Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan & Album

Merugi Bisnis Ayam Negeri

Arsip majalah Tempo edisi 21 Maret 1981

2 Mei 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Merugi Bisnis Ayam Negeri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Permintaan ayam pedaging atau ayam negeri merosot karena hotel dan restoran tutup.

  • Sejumlah peternak terancam gulung tikar karena harga ayam anjlok.

  • Pada 1981, peternak ayam pedaging juga pernah mengalami kerugian akibat turunnya harga ayam.

MEDIO April ini harga ayam negeri atau ayam pedaging terpuruk ke level terendah. Di tingkat peternak, harga ayam hidup hanya Rp 5.000 per kilogram, jauh dari harga normal Rp 18 ribu. Harga ayam merosot sejak Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 mewabah, yang menyebabkan banyak hotel dan restoran tutup. Nasib para peternak makin pahit karena turunnya harga ayam tidak diikuti oleh harga pakan. Akibatnya, para peternak terpaksa mengosongkan kandang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Majalah Tempo edisi 21 Maret 1981 pernah menulis berita berjudul “Tak Ada Kandang Baru” yang mengulas nasib para peternak yang terpaksa gulung tikar di sejumlah daerah. Kala itu, peternak merugi bukan karena wabah, tapi gara-gara tidak mampu bersaing dengan para pemodal besar yang mempermainkan harga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seruan pemerintah supaya masyarakat menggalakkan ternak ayam potong atau ayam pedaging mendapat sambutan gegap-gempita para pengusaha, awal 1981. Para pengusaha besar berlomba membuka kandang skala besar. Impor bibit ayam negeri dari Muangthai dan Singapura juga melonjak.

Awalnya baik-baik saja bahkan tampak menggembirakan. Beberapa bulan kemudian, para pengusaha besar kelimpungan karena kelebihan produksi. Peternak ayam potong menyebutkan sejumlah peternak ayam modal besar melakukan impor bibit ayam besar-besaran pada tiga bulan lalu. Akibatnya, mereka kelebihan produksi hingga lima juta ayam. “Karena sifat produksi peternakan ini ‘mudah rusak’, bila terjadi surplus produksi, maka mereka banting harga,” katanya.

Sejumlah peternakan modal besar yang diduga melakukan persaingan harga itu antara lain PT CISF dan Cipendawa. Mereka menjual ayam dengan harga Rp 775 per kilogram, sementara harga rata-rata semestinya Rp 1.300.

Dampaknya, harga ayam terpuruk. Kondisi itu menyebabkan nasib para peternak kecil laksana pelanduk di tengah perkelahian gajah, tergilas akibat persaingan para pemodal besar. Seperti yang dialami Nyonya Kuswiyati, 35 tahun, dari Menteng Pulo, Jakarta. Peternak yang baru sebulan belajar beternak itu kontan menghentikan usahanya. Selain menanggung rugi karena merosotnya harga, mereka masih harus membayar kredit Bimas peternakan.

Kondisi yang sama dialami para peternak kecil lain. Mereka menuduh perusahaan modal besar sengaja memukul mereka. “Kalau hal ini dibiarkan, usaha kami, peternak kecil, akan gulung tikar. Selanjutnya perusahaan peternakan besar yang akan hidup dan bebas menentukan harga yang tinggi untuk konsumen,” ujar juru bicara delegasi 14 peternak kecil, Untung Salamun.

PT CISF tidak membantah jika disebut telah melakukan banting harga. Alasannya, “Ayam negeri kalau tak terjual, setiap hari menambah ongkos produksi. Sebaliknya, kalau bobot tubuh ayam itu menjadi berat dan usianya jadi tua, harganya menjadi merosot,” seorang anggota staf CISF menguraikan.

Sedangkan Cipendawa membantah. “Cipendawa cuma perusahaan yang membuat bibit dan menjual anak ayam. Di antara yang rugi karena harga turun sekarang ini juga termasuk peternak langganan kami,” kata M. Fardan Noor, salah seorang anggota staf Cipendawa.

Mansur Idham, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Perunggasan Indonesia, mengatakan penyelamatan peternak kecil dan penyehatan harga bisa ditempuh dengan menyetop keran impor bibit ayam. Ia juga meminta pemerintah melarang pengusaha bermodal kuat bergerak di bidang ternak ayam. “Sampai harga mantap kembali,” ujarnya.

Akhirnya pemerintah memang memutuskan untuk menutup izin baru penanaman modal di bidang peternakan ayam. Keputusan itu diumumkan oleh Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Suhartoyo kepada pers pada 12 Maret 1981. Langkah itu diambil setelah para peternak kecil melakukan protes dan mengirimkan delegasi mereka ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada akhir Februari.

Toh, para peternak modal kecil masih belum puas terhadap keputusan BKPM itu. Mereka mengharapkan ada keputusan yang lebih tegas sesuai dengan instruksi Presiden Soeharto kepada Gubernur DKI Jakarta Tjokropranolo pada 5 Maret. Ketika itu, Soeharto mengatakan bahwa peternakan ayam harus berada di tangan rakyat dan tidak boleh di tangan perusahaan-perusahaan besar.

 


Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi  24 Oktober 1992. Dapatkan arsip digitalnya di:

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus