Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ia menunggu di emper

Karena salah pengukuran dan perubahan kebijaksanaan dalam penentuan daerah genangan untuk wasuk wonogiri, ratusan penduduk di desa ngasem, terkatung-katung dan tak menentu nasibnya. (nas)

28 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TELAH lebih dari satu tahun Yatiman menunggu di emper rumah, milik tetangganya. Ia tidak tahu berapa lama lagi ia masih harus menanti. Emper itu disekatnya dengan dinding bambu. Sejak Februari tahun lalu, di situlah Yatiman, istri serta anak-anaknya tinggal. Yatiman, 37 tahun, berasal dari Desa Ngasem, Kelurahan Boto, Kecamatan Baturetno, Wonogiri, Jawa Tengah. Sekitar 2 tahun lalu tanah dan sawah di desa itu diukur petugas Proyek Bengawan Sala guna pembangunan Waduk Wonogiri. Lurah kemudian memberitahu penduduk, tanah di desa itu akan tergenang karena pihak proyek memerlukan tambahan genangan untuk waduk. Maka 18 keluarga yang tinggal di Desa Ngasem itu pun dengan patuh bersiap-siap pindah. Yatiman sendiri, tanpa menunggu ganti rugi segera menjual tanah, rumah, dan sapinya untuk membayar uang muka pembelian tanah di desa lain, yaitu Desa Tekil, sebelah utara Ngasem. "Kalau tidak cepat memberi uang panjar, bisa keduluan orang lain, Yatiman menjelaskan alasannya mengapa ia buru-buru membeli tanah. Pembeli tanahnya adalah mereka yang memperhitungkan akan memperoleh keuntungan dari uang ganti rugi yang bakal diterima. Yatiman yang berkulit hitam itu membeli tanah seluas 800 m2, seharga Rp 500 ribu, dan membayar Rp 150 ribu sebagai uang muka. Hasil penjualan tanah, rumah, dan anak sapinya, seluruhnya Rp 450 ribu, dipergunakannya untuk menimbuni tanah yang dibelinya agar rata. Selain itu ia masih punya pinjaman Rp 150 ribu. "Antara lain untuk menyekolahkan anak saya yang tahun lalu masuk SMP Baturetno," katanya. Mengapa pinjam uang segala? "Kan rencananya saya akan menerima ganti rugi?" jawab Yatiman. Dari sawahnya, yang sekitar 5.000 m2, ia memperkirakan mendapat ganti rugi Rp 3 juta. Namun, ganti rugi yang lama dinanti ternyata tak kunjung tiba. Bahkan penjelasan secuil pun tak muncul. Maka kehidupan warga eks Desa Ngasem, yang sebagian besar telah menjual rumah dan tanahnya terkatung-katung. Suasana Desa Ngasem sendiri kini sepi, bak negeri dikalahkan garuda. Jalan rusak berlumpur ditumbuhi semak. Pagar bambu pekarangan roboh, sedang rumput liar menyerbu rumah-rumah yang kosong. Sebagian penduduk membiarkan sawahnya liar, dan dalam ketidakpastian menunggu itu mencari nafkah dengan menjaring burung perkutut. Awal Mei lalu Sukarmo, lurah Desa Botq, menulis surat pada pimpinan Proyek Bengawan Sala. "Isinya mendesak agar uang ganti rugi segera dibayarkan," ujarnya. Selain 18 KK dari Desa Ngasem, ada 51 KK dari desa lain di wilayahnya yang bernasib sama. Terulurnya ganti rugi itu tampaknya karena kesalahan pengukuran, serta perubahan kebijaksanaan. Menjelang waduk dibangun, pada 1976, ada pengukuran. "Semula ditentukan luas genangan dengan ketinggian sampai 140 meter di atas permukaan laut," kata Y.B. Sunarko, kepala Bagian Urusan Tanah Proyek Bengawan Sala. Pada 1980 diadakan pengukuran yang lebih teliti. "Ternyata terdapat daerah yang tertinggal," ujar Ir. Sriyono, pimpinan proyek. Semula ada 45 desa yang diperkirakan akan tergenang, namun setelah diukur ulang ternyata menjadi 51 desa. Kemudian muncul kebijaksanaan baru: tanah yang dipakai untuk genangan hanya sampai ketinggian 138,3 meter. Alasannya: banjir tahunan ternyata paling-paling mencapai ketinggian 138,3 meter. Keadaan ekonomi negara yang sedang menghemat, juga menjadi penyebab. Walhasil diputuskan ganti rugi cuma akan diberikan pada genangan baru dari batas elevasi 136 sampai 138,3. Sedang yang antara 138,3 dan 140 tidak akan diberi ganti rugi. Menurut Sriyono, "pembatalan itu sejak 1981 sudah kami beritahukan kepada pemerintah daerah, agar diteruskan kepada para penduduk." Desa Ngasem termasuk daerah yang ketinggiannya antara 138,3 dan 140. Berarti, sesuai dengan kebijaksanaan baru, tidak akan mendapat ganti rugi. Tapi para penduduk ternyata tak diberitahu. "Saya tak tahu kalau ada pembatalan. Pak Lurah tidak bercerita," kata Yatiman. Waduk Wonogiri diresmikan Presiden Soeharto pada November 1981. Waduk ini sekarang baru bisa mengairi daerah Sukarharjo karena saluran untuk Sragen dan Klaten baru dibangun. Ganti rugi untuk daerah ketinggian 136-138,3 sampai kini belum terbayar seluruhnya. Ganti rugi untuk daerah genangan baru Rp 600 per meter. Berapa luas yang tergenang, belum selesai dihitung. "Saya akan usul ke pusat. Kalau disetujui dan ada dananya, mungkin penduduk Ngasem akan memperoleh ganti rugi," kata Sriyono. Tampaknya Yatiman masih akan lama hidup di emper rumah orang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus