Selatan. Dengan upacara meriah. Upacara itu tampaknya dianggap
perlu, sebab mereka adalah rombongan transmigran nelayan pertama
di Indonesia. Mereka menjadi pelopor proyek percontohan
tersebut.
Dengan semangat seperti layar berkibar mereka berangkat, setelah
mendapatkan 15 hari latihan di Tegal. Mereka percaya gambaran
yang dijanjikan: pembagian tanah per keluarga 1 hektar, rumah,
jaminan hidup selama 6 bulan, dan satu kapal jenis purse seine
untuk 10 orang. Dari Semarang ke Jakarta mereka naik kereta api,
sedang Jakarta-Pangkalpinang naik pesawat terbang.
Harapan ternyata segera terhempas begitu mereka sampai ke proyek
transmigrasi Kurau I. "Ternyata rumah yang dibagikan sangat
jelek, dindingnya dari papan yang kebanyakan sudah dimakan
rayap," cerita Supangat, salah seorang nelayan itu. Air juga
jadi masalah: warnanya kemerah-merahan dan harus diendapkan dulu
sebelum direbus. Lahan berpasir, dan tanaman sulit tumbuh.
Sedang pembagian tanah yang dijanjikan ternyata tinggal janji.
Bila musim hujan dan air laut naik, pemukiman para transmigran
itu tergenang air. "Untuk menanak nasi, tungkunya terpaksa kami
letakkan di atas amben tidur," kata seorang ibu pada Syaiful
Anwar Ateh dari TEMPO yang beberapa pekan lalu menengok ke sana.
Tapi yang paling memukul mereka: kapal yang dijanjikan tak
kunjung dibagikan. Baru setelah beramai-ramai protes, kapal yang
ada bisa dipakai tapi secara bergilir. Akibatnya kesempatan
melaut sangat jarang.
Ngatmo bin Karmin, 40 tahun, misalnya setelah 7 bulan tinggal
di Kurau baru sekali bisa melaut. Bersama delapan rekannya
selama seminggu mereka cuma memperoleh 2 kuintal ikan. Dengan
harga ikan tongkol Rp 300 per kg, tenggiri Rp 700 per kg, dan
cucut Rp 300 per kg mereka masing-masing hanya memperoleh
penghasilan Rp 3.000 dari hasil kerja seminggu.
Setelah 15 hari melaut pertengahan April lalu, Sumejo bin Saman,
35 tahun, bersama delapan temannya merasa gembira karena
memperoleh tangkapan 7 kuintal ikan. Tapi masih tetap sial.
Seharusnya mereka menerima Rp 176.000 dari hasil tangkapan itu.
Sayang, petugas Dinas Perikanan ternyata memotong 40%. Alasan:
untuk angsuran harga kapal. Alhasil mereka masing-masing cuma
mendapat bagian Rp 10.000. Dan uang itu jarang datang: karena
kurangnya kapal, baru sekitar dua minggu lagi mereka dapat
giliran melaut.
Jumlah kapal yang disediakan untuk 100 nelayan di Kurau simpang
siur. Pihak instansi transmigrasi setempat mengatakan, akan
disediakan 30 kaDal. Pihak pemerintah daerah menyebut 13 kapal,
8 di antaranya sudah beroperasi. Sedang Dinas Perikanan menyebut
16 buah. Namun para transmigran nelayan sendiri mengatakan, yang
ada baru 8 buah.
Karena lebih sering menganggur, para transmigran berusaha
mencari pekerjaan sambilan. Tapi kesempatan kerja sangat jarang,
sekalipun cuma untuk jadi buruh serabutan.
Seolah semua itu belum cukup pedih fasilitas Puskesmas ternyata
juga tak ada di lokasi transmigrasi -- berbeda dengan yang
dijanjikan sebelum berangkat.
Merasa tak betah, Supangat beserta istri dan seorang anaknya
dengan biaya sendiri pulang kembali ke kampungnya, di Desa
Gempol Sewu Tawang, 3 bulan lalu. Beberapa orang, termasuk
Busro, mengikuti jejaknya. Mereka memang bukan tergolong miskin.
Hampir semuanya punya rumah. Desa Gempol Sewu Tawang sendiri
terlihat hijau dan subur. Terletak 8 km dari jalan raya
Weleri-Pekalongan, desa itu tidak terisolasi.
Kepala Desa Gempol, Sewu Akhmad Rondhi, membantah kepulangan
para transmigran itu karena kecewa. Dari 100 kk yang berangkat,
sekitar 90 kk berasal dari desanya. "Mereka hanya pulang
sebentar untuk menengok keluarga saja," katanya. Menurut dia,
banyak transmigran nelayan dai kampungnya yang kini sudah
makmur di Kurau sana. Tapi Supangat dkk. membantah. Diakuinya
izin pulangnya diajukan dengan alasan menengok keluarga. Tapi
itu cuma sekadar dalih.
Suwardi, kepala Desa Bandengan yang sebaglan warganya juga
bertransmigrasi ke Kurau, juga membantah bahwa kehidupan di
Kurau sulit. "Itu hanya isu saja. Mereka ingin menjatuhkan nama
baik pemerintah," katanya. Penduduk desanya, katanya, ada yang
termakan isu tersebut. Toh Suwardi agak lega, karena dari 9
keluarga transmigran yang berasal dari desanya belum ada satu
pun yang pulang kampung.
Menurut suatu sumber TEMPO, kurang berhasilnya proyek Kurau I
yang diresmikan 22 Maret 1983 itu karena kurangnya persiapan
serta koordinasi antara beberapa pihak yang terlibat: Departemen
Transmigrasi, Ditjen Perikanan, serta Pemda. Hingga proyek
dengan biaya Rp 700 juta itu mengulangi kisah klasik birokrasi
di sini, semrawut dan gagal.
Ayib Rughbi, 57 tahun, Dirjen Pengerahan dan Pembinaan
Departemen Transmigrasi, menjelaskan, sebetulnya departemennya
hanya mengatur keberangkatan dan menyediakan anggaran proyek
transmigrasi nelayan itu. Bagaimana setelah ini? Ia mengatakan,
kekurangan dalam proyek tersebut akan ditampung dan dipelajari.
"Juli dan Agustus mendatang proyek pemukiman nelayan itu akan
kami pelajari, dengan mengajak para ahli agar lebih obyektif,
dengan maksud untuk menyusun suatu pola transmigrasi nelayan,"
katanya pada TEMPO.
Sementara tim para ahli dan lain-lain, disusun -- mungkin pula
dilanjutkan dengan seminar -- ada sebuah saran Supangat: "Bil
proyek seperti itu ingin berhasil, hendaknya rakyat jangan
dikelabui. Bicaralah yang wajar, jangan yang muluk-muluk,"
kata bekas transmigran itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini