Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Toriq Hadad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MELALUI siaran televisi dari New York, saya menyaksikan final tunggal putri US Open akhir pekan lalu. Saya membayangkan betapa berat menjadi Serena Williams. Usianya senja, 36 tahun. September tahun lalu, dia melewati persalinan berat, sampai harus bed-rest selama enam minggu. Tapi ambisi juara menyeretnya kembali ke lapangan. Tahun ini dia gagal di Wimbledon, kalah di Prancis Terbuka, tapi jelas dia tak mau kandas di rumah sendiri, di US Open New York.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Serena sudah enam kali juara di US Open. Sepanjang kariernya, dia merebut 23 gelar juara turnamen kasta tertinggi itu. Hanya Steffi Graf yang mendekati Serena, dengan mengoleksi 22 gelar Grand Slam. Dan Steffi pun sudah lama pensiun. Jadi Serena sebenarnya bertanding melawan dirinya sendiri.
Dia seperti ingin menjadi "New Serena", jagoan di usia senja. Tapi ini tak mudah. Belum ada yang bisa merebut gelar ke-24. Mungkin dia ingin menjadi satu dari tujuh perempuan yang merebut gelar Grand Slam setelah melahirkan bayi. Prestasi itu hanya dicapai antara lain oleh Margaret Court, Evonne Goolagong, Kim Clijsters, dan Lindsay Davenport.
Sampai babak final di Stadion Arthur Ashe, pekan lalu, kemenangan itu begitu dekat. Hampir 23 ribu penonton berpihak kepadanya. Sebaliknya bagi lawannya di final, Naomi Osaka, gadis 20 tahun berdarah Jepang-Haiti, malam itu merupakan mimpi buruk. Penonton terus berteriak "boo"…"boo" untuk melemahkan Osaka. Ditekan penonton, didera pukulan maut Serena, Osaka justru menggila. Tentu Osaka tak mau melepas kesempatan merebut gelar Grand Slam pertama dalam kariernya itu. Lagi pula Serena sudah kelihatan lamban, meskipun kostum hitam ala baletnya menghibur penonton. Osaka yang ngefan pada Serena sejak kecil, melawan habis. Osaka tak mau melepas hadiah juara US$ 3,8 juta begitu saja.
Osaka menang mudah 6-2 di set pertama. Tapi di set kedua, Serena mengerahkan segala cara. Entah siapa yang memulai, Serena terlibat "pengarahan terlarang" dengan pelatihnya Patrick Mouratoglou yang duduk di bangku penonton. Wasit senior Carlos Ramos menegur Serena. Meradanglah dia. Serena berkata keras: tak pernah curang seumur hidupnya. Serena membawa-bawa sentimen gender, bahwa dia ditegur wasit karena dia perempuan. Dia menuntut Ramos minta maaf, tapi Ramos tetap pada sikapnya. Di set itu, Serena membanting raket sampai patah, kemudian menyebut Ramos "pembohong" dan "pencuri". Ulahnya tak menolong, dia kalah 4-6 di set kedua.
Itu malam terburuk Serena. Dia didenda US$ 4.000 karena coaching terlarang itu, ditambah US$ 3.000 karena membanting raket, dan US$ 10 ribu karena melecehkan wasit. Total denda US$ 17 ribu, memang belum seberapa dibanding US$ 1,85 juta yang diterimanya.
Catatan hitam Serena akan lama terhapus. Dia dan penonton Stadion Arthur Ashe sudah membuat Naomi Osaka berderai air mata saat menerima piala kejuaraan pertamanya. Serena mencoba menghibur Osaka, dan dia pun berurai air mata, tapi saya melihat Serena sesungguhnya tidak siap menerima kekalahannya.
Mungkin ada penyebab lain. Yang membuat Serena gusar adalah kenyataan akan berakhirnya era "The Williams" yang berjaya sejak 1999. Setelah melahirkan, Serena belum pernah lagi juara. Kakaknya, Venus, sudah lebih sering kalah sekian tahun belakangan. Di usia 36 tahun, agaknya Serena melihat munculnya jagoan muda, seperti Osaka-juga Madison Keys, Sloane Stephens, Ostapenko, dan Muguruza-dengan rasa cemas lebih dari sebelumnya.
Saya bukan penggemar Serena. Tapi saya ingin dia kembali ke final Grand Slam suatu ketika. Saya ingin dia menutup kariernya tidak dengan cara seperti pada malam celaka itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo