Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Setelah 20 mei itu ...

Sutomo mendirikan budi utomo, yang bertujuan memperbaiki keadaan rakyat yang hidup di bawah tekanan. tokoh pergerakan jawa umumnya berasal dari kelas menengah. (ctp)

25 Mei 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DOKTER tua berumur 50 tahun itu bicara. Suaranya melodius dan tenang "Sareh," kata seorang hadirin kemudian. Wajahnya damai, sikapnya arif. Tak ada api yang meletup. Tapi ada cahaya dari sana. Setidaknya ada kehangatan rupanya, sehingga seorang pemuda yang hadir dalam pertemuan itu tiba-tiba seakan mengalami transformasi batin. Ia seolah-olah menjadi orang lain. Gemetar sampai ke seluruh sendi tubuhnya, pandangannya jadi bertambah luas, perasaannya serasa bertambah halus, dan cita-citanya indah. Kesempitan hatinya hilang, begitu pula tujuan hidup yang hanya terbatas pada diri sendiri. Sebuah dunia baru terbentang. Semua itu adalah pengakuan Dr. Sutomo, dalam bukunya yang terbit pada tahun 1934, Kenang-Kenangan, setelah ia mendengarkan pembicaraan dr. Wahidin Sudirohusodo, di Batavia yang basah oleh musim hujan akhir 1907. Wahidin yang terkenal itu (karena ia anak priayi desa yang berhasil jadi dokter di akhir abad ke-19 itu, dan karena tulisan-tulisannya) sengaja datang menemui para mahasiswa STOVIA. Ia mengimbau agar para calon dokter bumiputra itu bekerja mengumpulkan dana untuk membantu anak-anak muda Jawa, agar mereka yang cerdas dapat masuk ke lembaga pendidikan Belanda. Dan mungkin karena sikapnya yang tulus, ia memikat. Sutomo, waktu itu baru 19 tahun, tergerak. Tapi bahwa tampaknva ia lebih tererak oleh keDribadian dan insDirasi moral Wahidin ketimbang oleh soal-soal pengumpulan dana, terbukti beberapa bulan setelah akhir 1907 itu. Tanggal 20 Mei 1908, ia bersama sejumlah mahasiswa STOVIA mendirikan sebuah perkumpulan yang disebut Budi Utomo. Namanya, dalam bayangan kita sekarang, mungkin agak terlampau "kebatinbatinan", tanpa gerak. Tapi kesan ini bisa salah. Kita baca saja surat edaran pertama organisasi ini yang dimuat koran Bataviaasch Nieuwsblad 23 Juli 1908, sebagaimana dikutip oleh Sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo dalam bukunya, Pembinaan Bangsa dan listoriografi. Ditulis dalam bahasa Belanda yang terang dan tegas, surat edaran itu bicara dengan keyakinan diri sendiri yang bersemangat: "Sudah sejak lama, pelajar-pelajar STOVIA . . . telah membicarakan gagasan bagaimana caranya untuk memperbaiki keadaan rakyat kita, terutama rakyat kecil .... Kami berpendapat untuk mempropagandakan maksud itu langsung kepada orang-orang muda, yang hidup di bawah tekanan yang sama seperti kami sendiri .... " Bicara tentang hidup "di bawah tekanan", bicara tentang nasib rakyat kecil - bagaimanakah ini mungkin dilakukan oleh sejumlah anak priayi Jawa, yang tengah mencicipi previlese bersekolah tinggi, di suasana kolonial awal abad ke-20? Tapi itulah memang yang terjadi. Rakyat kecil memang tertekan, dan ada "anak priayi" seperti orang-orang Budi Utomo dan ada priayi yang lain. Wahidin sendiri memang orang terkemuka pada masa itu tapi, seperti sudah disinggung di atas, ia hanya anak desa dengan gelar mas ngabehi. Sutomo sendiri memang bersekolah dasar untuk anak-anak Belanda, ELS, dan dia anak wedana tapi pemuda yang lahir di Desa Ngepeh 30 Juli 1888 ini bukan keturunan bupati. Kakek Sutomo seorang kepalang, yang di desanya dipanggil "Lurah Kaji". Ayahnya seorang bekas guru, yang diangkat jadi priayi Binnenlandsch Bestuur, tapi mengeluh dan bersumpah agar tak seorang anaknya pun kelak jadi seperti dia. Wahidin, Sutomo, Cipto Mangunkusumo, serta kakaknya, Gunawan - seperti halnya Bung Karno dan tokoh pergerakan nasional Indonesia lain yang berasal dari Jawa - umumnya memang bukan anak rakyat Jelata, tapi jelas mereka merupakan barisan di luar lingkungan kebangsawanan. posisi tengah itu, mereka memang jadi lebih peka akan pelapisan sosial masa itu yang tajam. Mereka pun lebih bisa tergerak, terbuka - bahkan memberontak. Tak mengherankan, bila pada tahun 1908 itu - sementara kalangan priayi tinggi mendirikan perkumpulan eksklusif dengan nama Sedya Mulya - Budi Utama, seperti tertera dalam surat edarannya dalam Bataviaasch Nieuwsblad, bukan cuma bicara tentang "rakyat kecil", tapi juga tentang "persaudaraan nasional". Yakni suatu persatuan umum di Hindia Belanda, "tanpa perbedaan ras, jenis kelamin, maupun kepercayaan". Tampaklah, 20 Mei 1908 adalah suatu kebangkitan. Budi Utama yang digerakkan oleh para pelajar STOVIA di bagian Kota Batavia yang dulu disebut Weltevreden itu memang sebenarnya tak cuma berniat untuk mereka yang ber-bebed dan ber-blangkon. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 munvkin tak akan ada tanpa rintisan Sutomo di tahun 1908. Tapi seperti banyak terjadi dalam sejarah, ketika inspirasi turun sebagai gerakan, gerakan itu pun harus bersentuhan dengan dunia sehari-hari. Dunia seharihari itulah kemudian yang mencengkeram. Sebab, ternyata, apa yang dibuka oleh Sutomo menggelisahkan orang lain yang berpengaruh. Reaksi para priayi yang bekerja di pemerintahan kolonial - para bupati dan lain-lain itu - adalah khawatir, kalau para pelajar umur belasan itu "terlampau berani menempuh jalan yang gawat", sebagaimana dicatat oleh Dwijosewoyo, seorang pengurus Budi Utomo cabang Yogyakarta. Maka, ketika kongres pertama akhirnya diselenggarakan awal Oktober 1908, orang-orang muda dari Weltevreden yang berpidato dalam bahasa Belanda dan "Melayu tinggi" itu pun segera dipepet. Hasilnya, dalam kata-kata Abdurrachman Surjomihardjo, kongres itu "tidak mengembangkan, tetapi sebaliknya membekukan gagasan dan cita-cita semula, yang ada pada pelajar STOVIA". Memang, tak mudah memberikan kebebasan bagi mereka yang belum berumur 20 tahun, terutama mereka yang mengancam tata yang ada .... Untunglah, bagi kemerdekaan Indonesia kemudian, kebangkitan nasional pada awal abad ke-20 ternyata tak cuma sekadar bravado anak-anak pintar di Weltevreden. Dan di situlah selalu salah sangka yang terjadi. Ada saat-saat yang aneh ketika zaman seakan-akan memanggil, dan yang menjawab adalah sebuah estafet yang tak bisa dihentikan. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus