DI mana pun diselenggarakan, pesta olahraga selalu memiliki daya tarik yang kuat, terlebih Olimpiade Seoul, yang dimulai pekan depan. Semua hotel di sana sudah dipesan penuh, begitu juga flat-flat yang biasa disewakan. Ini dirasakan oleh pejabat pemerintah yang akan berkunjung ke Korea Selatan. "Selama Olimpiade, tak ada tempat sama sekali. Padahal, saya harus tiba di sana minggu ini juga," kata seorang atase Indonesia yang baru saja dilantik untuk posnya yang baru di Seoul. Olimpiade Musim Panas -- pesta olahraga terbesar sejagat -- yang berlangsung empat tahun sekali, memang tidak bisa dilewatkan begitu saja. TVRI pun, telah secara rutin menampilkan berita sekitar atlet-atlet top dunia, yang kelak diperkirakan akan adu kekuatan di Seoul. Kalau sudah begitu, siapa yang tidak tergoda? Maka, wajar bila pengusaha yang penciumannya tajam akan segera memanfaatkan Olimpiade untuk mengail rezeki. Pengusaha antena parabola, misalnya, gencar sekali menembus pasar pada pekan-pekan belakangan ini. Sasarannya tentu orang-orang berduit yang mampu membeli parabola paling murah Rp 1,7 juta, tapi untuk bisa menangkap siaran Seoul, harus dipakai parabola yang seharga Rp 4 juta -- namun tak berpeluang untuk pergi ke Seoul. Diam-diam, kini pasaran parabola ikut meledak. Contohnya, antena parabola Polytron yang diproduksi oleh PT Hartono Istana Electronics (HIE). Perusahaan ini merupakan satu-satunya pembuat antena parabola secara lengkap. Maksudnya, mulai dari antena yang mirip mangkuk raksasa (dish), sampai pada receiver (alat penerimanya). Kedua instrumen itu sudah dirakit sendiri. Menurut sebuah sumber di HIE, sejak Agustus sudah sekitar 300 unit antena parabola yang terjual -- meliputi dua tipe: parabola 32 channel dan 16 channel. Sebelumnya, tiap bulan antena yang bisa menerima lebih dari 10 siaran luar negeri itu hanya laku terjual 10 sampai 20 unit. Maklum, harga per unitnya tidaklah murah. Di pasar alat-alat elektronik seperti Harco, Jakarta, parabola buatan Polytron dijual seharga Rp 4,25 juta sampai Rp 8 juta per unit. Itu untuk yang bisa menangkap 32 siaran. Sedangkan antena parabola yang hanya bisa menerima 16 channel harganya Rp 3,5 juta per unit. Di samping Olimpiade, promosi juga banyak menentukan. Dan promosi yang gencar ini -- antara lain lewat iklan di media massa -- diakui oleh HIE. Perusahaan ini dalam waktu delapan bulan mengeluarkan biaya iklan Rp 200 juta. "Habis, menjual parabola tidak seperti menjual televisi, tapi memerlukan proses yang panjang," ujar Wiwoho Hartono dari bagian pemasaran HIE. Maksudnya, untuk mencari konsumen dibutuhkan pendekatan yang berulang-ulang. Lantas, jaminan purnajual pun harus jelas. Itulah sebabnya, HIE tidak menggunakan distributor, tapi lebih suka membayar sekitar 40 tenaga pemasaran. Atau, kalau tidak, "Konsumen bisa melakukan pesanan melalui toko elektronik. Kemudian toko tersebut bisa memesan kepada kami, untuk me4dapatkan komisi," ujar Wiwoho lagi. Sekalipun begitu, HIE, yang menanamkan investasi Rp 1,5 milyar, tidak berharap akan beroleh laba secepatnya. "Tujuan utama kami merakit parabola hanya untuk lebih mamantapkan nama Polytron -- juga membuat televisi dan alat-alat elektronik lainnya -- di masyarakat," begitu Wiwoho menjelaskan lebih jauh. Naiknya permintaan menjelang Olimpiade Seoul dirasakan juga oleh PT Pelangi Jaya Utama (PJU), yang memasarkan merk Maspro dan Winner. "Lumayan, walaupun sedikit, ada peningkatan," kata Kusnadi pemilik PJU. Selama ini PJU hanya merakit dish, yang diimpor dari Jepang dan Taiwan. Seperti halnya HIE, PJU pun menganggap bahwa bisnis parabola masih tergolong sulit. "Jadi, yang kita titik beratkan bukan kuantitas penjualan, tapi kualitasnya, agar konsumen tidak kecewa," ujar Kusnadi. Memang, konsumen tentu akan membeli parabola yang paling canggih. Dia bisa memllih, apakah Winner buatan Taiwan, Maspro atau Drake buatan Jepang, atau Chaparral buatan AS, yang harganya antara Rp 1,7 dan Rp 11 juta per unit. BK
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini