DI zaman deregulasi pun, masih ada regulasi. Rayuan "Kayu lapis adalah primadona ekspor nonmigas" rupanya telah memanggil rotan, dan mungkin karet dan kulit. Pada dasarnya, tujuan kebijaksanaan pelarangan ekspor bahan mentah adalah untuk meningkatkan nilai tambah ekspor, dengan "mengarahkan" perkembangan sektor tersebut kepada peningkatan pengolahan bahan mentah. SKB 3 Menteri 1980 telah melarang ekspor kayu gelondongan secara bertahap. Pajak ekspor kayu gelondongan ditingkatkan, dan hanya pemegang konsesi hutan yang sudah mempunyai atau sedang membuat pabrik kayu olahan yang diizinkan mengekspor pada 1981-86. Tahun 1986 adalah batas waktu larangan ekspor kayu gelondongan. Belakangan ini, ekspor rotan mentah ikut dilarang, yang kemudian ditambah larangan ekspor rotan setengah jadi dan webbed rotan. Arah kebijaksanaan tersebut sepertinya mengikuti jejak kayu lapis. Maka, pada saat ini ada baiknya kita merenung kembali. Pertama, mengkaji lebih dalam "sukses" kayu lapis, dan kedua, mempertanyakan perbedaan antara kasus rotan dan kayu lapis. Sering terdengar, sukses kayu lapis dinilai dari segi amat pesatnya peningkatan ekspor kayu lapis. Pada 1981, tahun pertama berlakunya larangan, ekspor kayu lapis mencapai US$ 163 juta. Pada 1987 ekspor kayu lapis melonjak 10 kali lipat, sehingga mencapai US$ 1.935 juta. Angka ekspor kayu lapis dan kayu gergajian menggambarkan satu sisi sukses itu. Untuk mendapat gambaran lebih lengkap, ada dua hal yang harus dipertimbangkan sebagai biaya, sehingga akhir sukses itu dapat dilihat: Pertama, adakah peningkatan devisa secara netto? Sehingga peningkatan devisa dari kayu lapis melebihi devisa yang dihasilkan dari kayu gelondongan? Pada 1980, sebelum berlakunya SKB 3 Menteri, ekspor kayu gelondongan mencapai US$ 1.850 juta atau hampir sama dengan angka ekspor kayu olahan pada 1987. Sehingga, secara kasar dapat ditarik kesimpulan, baru ada penambahan devisa pada 1987 sebesar US$ 85 juta pada tahun-tahun sebelumnya, terjadi penurunan devisa. Gambaran tersebut akan lebih kentara jika diperhitungkan pengaruh harga. Bila volume ekspor kayu gelondongan pada 1980 dilaksanakan sekarang dengan harga kayu gelondongan yang ada, apakah nilai ekspor kayu gelondongan akan lebih tinggi dari ekspor kayu olahan pada 1987? Juga, apakah ekspor kayu lapis dan kayu gergajian akan mengalami peningkatan lebih tinggi lagi, sehingga akan terasa peningkatan devisa secara riil dibanding ekspor kayu gelondongan? Hal itu akan sangat bergantung pada peningkatan olahan yang dapat tercapai dalam sektor tersebut. Sebab, kalau dari ekspor kayu lapis saja, nampaknya tak akan ada pertumbuhan pesat lagi. Jika angka ekspor kayu olahan pada 1987 dikonversikan ke angka riil, agar bisa dibandingkan dengan angka ekspor 1980 dengan memperhitungkan inflasi dan apresiasi mata uang yen, jelas angka ekspor itu akan lebih rendah dari US$ 1.900 juta. Gampangnya, hasil ekspor satu dolar pada 1987 daya belinya kurang dari satu dolar pada 1980, akibat peningkatan harga secara menyeluruh dan apresiasi yen (impor dan pembayaran utang luar negeri kita banyak dipengaruhi oleh yen). Jadi, dibandingkan dari segi peningkatan devisa, jika tak ada larangan ekspor kayu gelondongan, hasilnya belum tentu positif. Apalagi kalau dihitung biaya lain yang diperlukan dalam ekspor kayu olahan. Kedua adalah impor mesin, barang modal lainnya, dan tenaga kerja asing untuk mendirikan pabrik-pabrik kayu lapis. Semua itu telah menggunakan devisa dan investasi yang sebagian besar berasal dari dana dalam negeri (90 dari 105 pabrik kayu lapis di Indonesia adalah PMDN). Pemerintah juga telah memberikan kredit dengan bunga rendah. Namun, ada pertimbangan ekonomi untuk menjelaskan kebijaksanaan seperti ini. Bunyinya kira-kira begini: Suatu negara adalah salah satu pemasok utama bahan baku tertentu yang antara lain menguasai bagian cukup besar dari pasaran ekspor. Maka, negeri itu dapat menentukan harga bahan baku yang dikenakan kepada industri hilir pemakai bahan baku tersebut. Melalui integrasi vertikal, dengan masuk ke industri hilir, negara tersebut dapat "membeli" kebutuhan bahan bakunya jauh lebih murah dari harga yang digunakan untuk peminta di luar. Sehingga, biaya bahan baku yang lebih rendah akan menurunkan biaya produksi. Artinya, produsen industri hilir di negara tersebut akan lebih kompetitif dari produsen industri yang sama di negara lain yang tidak memiliki bahan baku itu. Maka, yang terjadi adalah semacam subsidi silang dari produsen bahan baku ke produsen kayu olahan, yang dalam kasus lapis dan kayu gergajian terdiri dari pihak yang sama. Tapi biaya industri hilir bukan cuma bahan baku. Tapi ada biaya mesin, barang modal, tenaga asing yang menguasai teknologinya, dan buruh yang terampil. Kalau industri hilir yang terbentuk tidak efisien dan mengandung biaya-biaya lain yang tinggi, biaya bahan baku yang lebih murah tidak akan terasa lagi. Maka, argumen untuk masuk ke industri hilir tak akan kuat. Memang, dalam jangka waktu tersebut efisiensi mungkin dapat tercapai, dan biaya-biaya lain dapat diturunkan, ditambah pula dengan keuntungan-keuntungan lain seperti penyerapan tenaga kerja, peningkatan mutu tenaga kerja, penguasaan teknologi, pertumbuhan di daerah (pemerataan), dan pengurangan dampak negatif kepada lingkungan. Tapi masih harus dipertanyakan berapa lama. Juga, dan ini amat penting, apakah tak ada kebijaksanaan alternatif yang bisa mencapai tujuan yang sama peningkatan devisa melalui perkembangan industri hilir -- tapi dengan biaya lebih rendah? Ekonomi mengenal istilah "yang terbaik" dan "juara kedua", kalau memang yang nomor satu tak bisa diterima. Menurut argumen first best, investasi ke industri hilir seharusnya adalah keputusan sektor swasta yang melakukan investasi tersebut. Mereka paling bisa menilai apakah proyek tersebut akan mampu mengembalikan investasi dalam periode yang pantas, dan apakah dalam periode itu produksi bisa bersaing dengan luar negeri. Tak perlu ada kebijaksanaan pemerintah yang "mengarahkan". Argumen second best, kalau kisah keberuntungan pemasok bahan baku dalam melakukan integrasi hilir dapat diterima, maka penggunaan pajak ekspor akan lebih baik dari larangan. Setiap larangan mutlak amat sifatnya, dan "memaksakan" pemegang konsesi kayu gelondongan untuk mendirikan pabrik-pabrik sebelum waktunya. Sedangkan pajak ekspor memberi peluang untuk penyesuaian. Pajak ekspor pun berarti ada uang masuk ke kas pemerintah, sedang pelarangan menguntungkan pihak-pihak di sektor kayu. Malaysia menggunakan sistem pajak ekspor, sehingga sekarang pun masih ada ekspor kayu gelondongan, di samping ekspor kayu lapis yang secara bertahap kianberkembang. Namun, negeri itu tak mengalami penurunan netto devisa seperti Indonesia, yang boleh dibilang negatif selama 1981-86. Terakhir, yang juga perlu dipertimbangkan, adalah kebijaksanaan kartel untuk menentukan harga ekspor kayu lapis kita sejak 1985. Dalam jangka pendek, kebijaksanaan ini terasa menguntungkan. Tapi pihak pembeli akan cenderung mencari pengganti kayu lapis, sehingga akhirnya mengurangi permintaan. Hal lain adalah, kebijaksanaan tersebut juga diklasifikasikan sebagai unfair trade practice, sehingga mengandung biaya tersendiri buat Indonesia dalam menghadapi negosiasi perdagangan multilateral maupun bilateral. Apakah kebijaksanaan di sektor kayu berhasil, dalam arti ada net positive benefit setelah menghitung dampak semua biaya, perlu penelitian lebih lanjut. Tapi yang penting adalah ini: keberhasilan ekspor kayu lapis mengandung banyak dimensi di luar peningkatan ekspor yang pesat, dan kebijaksanaan penentuan harga terpusat yang berhasil mendongkrak harga kayu lapis. Kalau benar keberhasilan sektor kayu lapis belum pasti, sudahkah waktunya bagi rotan, karet, dan kulit untuk mengikuti jejaknya? Andaikata terbukti kebijaksanaan perkayuan berhasil, itu pun tak dengan sendirinya berlaku buat rotan, karet, dan kulit. Ambillah kasus rotan dan kayu lapis. Di sini nampak beberapa perbedaan mencolok. Pertama, adanya pemasok rotan mentah yang lain. Setelah pelarangan rotan mentah pada Oktober 1986, ada beberapa negara yang mulai meningkatkan suplai rotannya, seperti Malaysia, Burma, dan Papua Nugini. Selain itu sudah ada rotan sintetis yang, ternyata, lebih awet, walaupun secara estetis tak sebagus rotan asli. Tapi rotan sintetis dapat digunakan di bagian hilir pasaran, yang justru dapat diproduksi secara masal dan lebih cocok untuk iklim teknologi dan keterampilan di Indonesia. Kedua, pasaran untuk produk rotan olahan jauh lebih bersaing dibanding kayu lapis. Penggantinya banyak. Dan produk rotan yang sintetis mulai dibeli orang. Maka, jika harga produk rotan olahan kita tak dapat bersaing, akan sulit menjualnya di luar negeri. Ada kecenderungan naiknya permintaan perabot dari kayu dan metal dibanding rotan. Ketiga, pemasaran produk rotan jauh lebih canggih dari kayu lapis. A.l. harus mengikuti selera dan trend di luar negeri dan pelayanan yang baik termasuk ketepatan tibanya barang. Sementara upaya pemasaran rotan kita masih amat lemah. Lalu keempat, dunia rotan butuh tenaga kerja yang lebih terampil dari produksi kayu lapis yang jauh lebih mekanis dan standar. Perabot rotan lebih rumit dan bervariasi, sehingga membutuhkan pengawasan mutu yang tak sebentar. Kelima, integrasi vertikal tak terjadi karena pihak pemetik rotan tak sama dengan pihak pengolah. Maka, pihak pemetik akan mengalami masalah pengangguran, di samping pemerataan. Ada sekitar 100.000 tenaga pemetik rotan, umumnya di luar Jawa. Turunnya permintaan dan harga akibat larangan ekspor rotan mentah, pada gilirannya akan mengurangi kegiatan pemetikan, dan pendapatan para pemetik. Benar penyerapan tenaga kerja di sektor pengolahan rotan meningkat. Tapi jumlahnya tak sampai 200.000 orang. Kebijaksanaan pemberian kredit ekspor dengan bunga 9% kepada produsen dan eksportir rotan olahan telah dikeluarkan untuk meningkatkan permintaan rotan mentah dan mengatasi masalah penurunan permintaan. Namun naiknya permintaan tak akan terpecahkan hanya melalui ekspor kredit berbunga rendah. Banyak soal berputar dalam dunia rotan: pemasaran, teknologi, dan penanaman modal. Keenam, penurunan devisa mungkin tak akan sebesar kasus kayu gelondongan, tapi yang jelas dalam jangka waktu tertentu, mungkin sekitar 10 tahun, akan ada penurunan devisa secara netto. Yakni penurunan devisa dari ekspor rotan mentah masih akan lebih besar dibanding peningkatan devisa dari ekspor rotan setengah jadi dan jadi. Berbeda dengan kayu lapis yang tak mengalami persaingan seru, perdagangan rotan di luar negeri terkenal amat kompetitif, sehingga pembeli mempunyai peluang untuk memilih hasil rotan yang bagus dengan harga yang paling miring. Masih ada biaya lain yang sulit dihitung dan menimbulkan kesan bertolak belakang regulasi dalam bisnis rotan justru terjadi di tengah iklim deregulasi di sektor perdagangan internasional dan sektor lain. Para investor, terutama yang dari luar, mungkin hanya menangkap sinyal tak jelas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini