Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sutradara: Keishi Otomo
Skenario: Kiyomi Fujii dan Keishi Otomo
Berdasarkan: Serial manga berjudul sama karya Nobuhiro Watsuki
Pemain: Takeru Satoh, Emi Takei
Produksi: Warner Bros
Dia adalah seorang pengelana. Bertubuh ramping, berwajah lancip tampan dengan pipi bercodet huruf X di pipinya, sang pengelana selalu bertutur halus dengan suara lirih. Namun ketika pedang panjangnya menebas berpuluh orang lawan, para saksi percaya dia mempunyai kekuatan supernatural tak terkalahkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Di dunianya yang baru, Sang Pengelana itu dikenal dengan nama baru Himura Kenshin. Perlahan-lahan sutradara memberi tahu masa lalu Sang Pengelana sebagai pembunuh berdarah dingin bernama Hitokiri Battosai (diperankan oleh aktor Takeru Satoh dengan bagus sekali). Film yang dibuat berdasarkan komik serial manga populer ini memulai film di Jepang tahun 1868 ketika perang saudara sudah hampir berakhir. Ini adalah sebuah masa transisi di mana banyak samurai merasa kekuasaannya mulai karatan karena Jepang memutuskan memasuki era modernisme, yang disebut-sebut Kenshin sebagai ‘the new age’.
Pada babak pertama film "Rurouni Kenshin: Origins", kita diperkenalkan bagaimana Kenshin baru saja selesai berpartisipasi dalam perang Toba-Fushimi yang menjadi pertanda usainya Shogun Takugawa. Kenshin melempar pedang panjangnya karena bersumpah tak akan lagi menjadi Hitokiri Battosai si pembunuh, meski sesekali dia masih menghantam para begal yang merampok penduduk.
Syahdan untuk beberapa saat, Kenshin hidup tenang di sebuah kampung kecil di Kyoto dengan penduduk setempat; menikmati pawai, belanja makanan pinggir jalan sesuai dengan cita-citanya: Jepang modern di masa New Age. Namun di masa transisi itu, ada banyak bandit berkeliaran. Bandit yang mengenakan jas dan berjualan opium dan menggetok batok kepala orang dengan santai; bandit berbaju samurai dan juga anak buah bandit yang berkostum ganjil dengan aneka rupa topeng.
Bandit itu banyak didukung para samurai yang anti-modernisme karena mereka merasa perannya terkikis zaman. Para bandit meninggalkan mayat lawan di sana-sini seni sehingga nama Battasai yang sudah terlanjur menjadi mitos sebagai si Pembunuh Berdarah Dingin, selalu saja dikaitkan dengan mayat-mayat itu. Ketika mayat seorang polisi yang tengah menyamar ditemukan tewas, para detektif menyimpulkan itu ulah Battasai. Bos polisi Saito Hajime (Yôsuka Eguchi) membantah dugaan anak buahnya: “Battosai selalu meninggalkan pesan tertulis pada korban.”
Sementara Kenshin alias Battosai yang nama dan posternya disebar di mana-mana sempat terkejut melihat lukisan wajahnya terpampang di koran dinding. Dia merasa, perlahan-lahan masa lalunya merayap dan akan meringkusnya. Kenshin juga tahu di masa pertobatannya, dia harus ikhlas kelak dia tewas di tangan mereka yang masih dendam padanya.
Apa yang disebut ‘origins’ dalam judul film pertama Kenshin ini sebetulnya bukanlah awal dari segalanya. Di dunia layar lebar, kisah Kenshin dimulai dari “tengah” cerita, ketika Kenshin sudah ingin bertobat dan membawa segenap sejarah yang berdarah di pundaknya. Kenshin atau Battosai yang biasanya murung dan mendung hanya tampak bahagia setiap kali dia berada di antara tetangga di desa merayakan pelbagai festival bersama gadis manis Kamiya Kaoru pemilik studio Kendo.
Maka film berikutnya “Rurouni Kenshin: The Final” adalah episode di mana Kenshin benar-benar menemukan musuh yang setara dengannya. Jika pada “Origins” dan “The Beginning”, Kenshin yang tubuhnya langsing seolah bisa ‘terbang’ berjingkat dari dinding ke dinding, dari atap ke atas menerabas semua kepala pejahat, maka pada episode “The Final”, Kenshin akan berhadapan dengan Enishi Yukishiro yang tak bisa kita sebut si Jahat karena dia sekedar membalas dendam akibat apa yang terjadi pada keluarganya.Rurouni Kenshin. Netflix
Ada dua tema penting dalam film-film “Rurouni Kenshin”: pertaubatan dan anti-dendam. Kenshin tahu meski dia mencoba menjalani kehidupan ‘rakyat biasa’ dan berjanji tak akan menggunakan pedangnya lagi sebagai warga sipil, tetapi masa lalunya berkejaran terus-menerus dengan impiannya untuk hidup damai.
Kenshin sadar betul saat dia bernama Battasai dan membunuh orang-orang yang dianggap sebagai bagian dari angka saja. Belakangan, dia ‘angka’ itu adalah orang-orang yang menjadi bagian dari sebuah keluarga.
Ini mungkin tema yang cukup ‘biasa’ di dunia martial-art, baik dalam bentuk manga, animasi maupun adaptasi film. Namun yang membuat film ini istimewa karena kita tak sekadar melihat Kenshin sebagai seorang sosok jagoan yang dahsyat yang bisa menghabiskan puluhan bahkan ratusan musuh; tetapi juga kita menyaksikan Kenshin sebagai manusia: seseorang yang bertaubat; lelaki yang jatuh cinta dan karena cinta pula dia akhirnya menemukan takdirnya.
Di dalam serial manga dan juga animasi, begitu banyak tokoh yang muncul sementara pada film layar lebar, penulis skenario Kiyomi Fujii dan Keishi Otomo mencukur begitu banyak karakter. Tak mudah untuk menyeleksi karena tokoh-tokoh itu semuanya memiliki keunikannya masing-masing, tetapi paling tidak di dalam trilogi yang ditayangkan Netflix, jagat Kenshin adalah jagat yang meyakinkan penonton. Baik Kenshin dan musuh-musuhnya , termasuk segala peristiwa sejarah dan politik sebagai latar belakangnya terasa organik.
Keistimewaan lain tentu saja kerja kamera yang menggarap segala dinamika gerakan tubuh Kenshin yang luwes dan gerak pedangnya yang seolah memiliki ruhnya sendiri. Saya rasa adegan duel panjang antara Kenshin melawan Enishi Yukishiro adalah salah satu adegan pertarungan pedang yang terdahsyat dari semua film martial-arts.
Film-film Kenshin sudah menaikkan standar martial-art, bukan hanya karena koreografi perkelahian yang luar biasa, tetapi juga karena karakterisasi Kenshin dan tokoh-tokoh di sekitarnya yang tetap terasa dekat dan hidup.