Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bila padi membentur tebu

Tahun 1988 produksi gula menurun, karena kemarau panjang. juga ada benturan irigasi antara tebu dan padi. di satu pihak dipacu untuk swasembada beras, di lain pihak ingin mencapai target produksi tebu.

17 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA tebu ada gula, tapi produksi tahun ini merosot juga. "Ini akibat kemarau panjang, sebab tanaman tebu pun tak boleh kekurangan air," ujar Goeswono Soepardi, Direktur Pusat Penelitian Perkebunan Gula (P3G). Kemarau panjang itu sudah tahun lalu. Tapi pengaruhnya terhadap produksi gula terasa lebih lama ketimbang padi. Sasaran produksi gula tahun ini diperkirakan 2,46 juta ton. Namun, dikhawatirkan, yang tercapai cuma sekitar 2 juta ton. Menteri Pertanian Wardoyo sudah memberi isyarat, mungkin kebutuhan dalam negeri bisa dipenuhi dengan gula impor. Kalau begini, tentu Buloglah yang akan berperan. Ini sesuai dengan Keppres tahun 1971, yang antara lain menunjuk lembaga itu untuk koordinasi pengadaan, penyaluran, dan pemasaran gula pasir. Ternyata, Bulog belum memandang perlu untuk mengimpor gula secepatnya. "Kalaupun akan impor gula, ya. . . akhir tahun nanti, bulan Desember," ujar Bustanil Arifin, Kepala Bulog, yang juga menjabat sebagai Menteri Koperasi itu. Ia yakin bahwa kebutuhan dalam negeri sekitar 2,4 juta ton tahun masih dapat dipenuhi Bulog. Jika kemarau panjang bisa dianggap gangguan alam -- yang berada di luar jangkauan manajemen -- menurut Goeswono, kegagalan tahun ini juga terkait dengan tak berhasilnya usaha intensifikasi. Ada benturan irigasi, antara tebu dan padi. "Di satu pihak kita dipacu untuk swasembada beras, di lain pihak kita disuruh mencapai target produktivitas tebu," tutur Goeswono. Bayangkan, di antara 370 ribu ha lahan penanaman tebu, 150 ribu ha merupakan lahan sawah. Di situlah, muncul kepentingan yang berbeda: menanam tebu atau padi. Padahal, penanaman tebu maupun padi sama-sama butuh air. Akibatnya, menurut Goeswono, petani di lapangan tak jarang memperebutkan air itu. Sedangkan idealnya, memang, perlu zone-zone khusus untuk tanaman tebu, bukan bersifat musiman seperti sekarang -- habis tebu lalu ditanam padi. Sebab, biaya pengelolaan tehu untuk satu musim, sama saja dengan dua kali musim. Artinya, "Kalau dikelola untuk satu musim saja, 'kan sayang arealnya karena banyak mubazir ketimbang untungnya," begitu Goeswono menyesalkan. Penghasilan petani dari tebu lumayan, terutama jika produksi per ha sekitar 1.800 kuintal tebu, dengan tingkat rendemen 7,5%. Hasil itu akan jadi gula hablur seberat sekitar 135 kuintal, dan petani memperoleh 60%-nya dalam bentuk uang, yang per kg-nya dihargai Rp 514,25. Sehingga, penerlmaan berslh petani, setelah dikurangi ongkos hidup sekitar Rp 500 ribu, dalam satu musim tanam tebu selama kira-kira 14 bulan, akan berkisar sekitar Rp 3,6 iuta. Itu belum termasuk penerimaan dari hasil tetes maupun ampas tebunya, yang biasanya dijual ke pabrik-pabrik kertas. "Sebenarnya, kalau pabrik untung, petani untung juga, asalkan pengelolaannya baik," tutur Goeswono. Hanya saja, sebagian besar lahan petani tebu, sekitar 170 ribu ha, merupakan lahan tegalan yang rendemen hasil tebunya rata-rata cuma 6,5%. Adanya usaha Tebu Rakyat Intensifikasi Khusus (Trisus), yang diperkirakan bisa menghasilkan 11 ton gula per ha, ternyata cuma mencapai 8,7 ton. Apalagi Trisus untuk areal tebu tegalan lebih sulit. Karena penurunan produktivitas tahun ini, menurut Goeswono, Indonesia mesti menambal kebutuhan dalam negeri dengan impor gula pasir setidaknya 250 ribu ton. Kalau itu sampai terjadi, maka Indonesia akan bersaing dengan India dan RRC -- dua negara produsen gula -- yang juga dirugikan oleh kemarau panjang. Dan pasar gula internasional agaknya akan menjadi seller's market, karena pada waktu bersamaan Brasil dan Kuba juga anjlok produksi gulanya. Suhardjo Hs., Sidartha Pratidina, M. Baharun (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus