Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Masyarakat kita lebih akrab dengan penggunaan kata-kata yang tidak pada tempatnya.
Masyarakat kita dinilai lebih terbiasa mengimitasi daripada memahami.
Masyarakat kita lebih suka kalimat yang familier (meskipun tidak tepat) daripada kalimat yang terkesan aneh (padahal tepat).
KETIKA mendengarkan pidato dalam beberapa pembukaan seminar akhir tahun lalu, saya berkali-kali menemukan praktik kesalahan berbahasa dalam penggunaan kata “pewaris”. Lebih dari dua kali saya mendengar kalimat generasi muda sebagai pewaris bangsa. Fenomena ini kembali mengingatkan saya pada cuitan Presiden Joko Widodo di akun Twitter pada 23 Juli 2015 dan cuitan di akun resmi Sekretariat Kabinet RI pada 1 November 2016. Pada Juli 2015, Presiden berkata bahwa anak-anak adalah pewaris pertiwi, sedangkan pada November 2016 Presiden mengatakan para ulama sebagai pewaris nabi. Memangnya apa yang salah dengan kalimat-kalimat yang mengandung kata “pewaris” tersebut?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika ditilik berdasarkan teks dan konteks setiap kalimat, maksud kata “pewaris” di tiap kalimat adalah orang atau kelompok yang mewarisi. Rinciannya adalah generasi muda sebagai kelompok yang mewarisi bangsa, anak-anak sebagai kelompok yang mewarisi pertiwi, dan para ulama sebagai kelompok yang mewarisi nabi. Sayangnya, jika dimaknai seperti itu, kata “pewaris” akan memiliki makna yang sama dengan kata “ahli waris”. Padahal, dalam istilah hukum, “pewaris” dan “ahli waris” memiliki arti yang berlawanan. Atas dasar inilah saya menyebut kalimat-kalimat yang telah disebutkan di paragraf pertama merupakan wujud salah kaprah dalam praktik berbahasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Makna kata “pewaris” yang tepat, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah orang yang mewariskan, sementara orang yang mewarisi atau orang yang berhak menerima warisan disebut “ahli waris”. Karena itu, kalimat yang tepat adalah generasi muda sebagai ahli waris bangsa, karena generasi muda yang menerima warisan bangsa dari generasi tua—bukan sebaliknya. Sementara itu, kalimat yang tepat dari anak-anak adalah pewaris pertiwi adalah anak-anak adalah ahli waris pertiwi, karena anak-anak tidak mewariskan tapi mendapatkan warisan dari pendahulunya. Begitu juga kalimat para ulama sebagai pewaris nabi yang seharusnya ulama sebagai ahli waris nabi, karena bukan ulama yang memberikan warisan kepada nabi, tapi ulama yang mendapatkan warisan.
Senada dengan kata “pewaris”, kata lain yang juga sering dipraktikkan dengan salah kaprah adalah “membawahi”. Satu di antara bentuk kalimat yang sering saya dengar adalah jabatan ketua diberi tugas untuk membawahi wakil, sekretaris, bendahara, dan anggota-anggota di bawahnya. Jika mengamati teks dan konteks dalam kalimat tersebut, maksud dari kata “membawahi” adalah memegang pimpinan atau kuasa atas orang/pihak yang berposisi di bawahnya. Sayangnya, maksud tersebut tidak sejalan dengan makna kata “membawahi” itu sendiri. Di dalam Kamus Umum karya Poerwadarminta, “membawahi” memiliki arti ada di bawahnya, tunduk, atau diperintah. Sementara itu, di Kamus Besar Bahasa Indonesia, “membawahi” memiliki makna menempatkan diri di bawah perintah seseorang. Karena itu, kalimat tersebut malah bermakna ketua menempati posisi di bawah wakil, sekretaris, bendahara, dan anggota-anggota lain—padahal faktanya adalah sebaliknya.
Jika kata “membawahi” disebut tidak tepat, kata apa yang dianggap tepat? Kata yang seharusnya digunakan untuk mengganti kata “membawahi” adalah “membawahkan”. Jadi kalimat yang tepat adalah jabatan ketua diberi tugas untuk membawahkan jabatan wakil, sekretaris, bendahara, dan anggota-anggota di bawahnya. Hal ini sesuai dengan makna kata “membawahkan” itu sendiri yang berarti menempatkan sesuatu di bawah, memegang pimpinan, memerintah, atau mengepalai (menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Umum karya Poerwadarminta). Lantas, mengapa masyarakat kita lebih akrab dengan penggunaan kata-kata yang tidak pada tempatnya?
Agaknya salah satu alasan yang dapat saya kemukakan adalah masyarakat kita lebih terbiasa mengimitasi daripada memahami—alih-alih terbiasa dengan aplikasi KBBI. Kalimat (tak tepat) generasi muda sebagai pewaris bangsa terasa lebih populer dan familier bagi masyarakat kita daripada kalimat (tepat) generasi muda sebagai ahli waris bangsa. Menurut hemat saya, masyarakat kita lebih suka kalimat yang familier (meskipun tidak tepat) daripada kalimat yang terkesan aneh (padahal tepat). Akhir kata, hanya ada dua pilihan yang tersisa: bersukaria dengan salah kaprah atau mulai berani mencoba dengan keanehan yang benar?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo