Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Rusli ke minimalis ?

36 lukisan karya rusli dipamerkan di tim jakarta. ia hadir seperti dulu, dimana kertas & kanvas-kanvasnya masih berukuran relatif kecil, sekitar 50 x 60 cm. sederhana tapi terpancar keriangan.

17 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA Belanda kembali mengobrak-abrik Yogyakarta di tahun 1946-1948, Rusli melesak di selatan Wonosari. Di situ ia pun bertahan. Sebagai tentara berpangkat letnan yang merangkap pejabat Pendidikan Politik Tentara Kementerian Pertahanan, lelaki tinggi tegap ini menjadi orang penting di desa kecil itu. Lantas dia diangkat sebagai wakil lurah. Dari sini pula Rusli tergerak mendorong masyarakat agar mereka kukuh dalam kesederhanaan. Misalnya, apa yang bisa menempel di badan sah dipakai. Dalam pangan, yang kira-kira higienis boleh dimakan. Maka, bersama mereka, ketika itu ia juga makan ulat pohon, dibuat sop dan rempeyek. "Dari dulu hidup saya seperti selalu terdesak dan menderita, sehingga harus sederhana. Namun, sesungguhnya saya tak terdesak dan tidak pernah menderita, walau saya akan selalu sederhana," katanya pekan lalu. Rusli yang riang ini lahir di Medan 1916. Apa yang dikatakan itu sudah ia buktikan lebih dari 50 tahun, lewat lukisannya. Karya-karya Rusli memang hadir sederhana. Tapi di dalamnya terpancar keriangan dan gemerincing sukacita, lambang genangan rasa tenang jiwa nan tak terpercik penderitaan. Lukisan yang teduh itu, 36 buah, dipamerkan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 10 hari hingga 15 September ini. Ia masih hadir seperti dulu. Kertas dan kanvas-kanvasnya masih berukuran relatif kecil, sekitar 50 x 60 cm. Warna yang umumnya primer (merah, kuning, biru, terkadang hijau) digoreskan dalam jejak pendek. Dan jajaran itu tak lain adalah jelmaan dari bentuk yang diserap oleh Rusli dari alam sekitar. Lalu, yang tersaput semua di latar taferil putih bersih hadir sebagai manifestasi yang tampaknya mudah -- jauh dari semangat menohok penglihatan. Tapi sejenak: kesederhanaan visual itu muncul sebagai sebuah sublimasi, dan tak akan mudah dilakukan sembarang orang. Hasil sublimasi itu tidak lain adalah esensi yang ditangkap mata dan hati Rusli, menjadi puisi warna dan garis. Beberapa lukisan yang mewakili puisi itu misalnya Karang Bolong. Berbeda dengan sebagian karyanya yang lain, lukisan ini sedikit mengalirkan sapuan panjang kuas dan dijalankan dengan cermat. Karang Bolong diambil dalam angle isometrik, dengan komposisi warna realistik. Laut tetap dilukiskan biru. Dan karang serta batu dalam hitam dan cokelat. Kejauhan Rusli memandang obyek, menjelmakan hening. Begitu pula beberapa lukisan kapalnya (Kapal I, Kapal II, Kapal III). Di sini Rusli seperti mengingatkan banyak orang pada reputasinya ketika melukis pelabuhan Semarang, beberapa belas tahun lalu. Impresi kekukuhan kapal dan keteduhan luas laut menyirat lembut. Inilah proses meditasi. Reputasi semacam itu lalu diangkat sebagai tolok ukur atas karyanya yang lain, walau beberapa di antaranya terbentur pada masalah. Contohnya dalam Wanita, selain tak menggumamkan apa-apa, juga lahir dan tarikan garis yang terasa artifisial. Sosok manusia, apalagi wanita, selama ini nyaris tak tersentuh oleh bidang gambarnya. Bahkan pada Taman, kesederhanaannya keterlaluan. Simplisitas yang itu lahir bukan dari perenungan, tapi ketergesaan. Lain dengan karyanya 20 tahun lampau. Dulu, Rusli merasa sah memvariasikan besar kecil goresan, dengan tarikan kuas berbagai ukuran, sehingga iramanya lebih terasa. Begitu pula dalam warna, karya-karyanya dulu lebih kaya, seperti di Klenteng, yang dibikin pada 1966. Mungkin Rusli sudah menyadari bahwa semakin tua tangannya, semakin esensial lukisannya. Entah pada suatu masa, lukisannya tinggal sebuah titik belaka, selain cap jempolnya ditaruh di sisi tanda tangannya. Semacam minimalisme. Tetapi memburu esensi bentuk dengan teknik akuarel dilakukan sejak dia belajar di Kala Bhawana Art Department Shantiniketan, University of Rabindranath Tagore, India. Rusli telah berpameran di berbagai negara. Di antaranya yang terpenting di Stedelijk Museum Amsterdam pada 1955. Lukisannya tampil bersama karya Van Gogh dan beberapa master dunia. Rusli dan Zaritski dari Israel, dua pelukis Asia yang diundang dalam pergelaran itu. Pada 1970 ia diangkat menjadi anggota Akademi Jakarta. Tahun 1986 Rusli mendapat "Hadiah Adam Malik" untuk bidang seni lukis. Ia ulet. Presiden Soeharto pernah menawarkan hadiah rumah padanya. Tapi bekas guru di Taman Siswa ini masih memilih rumah kontrakan di Nagan Tengah, Yogyakarta. Lukisannya berharga 2 sampai 6 juta rupiah sebuah. Tak mahal untuk seorang Rusli, walau bukan gampang laku. "Lukisan saya memang avant-garde, dan perlu apresiasi lanjut bagi orang yang mau memahaminya," katanya. Rata-rata setahun ia menghasilkan 25 lukisan. Dua bulan sekali Rusli ke Jakarta, menghadiri rapat di Akademi Jakarta. Istri dan seorang anaknya juga di Jakarta. Mereka agaknya tak terpiuh oleh kebesaran nama Rusli. Anaknya, Ana, 18 tahun, setiap hari hanya memerlukan Rp 200 untuk bis dan Rp 100 uang jajan di sekolah. Kedua pendampingnya itu, katanya, tak menuntut apa-apa dari dia. "Saya bahagia," ujar Rusli. Agus Dermawan T.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus