Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Smooth Jazz UGM Bukan SMS

25 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sutanto Komponis musik kontemporer

Konser di Graha Sabha Permana Kompleks Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sabtu, 19 April, adalah proyek kedelapan dari perhelatan jazz yang kini berlabel Smooth Jazz. Itulah pertunjukan musik yang konteksnya repertoar yang mudah kita temui di kafe lobi hotel, bahkan nomor-nomor televisi yang sama sekali tak menyebut jazz.

Repertoar bisa sama namun menjadi lain kalau konser tersebut, misalnya, dihadiri sosok macam Frank Sinatra. Jazz bercitra serius dan memang standar cerdas diperlukan, tapi kita bisa hidup di ruang dan waktu konser dengan "nges" (ada yang bilang "greng"). Dan itu bisa sama sekali sungguh melupakan citra. "Nges" bisa berupa kemampuan komunikasi verbal, bisa pilihan nada tuts piano, gerak visual yang atraktif, retorika dialogis antara perkusi dan tiup logam, pemahaman leksikal teks vokal dan itu sampai ke penonton yang memerlukan waktu khusus untuk mendatangi konser hidup, yang bukan nonton TV atau sekadar kafe yang terbatas personalianya.

Tapi lumayan Bubi Chen hadir. Ia bukan ahli pidato macam Bung Karno, tapi jari-jari tangannya penuh retorika. Ada Idang Rasyidi dengan jazz rongga mulut (fonetik) dan Nano Tirto (tak terkenal, tapi permainan flute-nya menunjukkan kemampuan komponis yang tak sekadar pelaku jazz penterjemah). Namun 4.000 lebih penonton yang luar biasa ini tampaknya cuma mendapat hiburan mapan dan beres. Tapi apakah para pelaku jazz tak gelisah?

Terserahlah Syaharani, Harvey Malaihollo, Benny Likumahua, Glen Fredly, Joe Rossenberg (saksofon sopran), Edi Syahroni (drum), Mates (bas), dan lain-lain, dapat bersepakat dengan nomor Close to You, Concorva do Antonio Carlos Jobim yang Brasil, Esok kan Masih Ada. Kalau perlu jazz juga menghadirkan gubahan lagu wajib Garuda Pancasila. Tapi tetap para pelaku jazz tak boleh sekadar menyuguhkan hidangan rutin pada antusias penonton yang harus bermacet-macet di jalanan itu.

Untung masih ada karya Bubi Chen berjudul Frog Walk yang instrumental dan beda dengan selera mayoritas. Kalau sekadar mengumpulkan tepuk tangan, tentu saja acara ini boleh dibilang sukses. Cuma kenyataannya, sekarang kian sulit melahirkan pemberdaya macam Jack Lesmana tahun 1970-an, yang mampu mendorong lingkaran sosial jazz. Jack secara teknis pemain gitar dan trombon yang biasa, tapi spirit sosialnya sangat istimewa. Mungkin jazz goes to campus kali ini masih terkenang-terilhami oleh spiritnya.

Sebenarnya masih perlukah kita akan salah satu ruang komunitas jazz nasional, khususnya dengan katalisator kampus? Kalau publiknya termasuk hal yang sangat diperhitungkan, tata ruang Bulak Sumur adalah potensi besar dibandingkan dengan Undip, STSI, ISI.

Jazz bukan klasik. Dalam jazz pemain sering dituntut bakat komposer (pemain dan pencipta), ahli retorika (vokal dan instrumental). Di sini ruang dan panggung menjadi urgen dalam arti pancaindra pemusik bersentuhan langsung dengan publiknya. Teknik dan imajinasi adalah stimulan dan respons dialogis yang tangkas, dan faktor penonton sangat "menghidupi" ruang dan waktu. Jazz masih bisa "biologis". Pemain, penonton, ruang pertunjukan adalah kesehatan "sanggama" pancaindra.

Jazz juga perjalanan durasi yang melibatkan fisikomotorik, mental-spiritual-intelektual. Pemain jazz punya wawasan "geografi melodi", ketajaman pada dinamika ritmis. Lihat saja kalau Idang Rasyidi yang pianis berkreasi fonetik, letusan bibir, getar lidah di langit mulut, gelembung pipi, dan sebagainya, bukankah itu kuliah linguistik yang artistik dibandingkan dengan ruang kuliah sastra yang formal dari dosen biasa?

Kecerdasan individu pemain Jazz di mana pun di atas "rata-rata". Tidak masalah Bubi Chen mereproduksi sesuatu tanpa persiapan dan rencana matang, ia tetap luar biasa. Tapi jazz juga hasil kerja keras: rancangan, pelaksanaan, dan "output" yang tidak "sekadar smooth" bagi 4.000 penonton. Joe Rossenberg boleh aktor panggung yang introvert, tapi jari-jari dan tiupan bibirnya harus tetap sensitif bahwa telinga dia sendiri dan telinga penonton bekerja lebih seperti bahasa, mendengar adalah pemahaman komunikasi, bukan sekadar menulis atau bicara, apalagi sekadar mengirim pesan SMS: "Smooth" Message Service.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus