Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Orang-orang yang dikecewakan

Proyek transmigrasi untuk nelayan di bangka (sum-sel) tidak berhasil. kurang koordinasi persiapan dan para transmigrasi sebelumnya terlalu dijanjikan yang muluk-muluk. (nas)

28 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAKI-laki itu kecewa, dan berkata bagaikan bersumpah. "Saya kapok bertransmigrasi lagi. Di sana saya menderita batin maupun penghasilan. Keadaan tidak sebaik yang diomongkan Pak Lurah." Namanya Busro. Sulasmi, istri Busro, meninggal karena sakit di lokasi transmigrasi. Nasib sepahit itu tidak ditanggungnya sendiri. Pada September 1982, bersama sekitar 100 keluarga lain, ia diberangkatkan dari Jawa Tengah, menuju Desa Kurau, Kecamatan Koba, Bangka, Sumatera Selatan. Dengan upacara meriah. Upacara itu tampaknya dianggap perlu, sebab mereka adalah rombongan transmigran nelayan pertama di Indonesia. Mereka menjadi pelopor proyek percontohan tersebut. Dengan semangat seperti layar berkibar mereka berangkat, setelah mendapatkan 15 hari latihan di Tegal. Mereka percaya gambaran yang dijanjikan: pembagian tanah per keluarga 1 hektar, rumah, jaminan hidup selama 6 bulan, dan satu kapal jenis purse seine untuk 10 orang. Dari Semarang ke Jakarta mereka naik kereta api, sedang Jakarta-Pangkalpinang naik pesawat terbang. Harapan ternyata segera terhempas begitu mereka sampai ke proyek transmigrasi Kurau I. "Ternyata rumah yang dibagikan sangat jelek, dindingnya dari papan yang kebanyakan sudah dimakan rayap," cerita Supangat, salah seorang nelayan itu. Air juga jadi masalah: warnanya kemerah-merahan dan harus diendapkan dulu sebelum direbus. Lahan berpasir, dan tanaman sulit tumbuh. Sedang pembagian tanah yang dijanjikan ternyata tinggal janji. Bila musim hujan dan air laut naik, pemukiman para transmigran itu tergenang air. "Untuk menanak nasi, tungkunya terpaksa kami letakkan di atas amben tidur," kata seorang ibu pada Syaiful Anwar Ateh dari TEMPO yang beberapa pekan lalu menengok ke sana. Tapi yang paling memukul mereka: kapal yang dijanjikan tak kunjung dibagikan. Baru setelah beramai-ramai protes, kapal yang ada bisa dipakai tapi secara bergilir. Akibatnya kesempatan melaut sangat jarang. Ngatmo bin Karmin, 40 tahun, misalnya setelah 7 bulan tinggal di Kurau baru sekali bisa melaut. Bersama delapan rekannya selama seminggu mereka cuma memperoleh 2 kuintal ikan. Dengan harga ikan tongkol Rp 300 per kg, tenggiri Rp 700 per kg, dan cucut Rp 300 per kg mereka masing-masing hanya memperoleh penghasilan Rp 3.000 dari hasil kerja seminggu. Setelah 15 hari melaut pertengahan April lalu, Sumejo bin Saman, 35 tahun, bersama delapan temannya merasa gembira karena memperoleh tangkapan 7 kuintal ikan. Tapi masih tetap sial. Seharusnya mereka menerima Rp 176.000 dari hasil tangkapan itu. Sayang, petugas Dinas Perikanan ternyata memotong 40%. Alasan: untuk angsuran harga kapal. Alhasil mereka masing-masing cuma mendapat bagian Rp 10.000. Dan uang itu jarang datang: karena kurangnya kapal, baru sekitar dua minggu lagi mereka dapat giliran melaut. Jumlah kapal yang disediakan untuk 100 nelayan di Kurau simpang siur. Pihak instansi transmigrasi setempat mengatakan, akan disediakan 30 kaDal. Pihak pemerintah daerah menyebut 13 kapal, 8 di antaranya sudah beroperasi. Sedang Dinas Perikanan menyebut 16 buah. Namun para transmigran nelayan sendiri mengatakan, yang ada baru 8 buah. Karena lebih sering menganggur, para transmigran berusaha mencari pekerjaan sambilan. Tapi kesempatan kerja sangat jarang, sekalipun cuma untuk jadi buruh serabutan. Seolah semua itu belum cukup pedih fasilitas Puskesmas ternyata juga tak ada di lokasi transmigrasi -- berbeda dengan yang dijanjikan sebelum berangkat. Merasa tak betah, Supangat beserta istri dan seorang anaknya dengan biaya sendiri pulang kembali ke kampungnya, di Desa Gempol Sewu Tawang, 3 bulan lalu. Beberapa orang, termasuk Busro, mengikuti jejaknya. Mereka memang bukan tergolong miskin. Hampir semuanya punya rumah. Desa Gempol Sewu Tawang sendiri terlihat hijau dan subur. Terletak 8 km dari jalan raya Weleri-Pekalongan, desa itu tidak terisolasi. Kepala Desa Gempol, Sewu Akhmad Rondhi, membantah kepulangan para transmigran itu karena kecewa. Dari 100 kk yang berangkat, sekitar 90 kk berasal dari desanya. "Mereka hanya pulang sebentar untuk menengok keluarga saja," katanya. Menurut dia, banyak transmigran nelayan dai kampungnya yang kini sudah makmur di Kurau sana. Tapi Supangat dkk. membantah. Diakuinya izin pulangnya diajukan dengan alasan menengok keluarga. Tapi itu cuma sekadar dalih. Suwardi, kepala Desa Bandengan yang sebaglan warganya juga bertransmigrasi ke Kurau, juga membantah bahwa kehidupan di Kurau sulit. "Itu hanya isu saja. Mereka ingin menjatuhkan nama baik pemerintah," katanya. Penduduk desanya, katanya, ada yang termakan isu tersebut. Toh Suwardi agak lega, karena dari 9 keluarga transmigran yang berasal dari desanya belum ada satu pun yang pulang kampung. Menurut suatu sumber TEMPO, kurang berhasilnya proyek Kurau I yang diresmikan 22 Maret 1983 itu karena kurangnya persiapan serta koordinasi antara beberapa pihak yang terlibat: Departemen Transmigrasi, Ditjen Perikanan, serta Pemda. Hingga proyek dengan biaya Rp 700 juta itu mengulangi kisah klasik birokrasi di sini, semrawut dan gagal. Ayib Rughbi, 57 tahun, Dirjen Pengerahan dan Pembinaan Departemen Transmigrasi, menjelaskan, sebetulnya departemennya hanya mengatur keberangkatan dan menyediakan anggaran proyek transmigrasi nelayan itu. Bagaimana setelah ini? Ia mengatakan, kekurangan dalam proyek tersebut akan ditampung dan dipelajari. "Juli dan Agustus mendatang proyek pemukiman nelayan itu akan kami pelajari, dengan mengajak para ahli agar lebih obyektif, dengan maksud untuk menyusun suatu pola transmigrasi nelayan," katanya pada TEMPO. Sementara tim para ahli dan lain-lain, disusun -- mungkin pula dilanjutkan dengan seminar -- ada sebuah saran Supangat: "Bil proyek seperti itu ingin berhasil, hendaknya rakyat jangan dikelabui. Bicaralah yang wajar, jangan yang muluk-muluk," kata bekas transmigran itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus