"LANGKAH-langkah lanjutan ke arah normalisasi hubungan kedua negara," ujar Menteri Sekretaris Negara Moerdiono. "Sudah banyak perubahan yang terjadi selama 20 tahun ini," kata Menteri Luar Negeri Qian Qichen. Kedua keterangan singkat itu menjawab pertanyaan pers dunia kepada setiap Menteri Luar Negeri Indonesia sejak 22 tahun lalu, ketika Adam Malik berkelit menjawab pertanyaan serupa, "Mbesuk. Apa besoknya Indonesia atau besoknya Jawa, kita lihat saja nanti." Maka, hingga saat hubungan diplomatik Indonesia kelak resmi dicairkan kembali, kita akan melakukan serangkaian persiapan cermat Rapat Kerja Politik dan Keamanan niscaya akan membahasnya, karena masalah hubungan Indonesia dengan RRC memiliki bobot politik, ekonomi, dan keamanan tersendiri. Badan Koordinasi Intelijen Negara pasti menyumbangkan pikirannya. Demikian juga Badan Intelijen Strategis, Kejaksaan Agung, serta beberapa departemen lainnya. Tetapi yang paling mendasar dan paling penting ialah perkiraan dampak normalisasi hubungan diplomatik Indonesia terhadap pembangunan politik dan pembangunan ekonomi kita. Sebab, tindak lanjut menuju normalisasi hubungan antara kedua pemerintahan adalah masalah "normalisasi" kerangka landasan politik kita. Sejak Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan RRC, pasang naik dan pasang surut hubungan berkembang dengan rentang yang amat besar. Puncak "hubungan baik" adalah 1964-1965, tatkala Indonesia dan RRC terlibat dalam "poros Jakarta-Beijing" menentang Amerika, Inggris, dan "neokolonialisme" lainnya. Titik rendah hubungan itu adalah 1965-1967, dimulai dari saat Kedutaan Besar RRC di Jakarta tidak memasang bendera setengah tiang pada saat Tujuh Pahlawan Revolusi Indonesia dimakamkan di Kalibata. Pertalian erat Partai Komunis Indonesia dengan pemerintah dan Partai Komunis di Beijing menambah suasana tegang menjelang dan sesudah Gerakan 30 September. Sekarang, 23 tahun kemudian, keadaan sudah banyak berubah memang. RRC sudah mulai bangkit kembali dari pengalaman pahitnya selama 1966-1978, ketika Revolusi Kebudayaan tidak saja menelan banyak korban jiwa, tetapi merenggut korban di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. RRC tahun 1989 adalah RRC yang seperti juga Uni Soviet di bawah Mikhail Gorbachev, tengah mencari iklim internasional yang menguntungkan bagi rekonstruksi nasional Ilmuwan dan para ahlinya kini tersebar di seluruh pelosok dunia, belajar fisika, teknologi nuklir, bahasa dan sastra Inggris, ilmu-ilmu tanah, bio-teknologi, ilmu komputer, dan belasan cabang keahlian lainnya yang diperlukan untuk membangun RRC yang kuat dan jaya. Memang tak ada jaminan bahwa jalan yang kini ditempuh Deng Xiaoping akan berjalan mulus. Ataupun bahwa jalan ini tetap ditempuh apabila Deng dalam waktu dekat meninggalkan panggung politik Cina. Berita terakhir dari Beijing malah melaporkan kemungkinan Sekretaris Jenderal Zhao Zhiyang digugat oleh golongan pembaru "jalan moderat" pimpinan Li Peng, karena luas dan laju pembaruan yang dikehendaki Zhao dinilai terlalu drastis dan membahayakan "kemurnian ideologi" Partai Komunis Cina. Kita patut waspada terhadap kemungkinan terjadinya pertarungan kekuasaan dalam tubuh partai di Beijing yang berdampak terhadap radikalisasi politik luar negeri RRC. Maka, hikmah dari kemungkinan kita membuka hubungan diplomatik dengan RRC adalah bahwa kita lebih dipacu lagi untuk sekuat tenaga melaksanakan apa yang kini giat dilakukan oleh RRC: belajar sebanyak mungkin ilmu dan teknologi modern untuk memberi isi pada konsep RRC sebagai pemain utama politik internasional di kawasan Asia Pasifik, bahkan di seluruh dunia. Maka, lebih dari sekadar perhitungan tentang bahaya laten komunisme yang mungkin bisa muncul kembali di Indonesia, tindak lanjut ke arah pemulihan hubungan diplomatik Indonesia-RRC harus ditinjau dari tiga faktor utama. Pertama, benarkah bahwa kehidupan antarnegara-negara Asia Pasifik makin ditandai oleh "runtuhnya ideologi" dan bangkitnya "pragmatisme" pembangunan ekonomi? Jawaban cepat dan langsung adalah: tidak. Suatu langkah pragmatis, betapapun terlihat sebagai "erosi ideologi", adalah langkah taktis dalam teori kontradiksi Partai Komunis Cina dan dalam pemikiran budaya Cina. Menurut teori ini, dalam keadaan lemah apa pun, tugas dan kewajiban orang Cina adalah memanfaatkan setiap peluang, setiap waktu, dan setiap kesempatan untuk mengubah "perimbangan kekuatan" agar berangsur-angsur kekuatan Cina bertambah besar. Karena itu, lebih tepat menyebut pragmatisme RRC sekarang sebagai ikhtiar "mundur satu langkah untuk maju dua langkah". Dengan perkataan lain, RRC ingin membuka hubungan dengan Indonesia karena ia ingin menambah jumlah pengimbang tandingan terhadap Uni Soviet, Amerika Serikat, dan Jepang. Perhitungan demikian adalah pertama-tama suatu langkah ideologis. Kedua, yang harus kita bayangkan bukanlah RRC yang sekarang ini, tahun 1989. Yang harus kita perhatikan ialah RRC yang semakin canggih dalam pengelolaan persoalan-persoalan dalam negerinya, sehingga menjelang tahun 2001 ia akan "naik kelas" dalam berbagai bidang, termasuk dalam kemampuan persenjataan. Sejak 1981 RRC sudah meluncurkan sejumlah peluru kendali antarbenua percobaan ke wilayah Pasifik. RRC sudah mengorbitkan sejumlah satelit komunikasi yang melintas di ruang angkasa Asia Pasifik. Tindakan Deng mengurangi jumlah personel Tentara Pembebasan Rakyat dari 5 juta orang menjadi 3,5 juta orang adalah tindakan meningkatkan kemampuan, bukan mengurangi, angkatan bersenjata RRC. Soalnya. dana untuk personel dialihkan untuk pengembangan riset persenjataan yang efektif dan canggih. Daya gempur meningkat, efisiensi dikelola secara mantap. Ketiga, kita sudah harus mampu menyusun matriks perimbangan kekuatan empat besar (RRC, Jepang, Soviet, Amerika) di Asia-Pasifik menjelang 2001. Setiap teknologi dan keahlian yang kini diserap RRC dari Prancis, Jerman Barat, Inggris, Amerika, dan sebagainya tiap saat dapat digandakan kegunaannya untuk keperluan militer. Bagaimana kira-kira kemampuan kita pada tahun 1990-an ini? Sadarkah kita bahwa bagi RRC, pesawat secanggih F-16 dalam perhitungannya untuk tahun 1990-an adalah pesawat yang kedaluwarsa dibandingkan dengan generasi baru pesawat tempur FSX yang kini digarap Jepang dan Amerika? Itulah tantangan sebenarnya dari tindak lanjut ke arah normalisasi hubungan Indonesia-RRC? Maukah, dan sanggupkah, kita menjawab tantangan ini?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini