TELAH lebih dari satu tahun Yatiman menunggu di emper rumah,
milik tetangganya. Ia tidak tahu berapa lama lagi ia masih harus
menanti. Emper itu disekatnya dengan dinding bambu. Sejak
Februari tahun lalu, di situlah Yatiman, istri serta
anak-anaknya tinggal.
Yatiman, 37 tahun, berasal dari Desa Ngasem, Kelurahan Boto,
Kecamatan Baturetno, Wonogiri, Jawa Tengah. Sekitar 2 tahun lalu
tanah dan sawah di desa itu diukur petugas Proyek Bengawan Sala
guna pembangunan Waduk Wonogiri. Lurah kemudian memberitahu
penduduk, tanah di desa itu akan tergenang karena pihak proyek
memerlukan tambahan genangan untuk waduk.
Maka 18 keluarga yang tinggal di Desa Ngasem itu pun dengan
patuh bersiap-siap pindah. Yatiman sendiri, tanpa menunggu ganti
rugi segera menjual tanah, rumah, dan sapinya untuk membayar
uang muka pembelian tanah di desa lain, yaitu Desa Tekil,
sebelah utara Ngasem. "Kalau tidak cepat memberi uang panjar,
bisa keduluan orang lain, Yatiman menjelaskan alasannya mengapa
ia buru-buru membeli tanah. Pembeli tanahnya adalah mereka yang
memperhitungkan akan memperoleh keuntungan dari uang ganti rugi
yang bakal diterima.
Yatiman yang berkulit hitam itu membeli tanah seluas 800 m2,
seharga Rp 500 ribu, dan membayar Rp 150 ribu sebagai uang muka.
Hasil penjualan tanah, rumah, dan anak sapinya, seluruhnya Rp
450 ribu, dipergunakannya untuk menimbuni tanah yang dibelinya
agar rata. Selain itu ia masih punya pinjaman Rp 150 ribu.
"Antara lain untuk menyekolahkan anak saya yang tahun lalu masuk
SMP Baturetno," katanya. Mengapa pinjam uang segala? "Kan
rencananya saya akan menerima ganti rugi?" jawab Yatiman. Dari
sawahnya, yang sekitar 5.000 m2, ia memperkirakan mendapat ganti
rugi Rp 3 juta.
Namun, ganti rugi yang lama dinanti ternyata tak kunjung tiba.
Bahkan penjelasan secuil pun tak muncul. Maka kehidupan warga
eks Desa Ngasem, yang sebagian besar telah menjual rumah dan
tanahnya terkatung-katung.
Suasana Desa Ngasem sendiri kini sepi, bak negeri dikalahkan
garuda. Jalan rusak berlumpur ditumbuhi semak. Pagar bambu
pekarangan roboh, sedang rumput liar menyerbu rumah-rumah yang
kosong. Sebagian penduduk membiarkan sawahnya liar, dan dalam
ketidakpastian menunggu itu mencari nafkah dengan menjaring
burung perkutut.
Awal Mei lalu Sukarmo, lurah Desa Botq, menulis surat pada
pimpinan Proyek Bengawan Sala. "Isinya mendesak agar uang ganti
rugi segera dibayarkan," ujarnya. Selain 18 KK dari Desa Ngasem,
ada 51 KK dari desa lain di wilayahnya yang bernasib sama.
Terulurnya ganti rugi itu tampaknya karena kesalahan pengukuran,
serta perubahan kebijaksanaan. Menjelang waduk dibangun, pada
1976, ada pengukuran. "Semula ditentukan luas genangan dengan
ketinggian sampai 140 meter di atas permukaan laut," kata Y.B.
Sunarko, kepala Bagian Urusan Tanah Proyek Bengawan Sala.
Pada 1980 diadakan pengukuran yang lebih teliti. "Ternyata
terdapat daerah yang tertinggal," ujar Ir. Sriyono, pimpinan
proyek. Semula ada 45 desa yang diperkirakan akan tergenang,
namun setelah diukur ulang ternyata menjadi 51 desa.
Kemudian muncul kebijaksanaan baru: tanah yang dipakai untuk
genangan hanya sampai ketinggian 138,3 meter. Alasannya: banjir
tahunan ternyata paling-paling mencapai ketinggian 138,3 meter.
Keadaan ekonomi negara yang sedang menghemat, juga menjadi
penyebab.
Walhasil diputuskan ganti rugi cuma akan diberikan pada genangan
baru dari batas elevasi 136 sampai 138,3. Sedang yang antara
138,3 dan 140 tidak akan diberi ganti rugi. Menurut Sriyono,
"pembatalan itu sejak 1981 sudah kami beritahukan kepada
pemerintah daerah, agar diteruskan kepada para penduduk."
Desa Ngasem termasuk daerah yang ketinggiannya antara 138,3 dan
140. Berarti, sesuai dengan kebijaksanaan baru, tidak akan
mendapat ganti rugi. Tapi para penduduk ternyata tak diberitahu.
"Saya tak tahu kalau ada pembatalan. Pak Lurah tidak bercerita,"
kata Yatiman.
Waduk Wonogiri diresmikan Presiden Soeharto pada November 1981.
Waduk ini sekarang baru bisa mengairi daerah Sukarharjo karena
saluran untuk Sragen dan Klaten baru dibangun. Ganti rugi untuk
daerah ketinggian 136-138,3 sampai kini belum terbayar
seluruhnya. Ganti rugi untuk daerah genangan baru Rp 600 per
meter. Berapa luas yang tergenang, belum selesai dihitung. "Saya
akan usul ke pusat. Kalau disetujui dan ada dananya, mungkin
penduduk Ngasem akan memperoleh ganti rugi," kata Sriyono.
Tampaknya Yatiman masih akan lama hidup di emper rumah orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini