Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

SARS dan Hidup Sehat

25 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tjandra Yoga Aditama Direktur Pelayanan Medik dan Keperawatan RS Persahabatan, Jakarta

PADA 20 dan 21 April 2003, saya berkesempatan mengikuti simposium internasional severe acute respiratory syndrome (SARS) yang baru pertama kali diadakan di dunia. Peserta simposium yang diselenggarakan di Taipei ini datang dari 12 negara.

Yang menarik, hadir beberapa "saksi sejarah" SARS, antara lain dokter Vietnam yang bersama-sama Dokter Carlo Urbani menangani kasus SARS pertama yang menghebohkan di dunia. Carlo Urbani kemudian meninggal karena SARS, sementara dokter Vietnam itu sehat-sehat saja.

Hadir juga dokter Hong Kong yang pertama kali mengautopsi pasien SARS di dunia, dokter yang pertama kali menemukan virus korona di Hong Kong, serta seorang dokter lagi yang ikut menangani kasus SARS pertama di Hong Kong—yaitu seorang profesor yang baru mengobati pasien di Guangdong yang lalu sakit SARS dan kemudian meninggal dunia. Pengalaman mereka dan juga pembicara lain—termasuk dari Indonesia tentunya—memberikan masukan penting untuk mengenal SARS lebih mendalam, meskipun harus diakui bahwa sekarang ini masih banyak sisi SARS yang belum kita ketahui secara pasti.

Tentang penyebab SARS, semua sepakat bahwa biang keladinya adalah virus korona strain baru, mungkin "dibantu" pula oleh virus lain seperti paramyxoviridae atau virus metapneumo. Yang belum jelas adalah bagaimana virus korona bermutasi, kenapa bermutasi, apakah betul berasal dari binatang ataukah binatang menjadi vektor perantara saja, dan lain-lain.

Berita baiknya, dengan ditemukannya virus, upaya penemuan obat dan vaksin akan jauh lebih cepat jalannya. Begitu juga upaya membuat alat diagnosis yang mudah dan cepat. Sekarang ini beberapa negara—katakanlah Jerman, Hong Kong, Singapura, dan juga Vietnam—sudah dalam tahap-tahap yang jelas untuk pembuatan alat diagnostik, bahkan sudah mulai ada yang memasarkannya. Untuk pemakaian secara luas, kita masih harus menunggu akurasi, sensitivitas, dan spesifisitas alat tersebut. Sejauh ini, para ahli masih menggunakan pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi virus ini. Dapat juga bersama pemeriksaan immuno-fluorescent assay (IFA) dan enzyme-link immunosorbent assay (ELISA).

Tentang penularan, disepakati bahwa penularan utama adalah pada kontak erat melalui droplet infection. Kontak erat terjadi pada mereka yang mengobati/merawat pasien, mereka yang tinggal serumah, dan mereka yang terkena percikan dahak/cairan tubuh pasien, sementara droplet infection adalah percikan dahak yang mengandung virus yang dibatukkan.

Cara penularan lain tidak punya dasar ilmiah yang kuat, kecuali mungkin ditemukannya potongan RNA virus pada feses penderita di apartemen Amoy Garden, Hong Kong, yang diduga mungkin punya peranan dalam penyebaran penyakit di lingkungannya. Memang ada juga pendapat yang mengatakan bahwa mungkin saja pasien membatukkan dahaknya ke meja, misalnya, kemudian ada orang yang memegang meja itu, orang tersebut menggosok hidungnya, lalu dia tertular. Kendati pendapat ini tidak begitu punya dasar ilmiah yang kuat, untuk menghindarinya, ada baiknya kita mencuci tangan secara teratur. Ada atau tidak ada SARS, memang akan selalu baik mencuci tangan secara teratur.

Karena penularannya melalui kontak erat, cara pencegahan utama adalah menjaga diri bila melakukan kontak dengan pasien SARS. Jadi, yang wajib memakai masker N 95 yang dianjurkan itu adalah pasiennya sendiri—atau yang dicurigai dan kelompok kontak: petugas kesehatan dan keluarga yang merawatnya. Masyarakat luas mungkin tidak perlu bermasker. Contohnya, di Taipei, yang merupakan daerah yang oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) secara jelas-jelas dinyatakan sebagai affected area, saya tidak menjumpai seorang pun yang memakai masker di jalan, di mal, atau di pasar. Ketika saya bertanya kepada penduduk setempat kenapa tidak memakai masker, mereka memberikan dua alasan. Pertama, penularan SARS terjadi dari orang yang sakit, dan orang yang sakit sudah masuk rumah sakit atau setidaknya dikarantinakan di rumah. Kedua, mereka yakin sekali bahwa pemerintahnya dapat mengontrol penularan SARS dengan baik di masyarakat. Mungkin pemahaman dan keyakinan seperti ini juga perlu kita miliki.

Di pihak lain, sudah lama di banyak negara terbentuk kebiasaan bahwa kalau seseorang kebetulan sedang menderita flu, ia akan memakai masker jika ke luar rumah, supaya tidak menulari orang lain. Diharapkan kebiasaan hidup sehat seperti ini dapat juga diterapkan di negara kita, ada atau tidak ada SARS. Artinya, mulai sekarang, kalau Anda sedang menderita flu, pakailah selalu masker jika ke tempat keramaian, supaya flu Anda tidak menulari orang lain.

Dalam simposium ini juga disepakai bahwa isolasi dan karantina saat ini masih merupakan modalitas utama dalam mencegah SARS merebak di satu negara. Hal ini mutlak diperlukan sepanjang obat yang "cespleng" dan vaksin pencegah SARS belum ditemukan. Yang harus diisolasi adalah pasien yang sakit. Mereka diisolasi dalam ruangan khusus dan petugas yang menanganinya juga dilengkapi dengan pakaian proteksi khusus. Penanganan ini adalah demi kesembuhan pasien serta untuk mencegah penularan. Negara seperti Taiwan bahkan konon menyediakan 700 kamar dengan tekanan negatif untuk isolasi pasien ini.

Sementara itu, mereka yang melakukan kontak dengan pasien seyogianya menjalani perlakuan khusus pula: diminta waspada, diminta membatasi aktivitas, dan mungkin pula dikarantinakan di rumah selama beberapa hari seperti dilakukan di beberapa negara. Mereka yang tergolong dicurigai terkena SARS, artinya ronsen paru masih normal, di beberapa negara juga diminta untuk tetap tinggal di rumah sampai keadaannya dinyatakan sudah baik.

Taiwan memberlakukan karantina di rumah bagi semua orang yang melakukan kontak dengan pasien SARS. Singapura bahkan menyediakan kamera TV di rumah mereka yang dikarantinakan untuk menjamin mereka tetap di dalam rumah. Perdana Menteri Singapura akan mendorong upaya hukum untuk menindak orang yang melanggar aturan karantina. Mereka juga menyediakan polisi khusus untuk mengawasi orang yang dikarantinakan serta akan memasang semacam alat pada tubuhnya sehingga ke mana pun dia pergi akan dapat dipantau terus. Dan tentu saja ada denda berat bagi yang melanggar aturan karantina ini. Itulah Singapura.

Satu isu lain yang banyak dibicarakan dalam simposium ini adalah bagaimana penularan terjadi antarnegara. Di antara masyarakat kita ada yang bertanya kenapa di Indonesia saat ini belum banyak kasus SARS. Tentu saja jawabannya yang pasti belum kita ketahui saat ini.

Namun, kalau dianalogikan, di Singapura banyak sekali kasus SARS tapi ternyata sampai saat ini tidak ada satu kasus pun di Johor Baru, yang hanya dipisahkan dengan satu jembatan dengan Singapura, bahkan banyak sekali bus kota umum yang bolak-balik Singapura-Johor Baru.

Analogi lain, Hong Kong merupakan salah satu daerah terjangkit tinggi di dunia, tapi Makao, yang nempel dengan Hong Kong, ternyata juga tidak melaporkan satu kasus SARS pun sampai saat ini.

Dalam skala perorangan, ada seseorang yang sakit SARS di Hong Kong yang menularkannya ke banyak orang tapi istrinya, yang tidur sekamar dengan dia, ternyata tidak tertular sama sekali. Dokter Vietnam yang bersama Dokter Carlo Urbani memeriksa pasien SARS juga ternyata sampai saat ini tidak sakit, padahal Urbani meninggal dunia.

Kenapa hal-hal tersebut terjadi, sampai saat ini kita belum tahu jawaban pastinya. Yang pasti, hingga kini baru ada beberapa kasus di Indonesia dan kita tentu amat berharap agar SARS jangan menambah ruwet persoalan kesehatan di negara kita.

Dalam hal pengobatan, ternyata ada kesamaan dan ada juga variasi pengalaman dari berbagai negara. Secara umum, semua negara memakai terapi suportif. Di Vietnam, pasien diberi vitamin C dosis tinggi dan bahkan latihan jasmani (exercise) untuk penderita yang ringan. Singapura tidak memakai ribavirin, sementara Hong Kong, Vietnam, dan Taiwan secara jelas menggunakan antivirus ini dengan cukup intensif. Hong Kong banyak sekali menggunakan steroid untuk meredam peradangan, sedangkan Taiwan lebih suka menggunakan pemakaian immunoglobulin pada pasien yang gawat. Sementara itu, para ahli cenderung sepakat bahwa penggunaan alat yang mungkin dapat merangsang batuk pasien sedapat mungkin dikurangi, seperti nebulisasi, untuk mencegah penularan. Satu hal yang harus diingat, lebih dari 90 persen pasien SARS dapat sembuh dengan baik. Artinya, kita harus waspada, tapi tidak perlu panik.

Sebagai kesimpulan, kita semua masih akan mengamati ke mana dan bagaimana SARS berkembang di masa datang. Belum ada yang dapat meramalkan apakah SARS ini akan turun, hilang, atau justru makin merebak luas.

Nah, sambil menunggu perkembangan lebih lanjut, langkah yang terbaik adalah melakukan pencegahan dengan sebisa mungkin senantiasa menjaga kesehatan tubuh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus