Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia sudah menonton film bioskop sejak masih kanak-kanak. Ayahnya yang kerap meninggalkannya di ruang tunggu praktik dokter yang dekat dengan rental video membuat dia kerap ngelayap ke kios rental. Di sinilah kecintaannya kepada dunia film tumbuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa tahun kemudian, justru film buatannya yang ditonton orang, baik di dalam maupun luar negeri. Ia memfilmkan mulai dari kehidupan seorang keturunan Tionghoa di Indonesia sampai cerita tentang hubungan percintaan yang penuh kekerasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Edwin juga mendapat penghargaan bergengsi dari Federasi Kritikus Film Internasional (FIPRESCI) yang bermarkas di Brussels, Belgia, pada 2009. Terakhir, ia menjadi sutradara terbaik di Festival Film Indonesia 2017 melalui film Posesif.
Kini ia menyutradari film Aruna dan Lidahnya, yang diadaptasi dari novel karya Laksmi Pamuntjak, dan akan diputar pada akhir September ini. Lewat film tersebut, ia bercerita tentang empat karakter berbeda yang bertemu di meja makan. "Dari makanan kita bisa menggali kultur sebuah daerah dan bicara tentang karakter manusia," kata dia saat ditemui wartawan Tempo, Diko Oktara, di kantor Palari Films, Jakarta Selatan, akhir Juli lalu.
Banyak sekali film yang diadaptasi dari novel. Anda punya kriteria memilih novel yang layak diadaptasi menjadi film?
Paling penting, pertama adalah novel itu harus bisa memicu perasaan yang kuat. Bagi saya, itu yang paling utama. Kemudian perasaan itu harus bisa dieksplorasi untuk membicarakan apa yang terjadi sekarang, berurusan dengan manusia-manusia Indonesia. Minimal, apa yang terjadi di sekitar kita, Indonesia kontemporer. Medium buku kan ada keterbatasannya dan ada kelebihannya. Demikian pula ketika dipindah ke film, bagaimana imajinasi dalam buku itu diolah dengan cara lain, tapi tetap berangkat dari rasa dan memori yang sama. Ide bisa muncul dari mana saja. Bisa dari jalanan, sekitar kita, bisa juga dari novel.
Mengolahnya seperti apa?
Di film Aruna dan Lidahnya, dan nanti Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, kami bersepakat tak akan mengambil dari novel secara plek (utuh). Kami mengadaptasinya secara lepas.
Sebelumnya Anda dikabarkan sedang menggarap novel Eka Kurniawan, tapi justru Aruna dan Lidahnya yang dirilis lebih dulu?
Aruna dan Lidahnya lebih dulu saya baca. Novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (karya Eka Kurniawan) muncul saat kami sedang memproduksi film Posesif. Jadi saya seharusnya mengerjakan itu dulu setelah Posesif. Cuma memang dari sisi keuangan, produksi film Seperti Dendam perlu menunggu sebentar.
Bagaimana awalnya Anda tertarik memfilmkan novel Aruna dan Lidahnya?
Pada 2014, saya melihat sampulnya, menarik sekali. Lalu baca sinopsisnya, wah tentang makanan. Saya tak membaca buku-buku Laksmi sebelumnya, paling Jakarta Good Food Guide, dari situ saya tahu dia suka makan. Ini (Aruna) versi fiksi, menarik nih. Beberapa kota di Indonesia, dengan berbagai makanan yang ada di kota itu, dieksplorasi oleh empat karakter yang berteman dan ada urusan kerjaan, ada korupsinya. Novel itu terus nempel di otak. Untuk dibikin film bisa dibuat berbagai macam genre, bisa detektif, film percintaan, film makanan. Saya iseng bawa ke teman-teman agar mereka membaca. Setelah Posesif selesai, kami mempelajarinya. Saatnya bikin film dari buku itu. Sebelumnya kami belum pernah.
Apa yang membuat novel itu menempel di benak?
Saya rasa kami di sini (Palari Films) cinta pada ide buku, tentang perjalanan empat karakter manusia. Di umur awal 30 tahun, bertemu di meja makan. Saya sangat senang dengan orang yang makan di meja makan dan mengobrol. Sebuah film, kalau sudah ada adegan makan, selalu menyenangkan. Tak perlu film tentang satu makanan. Satu scene saja di meja makan, mau akhirnya tembak-tembakan selalu menyenangkan.
Apa yang menarik dari sebuah peristiwa di meja makan?
Komunikasinya, apalagi makanannya terlihat enak dan mereka menikmati. Mereka harus berkomunikasi dengan makanannya dulu, mengapresiasi, lalu mengobrol dengan suasana hati yang senang. Lalu banyak persoalan sehari-hari yang kecil dibicarakan di meja makan. Kemudian mulai bisa membicarakan hal-hal yang tadinya luput dari pembicaraan.
Berapa kali bertemu dengan Laksmi Pamuntjak?
Tidak banyak, tapi cukup intens ketika bertemu. Laksmi ingin tahu bagaimana kami membuatnya. Obrolan sesama pencinta makanan, sambil makan juga. Enggak bisa kalau enggak makan saat mengobrol dengan Laksmi.
Mengapa memilih empat kota (Pontianak, Singkawang, Pamekasan, dan Surabaya) sebagai lokasi syuting?
Kalau di buku lebih, ya. Pertama memang kami tahu batasan film, ada durasi dan bujet juga. Dari awal sudah sadar tak mungkin semua dikunjungi. Di buku, investigasinya lebih menonjol, sementara di film, kami lebih berfokus ke makanan dan relasi di antara empat karakter itu dan komunikasinya dengan makanan di depan mereka. Jadi dipilih sebisa mungkin agar bisa mengakomodir hal-hal itu.
Cara menentukan spot lokasi tempat makan untuk syuting?
Kami mengikuti empat kota seperti di buku dan mencoba makanannya. Misalnya di Madura (Pamekasan), di buku Laksmi diceritakan tentang bebek sinjai dan sate lalat. Kami cari makanan itu dan dapat, tapi juga ketemu yang tak ada di buku itu, contohnya lorjuk. Ini khas Pamekasan, hanya ada di pesisir pantai itu, di Kota Pamekasan-nya tak ada. Jadi kami masukkan ke film, bebeknya malah enggak masuk ha-ha-ha….
Apa kesulitan membuat film kuliner?
Soal teknis. Makanannya mudah dingin, bentuknya beda kalau sudah dingin. Sementara kadang kalau harus berasap (makanannya) dan harus dimakan pemain, mereka bisa kepanasan. Akting pemain menjadi terganggu. Kamera terlalu dekat juga enggak bagus. Sorot lampu, kalau makanan dingin juga tak boleh kebanyakan, nanti meleleh. Cukup repot.
Bagaimana cara Anda menggugah selera makan penonton melalui film?
Saya akhirnya melihat kenapa makanan bisa menarik dalam sebuah film, karena penonton diajak berimajinasi bagaimana rasanya. Jadi imajinasi yang terus diutamakan. Misalnya makanannya terlalu cantik, itu juga harus dijaga agar terlihat senyata mungkin, tapi juga mengundang imajinasi. Suara juga penting sekali untuk menjaga agar orang merasa dekat. Suara itu bisa bikin ngiler pada makanan, bisa membuat penonton dan pemain terhubung.
Ada referensi film kuliner tertentu?
Saya menonton, tentunya yang terkenal dan susah dilupakan, film Ang Lee, Eat Drink Man Woman. Itu menjadi standar. Dari semua yang saya lihat, bukan cara mengambil shoot makanan yang penting, tapi bagaimana aktor yang tengah makan ditangkap oleh kamera.
Ini merupakan film komersial kedua Anda, apakah seterusnya akan membuat film komersial?
Orang yang bilang begitu. Saya tak membedakan film. Saya pikir itu ada hubungannya dengan bagaimana film dipasarkan. Masalah komersial di Indonesia, belum tentu komersial di luar Indonesia, begitu pun sebaliknya. Ternyata memang pemasaran kita masih perlu ada blok antara Indonesia dan internasional. Menurut saya, seharusnya film bisa dipasarkan di banyak tempat, yang nonton juga manusia.
Ada beban setelah mendapatkan Piala Citra tahun lalu?
Enggak. Lumayan menyenangkan mendapat penghargaan dan apresiasi di Piala Citra, tapi beban dan tanggung jawab saya sama saja di tiap film. Memang tugas saya sebagai pembuat film adalah merekam apa yang terjadi di sekitar saya, membaginya dengan penonton, kemudian mendiskusikan lebih lanjut tentang apa yang terjadi di sekitar kita.
Apa yang membuat Anda pertama kali tertarik pada film?
Pengalaman masuk ke bioskop memang spesial. Ada semacam upacara atau ritual yang mengundang masuk ke dunia lain, mengundang kita untuk memperhatikan. Film itu semangatnya begitu, membuat manusia memperhatikan manusia lain yang ditampilkan di film. Film mengajak kita sebagai manusia untuk lebih perhatian kepada persoalan orang lain, yang juga otomatis bisa menjadi persoalan kita juga.
Umur berapa mulai nonton di bioskop?
Mungkin umur 6 tahun. Film Rocky kalau tidak salah, antara Rocky atau Piranha, film Hollywood. Itu di Surabaya. Kalau film Indonesia mungkin Gundala ya.
Ada cerita Anda dulu sering dititipkan di rental video oleh ayah Anda, apa benar?
Bapak saya dokter umum, tempat dia praktik dekat tempat rental video. Saya ditinggal di tempat praktik, diminta menunggu. Saya suka nongkrong di tempat itu. Biasanya menonton cuplikan saja, enggak bisa nonton semua karena orang kan biasanya cuma mencoba gambarnya bagus atau tidak. Suka nongkrong di sana karena bisa nonton banyak pilihan film, kalau saya suka baru pinjam. Itu masih format Betamax dulu.
Soal bioskop, Anda juga membuka Kinosaurus sebagai bioskop alternatif, masih ikut mengurusnya?
Tidak secara langsung karena sekarang sudah ada tim programer. Tapi tiap bulan kami rutin bertemu dan berdiskusi.
Bagaimana melihat perkembangan bioskop alternatif di Indonesia saat ini?
Ya, bagus, artinya tempat memutar film memang harus semakin banyak dan semakin beragam. Kultur menontonnya berbeda-beda tiap tempat, penontonnya bebas mau (menonton) di mana saja. Tujuan Kinosaurus kan memberikan pilihan untuk penonton. Penonton di Indonesia kan beragam dan kurang pilihan saja. Padahal produksi film banyak.
Kultur menonton yang berbeda seperti apa?
Mulai dari tempat duduk yang lebih santai, bisa berbincang-bincang dengan pembuat film. Setelah itu bisa mengobrol lebih intim dengan sesama pecinta film. Tak cuma soal film, tiba-tiba bisa berbicara hal lain juga. Saya pikir orang-orang perlu diberikan medium untuk dipertemukan antara satu dan lainnya. Ya, kalian berkomunikasilah seperti umumnya manusia.
BIODATA:
Nama: Edwin
Lahir: Surabaya, 24 April 1978
Filmografi:
- A Very Slow Breakfast, 2003 (film pendek)
- Kara, Anak Sebatang Pohon, 2005 (film pendek)
- Dajang Soembi, Perempoean Jang Dikawini Andjing, 2005 (film pendek)
- A Very Boring Conversation, 2006 (film pendek)
- Trip To the Wound, 2008 (film pendek)
- Hulahoop Soundings, 2008 (film pendek)
- 9808 An Anthology of 10th Year Indonesian Reform, 2008
- Babi Buta yang Ingin Terbang, 2008
- Belkibolang, 2011 (segmen Rollercoaster)
- Kebun Binatang, 2012
- Someone’s Wife in the Boat of Someone’s Husband, 2013 (film pendek)
- Posesif, 2017
- Aruna dan Lidahnya, 2018
Prestasi:
- Film Pendek Terbaik Festival Film Indonesia, film Kara, Anak Sebatang Pohon, 2005
- Best Director Jakarta International Film Festival, film Babi Buta yang Ingin Terbang, 2009
- FIPRESCI Awards, film Babi Buta yang Ingin Terbang, 2009
- NETPAC Award Golden Horse Film Festival, film Babi Buta yang Ingin Terbang, 2009
- Edward Yang New Talent Asian Film Awards (AFA), 2012
- Sutradara Terbaik Festival Film Indonesia, film Posesif, 2017
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo