Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kisruh Bantuan Covid-19

Video Bupati Bolaang Mongondow Timur Sehan Salim Landjar sedang meradang terkait dengan penyaluran bantuan akibat pandemi Covid-19, yang viral pekan lalu, bisa menjadi potret centang-perenangnya kebijakan pemerintah tentang penanganan bencana ini.

2 Mei 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kisruh Bantuan Covid-19/Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI TENGAH wabah Covid-19 seperti sekarang, bantuan sosial dari pemerintah bisa menjadi penyambung napas jutaan orang yang terkena dampak. Sayangnya, pengelolaan data yang buruk selama bertahun-tahun membuat program jaring pengaman sosial yang diluncurkan Presiden Joko Widodo compang-camping di lapangan.

Centang-perenangnya kebijakan pemerintah tentang bantuan sosial bagi korban bencana kesehatan ini mungkin paling tecermin dari gugatan Bupati Bolaang Mongondow Timur Sehan Salim Landjar. Video Sehan yang meradang karena tumpang-tindihnya penyaluran bantuan akibat pandemi Covid-19 itu viral di media sosial pekan lalu. Dalam video itu, Sehan mengumpat kanan-kiri karena ada keputusan menteri yang mempersulit upayanya menyalurkan bantuan untuk warganya yang paling membutuhkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tidak hanya di Bolaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara, cerita suram tentang kekacauan penyaluran bantuan juga terjadi di banyak tempat di Indonesia. Di Pekanbaru, Riau, kepala rukun warga ramai-ramai menolak bantuan karena data warga yang mereka usulkan dipangkas tanpa alasan jelas. Sebaliknya, di Bogor, Jawa Barat, puluhan warga perumahan berada malah menerima bantuan tunai. Beragam insiden itu bermuara pada kacaunya sistem pendataan warga yang jatuh miskin akibat wabah corona.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Besar bantuan yang dialokasikan pemerintah untuk masyarakat miskin dan mereka yang terimbas Covid-19 sebenarnya cukup memadai. Pemerintah pusat menyediakan empat jenis bantuan sosial reguler, termasuk Program Keluarga Harapan, dengan total bantuan Rp 37,4 triliun untuk 10 juta keluarga, serta pembagian bahan kebutuhan pokok senilai Rp 43,6 triliun untuk 20 juta keluarga.

Selain itu, pemerintah mengalihkan 35 persen dari total dana desa tahun ini, sebesar Rp 72 triliun, menjadi bantuan langsung tunai. Ada pula bantuan sosial khusus untuk daerah tertentu yang paling parah dihantam wabah Covid-19. Bantuan sosial itu diberikan dalam bentuk dana tunai dan paket sembako atau sembilan bahan kebutuhan pokok.

Sungguh disayangkan jika dana sebesar itu salah sasaran, bahkan tak sampai kepada mereka yang amat membutuhkannya. Dalam waktu yang pendek ini, Presiden Jokowi harus memerintahkan jajarannya memperbaiki hal paling fundamental dalam penyaluran bantuan sosial: sistem pendataan penduduk yang akurat.

Urgensi untuk perbaikan sudah lama disuarakan. Pada 2019, Badan Pemeriksa Keuangan meminta pemerintah memperbaiki Program Keluarga Harapan setelah menemukan dana Rp 168,2 miliar yang tidak tersalurkan pada tahun sebelumnya. BPK juga menemukan ada penyaluran bantuan sosial kepada 7.247 keluarga yang tidak tepat sasaran.

Pada tahun yang sama, Ombudsman Republik Indonesia melansir temuan serupa. Lembaga ini menemukan maladministrasi dalam penyelenggaraan Program Keluarga Harapan karena Kementerian Sosial dan Himpunan Bank Negara, lembaga yang ditunjuk menyalurkan bantuan, lambat merespons pengaduan yang muncul di daerah.

Semua rekomendasi perbaikan itu terlambat diantisipasi. Kelalaian menahun itu menunjukkan ada persoalan serius dalam tata kelola pemerintahan. Kini, di puncak pandemi, rakyat harus membayar harga mahal untuk kegagalan pemerintah merespons masukan dari berbagai lembaga pengawas itu.

Sekarang tak ada lagi pilihan. Pemerintah mesti bergerak cepat merapikan data kependudukan untuk memastikan penyaluran bantuan sosial benar-benar efektif dan tepat sasaran. Kementerian dan lembaga terkait, baik di pemerintah pusat maupun daerah, harus aktif memverifikasi data penerima bantuan sosial. Warga yang terlewatkan perlu didata agar mereka juga mendapat bantuan. Alasan kegentingan bencana tidak boleh menjadi dalil untuk membiarkan praktik serampangan di masa lalu.

Di samping urusan data, jenis dan cara penyaluran bantuan mesti ditinjau ulang. Sudah saatnya pemerintah meninggalkan cara-cara primitif memberikan bantuan dalam bentuk barang atau sembako. Banyak riset sudah membuktikan efektivitas bantuan tunai langsung untuk mereka yang dililit krisis. Penerima bisa menentukan sendiri apa yang dibutuhkan untuk bertahan. Dengan itu, para pedagang kecil di pasar lokal di berbagai daerah juga bisa kebagian rezeki.

Pengalaman menunjukkan pemberian barang atau sembako juga bisa mengundang korupsi dan konflik kepentingan. Pembelian sembako secara masif oleh pemerintah bisa jadi menguntungkan segelintir pengusaha yang dekat dengan penguasa.

Terakhir, pemerintah harus memastikan tak ada politisasi dalam pemberian bantuan. Negeri ini sedang dalam bencana. Tak elok jika segala rupa pencitraan masih mewarnai pembagian bantuan sosial.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus