Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dari 'Primary' ke Konvensi Golkar

25 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saiful Mujani Peneliti PPIM, UIN Jakarta

PARTAI Golkar sedang mengukir tradisi perpolitikan baru di Tanah Air dengan idenya tentang "konvensi nasional" untuk menentukan calon presiden. Dibilang tradisi baru karena selama ini nominasi calon bukan hanya calon presiden, tapi calon untuk jabatan-jabatan strategis lain seperti anggota DPR, gubernur, atau bupati, misalnya, juga banyak didasarkan atas kepemimpinan di partai politik. Untuk calon presiden, ketua partai, atau orang yang paling ditokohkan di partai, otomatis dicalonkan untuk jabatan presiden. Megawati atau Amien Rais sudah otomatis dicalonkan oleh partai mereka masing-masing untuk jabatan presiden nanti.

Abdurrahman Wahid dan B.J. Habibie, walaupun bukan ketua partai, dipandang sebagai orang yang sangat ditokohkan dalam partai mereka masing-masing. Walaupun Gus Dur bukan Ketua PKB, semua orang tahu bahwa dia lebih berpengaruh di PKB ketimbang Matori Abdul Djalil, yang menjabat Ketua PKB waktu itu. B.J. Habibie juga bukan ketua partai tapi dicalonkan untuk jadi presiden karena dia merupakan tokoh yang paling berpengaruh dan pewaris tradisi politik elite dalam Golkar, posisinya waktu itu sebagai presiden.

Tradisi lama ini mencerminkan kuatnya pengaruh elite kepemimpinan partai dalam menentukan keputusan politik yang amat penting seperti pencalonan untuk jabatan presiden. Dalam tradisi lama, hierarki kekuasaan begitu terlihat. Bukan hanya partai yang berkuasa, tapi seseorang atau segelintir orang di pucuk kepemimpinan partai. Bukan hanya oligarki partai yang terjadi, tapi mirip dengan kepemimpinan personal.

Konvensi nasional untuk calon presiden dari Golkar, setidaknya mengurangi kecenderungan negatif itu. Bahkan mungkin mengurangi daya cengkeram hukum besi oligarki partai. Sebab, dengan konvensi nasional, aspirasi dan kepentingan DPD atau DPC punya peluang lebih besar untuk diakomodasi dalam pengambilan keputusan politik. Para tokoh partai di tingkat nasional ataupun daerah punya peluang lebih besar untuk bargaining sehingga keputusan itu melibatkan banyak komponen di dalam partai, dari daerah sampai pusat.

Sekarang sudah muncul nama-nama dari partai, bahkan dari luar partai, yang ditawarkan agar didukung dalam konvensi tersebut. Nama-nama seperti Jusuf Kalla, Surya Paloh, Agum Gumelar, Aburizal Bakrie, dan Nurcholish Madjid disebut-sebut sebagai figur yang akan "dijual". Orang-orang yang bukan pengurus inti DPP Golkar ini dimungkinkan untuk bersaing dalam proses nominasi itu. Konvensi membuat kekuasaan partai menjadi lebih terdesentralisasi dan membantu lahirnya keputusan politik penting dengan melibatkan lebih banyak orang. Jumlah calon lebih banyak dengan beragam visi politik, membuka peluang lebih besar bagi para kader Golkar untuk mendapatkan calon yang layak untuk dijual dalam pemilu .

Tapi konvensi saja sebenarnya belum cukup untuk membuka peluang lebih besar apakah sang calon yang ditentukan lewat konvensi itu memang akan "dibeli" oleh konsumen politik, yakni para pemilih. Terpilih dalam konvensi akan menjadi sia-sia, jika dalam pemilu yang sebenarnya nanti, pilihan konvensi tersebut ternyata tidak dibeli konsumen. Sebuah keputusan konvensi akan dianggap berhasil apabila ternyata calon yang dihasilkannya dipilih oleh banyak pemilih dengan mengalahkan calon dari partai lain. Karena itu, proses keputusan dalam konvensi harus betul-betul mengaitkan antara orang yang dicalonkan dan kehendak pemilih di Tanah Air.

Hasil konvensi bisa bias, dan karena itu tidak laku dijual dalam Pemilu 2004 nanti, karena berbagai sebab. Salah satu kemungkinannya adalah "politik dagang sapi" antara seseorang yang menang dalam konvensi dan para utusan dari daerah yang punya suara dalam konvensi. Karena punya uang banyak, orang ini bisa saja "membeli" suara utusan daerah tanpa memperhatikan apakah calon yang telah mengeluarkan banyak uang ini akan dipilih oleh pemilih dalam pemilu sebenarnya nanti. Dalam konteks ini, uang bisa menyesatkan.

Bukan berarti uang tidak penting untuk meraih sukses bagi seorang calon presiden, tapi ia harus dihubungkan dengan faktor lain yang lebih penting, yakni sentimen pasar politik. Uang memang bisa membantu mengubah sentimen pemilih dengan kampanye besar-besaran. Tapi, dalam kurun waktu yang singkat, perubahan itu tidak akan mudah terjadi.

Salah satu cara untuk mengurangi bias itu adalah dengan mengembangkan konvensi ke dalam bentuk lain dari proses nominasi calon presiden. Bentuk yang lain ini adalah primary ("pemilihan langsung permulaan") yang berlaku di Amerika dalam proses penjaringan dan pencalonan seseorang untuk calon presiden. Di dalam primary, seseorang yang akan dicalonkan diuji, akankah ia laku dijual dalam pemilu nanti. Caranya dengan melakukan pemilihan langsung permulaan terhadap orang-orang yang mau maju dalam pemilu sebenarnya nanti. Siapa yang akan memilih adalah masalah krusial dalam primary ini, dan kemudian menentukan jenis-jenis primary.

Jenis primary yang paling baik untuk meyakinkan bahwa seseorang yang dinominasikan akan punya peluang besar menang dalam pemilu yang sebenarnya adalah primary terbuka. Bukan hanya para calon dari Golkar, tapi para calon dari partai lain ditawarkan kepada calon pemilih di tiap-tiap daerah untuk dipilih dalam primary ini. Prosesnya kurang-lebih sama dengan pemilu sebenarnya. Hasil dari primary di tiap daerah ini yang kemudian dibawa ke konvensi nasional. Kemudian dilihat dan diputuskan siapa yang paling layak dicalonkan oleh Golkar dalam pemilu sebenarnya tahun 2004 nanti. Dengan cara ini, kekuatan konvensi menjadi lebih terukur. Ia juga sangat mendekatkan keputusan penting di partai dengan kehendak pemilih. Dengan primary, bukan hanya kekuasaan yang dicapai oleh partai, tapi cita-cita demokrasi juga menjadi semakin membumi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus