SERANGAN itu dilangsungkan pagi hari. Sasaran: Kedutaan Besar RRC di Jalan Gajah Mada di Jakarta. Rombongan yang sebagiannya bahkan terdiri dari para mahasiswa keturunan Cina itu mendobrak pintu gerbang kedutaan yang berarsitektur gaya Cina yang kukuh itu dengan menggunakan tenaga dorong sebuah truk. Rupanya, suasana politik Oktober 1967 itu sudah memberi isyarat bagi para diplomat dari Beijing. Terbukti, di gedung itu cuma tinggal beberapa penghuni -- termasuk para pengawal terakhir yang sempat menembaki para penyerbu dan menewaskan seorang. Sebagian massa penyerbu pada suatu hari bulan Oktober 1967 itu ada yang lepas kontrol, menghambur ke dalam gedung. "Ada di antara mereka yang memanfaatkan situasi mencuri guci antik di sana," tutur Udin, waktu itu mahasiswa Jurusan Bahasa Cina di Fakultas Sastra UI yang ikut memimpin satu regu penyerbu. Ada juga buku dan lencana Mao Zedong yang mereka bakar. Ada pula bendera RRC -- yang mereka ambil dan jadi selimut untuk tidur di kampus. Semangat anti-RRC waktu itu mencapai puncaknya. Alasan: RRC dianggap berada di belakang peristiwa G30S-PKI, yang meletus dua tahun sebelumnya. Tentara bahkan tak mencegah aksi massa itu. Kata Kemal Idris, yang ketika itu, dengan pangkat brigadir jenderal, menjabat Wakil Kepala Staf Kostrad, "Yang pasti, kami cuma pura-pura tidak tahu aksi mereka." Namun, Kemal Idris segera menambahkan: ketika para staf kedutaan RRC meninggalkan Indonesia, "kami menjaga keselamatan mereka." Di lain pihak, Kedubes RI di Beijing juga mengalami nasib tak sedap. Seperti yang kemudian dituturkan oleh seorang staf KBRI, para pemuda Cina juga menduduki kantor Kedubes RI selama lima hari di bulan April 1967. Mereka bahkan memasang alat pengeras suara di luar tembok, untuk menyalurkan makian mereka terhadap Indonesia. Situasi saat itu memang mengerikan, yakni ketika Revolusi Kebudayaan tengah menggila dan para pemuda dalam barisan Pengawal Merah sering bertindak di luar kontrol akal sehat. Tak ayal, ketika Kuasa Usaha Ad Interim Baron Sutadisastra dan Kepala Bagian Penerangan dalam perjalanan pulang lewat Kanton, satu peristiwa yang mengenaskan terjadi. Di Kanton, Baron sempat diseret dari hotelnya lalu dipukuli, dihina, dan dicaci maki oleh para demonstran anti-Indonesia. Kejadian di Jakarta serta di Beijing itu menunjukkan: persekutuan erat yang terjadi lewat "poros Jakarta-Peking", yang dirintis Presiden Soekarno dan Perdana Menteri RRC Zou Enlai, ambyar. Kedua belah pihak malah seperti sedang menggali kapak perang. Hubungan diplomatik pun akhirnya pada Oktober 1967 mulai dibekukan. Tapi itu mungkin segera hanya jadi catatan sejarah. Katakanlah terhitung sejak Kamis pekan silam: Presiden Soeharto menerima kedatangan Menteri Luar Negeri RRC Oian Oichen di Suit Room 1601 Hotel Imperial (Teikoku) Tokyo -- hotel yang terletak di Shinbashi, dekat Ginza, tak jauh dari gedung-gedung merintahan. Di salah satu dari 10 kamar istimewa (major suite) yang memang khusus untuk tamu negara itu, Pak Harto -- yang datang ke Jepang untuk menghadiri upacara pemakaman Kaisar Hirohito -- telah merantas suatu kebekuan yang panjang. Bagi banyak pengamat, setidaknya di luar negeri, ini peristiwa bersejarah. Bahkan koran besar Jepang, Asahi Shimbun, menilainya sebagai berita amat penting. Kendati Jumat pekan lalu merupakan hari "Taiso No Rei", bertepatan dengan upacara pemakamaan yang konon terbesar di abad ini, Asahi Shimbun justru memilih pertemuan Soeharto-Qian Qichen sebagai berita utamanya. Koran itu menyediakan hampir separuh halaman luar negerinya untuk cerita lebih jelas tentang kesepakatan antara RI dan RRC, dilengkapi data kronologis tentang sejarah RI-RRC. Dalam analisanya, Asahi menyebut dua alasan utama yang menjadi latar belakang tindakan pemerintahan Indonesia. Pertama, melalui hubungan lebih baik dengan Beijing, dalam kemelut Kamboja, Jakarta bisa mengharapkan munculnya angin baru dari RRC terhadap Pol Pot. Kedua, sehubungan dengan ekspor nonmigas yang digenjot, Indonesia melihat RRC sebagai pasar yang potensial. Pemerintah Jepang ikut gembira. Perdana Menteri Noboru Takeshita berkomentar, "Demi perdamaian dan kemakmuran Asia, kesepakatan kali ini sangat terpuji." Ahad kemarin, Presiden Soeharto memang bertemu dengan Takeshita di Geihin Kan (Wisma Negara) yang terletak di dekat Istana Akasaka, kediaman Kaisar. Dalam pertemuan selama 30 menit itu, Pak Harto boleh dikatakan untuk pertama kalinya mengisahkan latar belakang kesediaannya membicarakan soal normalisasi dengan RRC: ia sudah mendapatkan konfirmasi dari pihak RRC bahwa mereka tak akan mendukung PKI lagi. "Selanjutnya, kedua pemerintah kami akan membahas soal penempatan kedutaan besar, juga perwakilan pemerintah lainnya," demikian kata Presiden kepada Takeshita. Ini berarti sudah resmi persiapan huifu qiaoji (pemulihan hubungan). Perkara konfirmasi dan jaminan RRC untuk tidak membantu PKI itu memang merupakan simpul penting selama ini. Dalam pejalanan pulang ke tanah air, kepada wartawan yang ikut dalam rombongan, Pak Harto juga menuturkan kembali soal itu ketika menceritakan proses menjelang terjadinya kesepakatan. "Sebenarnya, permintaan untuk melakukan courtesy call sudah diajukan delegasi RRC sebelum kita berangkat," tutur Presiden. "Tapi sebelumnya, saya tugaskan Menteri Negara Sekretaris Negara untuk menemui dulu, menjajaki apa yang akan disampaikan." Moerdiono memang satu-satunya menteri yang ikut dalam perjalanan ini. Menteri Luar Negeri Alatas tengah sibuk menyelesaikan Jakarta Informal Meeting II. Hasil penjajakan Menteri Moerdiono menggembirakan. Kata Kepala Negara: "Ternyata, pemerintah RRC memberikan suatu penegasan sesuai dengan harapan atau syarat yang diajukan oleh Indonesia." Harapan itu adalah, menurut Pak Harto, hidup berdampingan secara damai, saling menghormati kedaulatan masing-masing, tidak mencampuri urusan dalam negeri tidak hanya oleh pemerintah saja, tetapi juga oleh partainya. Juga: kesediaan kerja sama yang menguntungkan. Lebih spesifik lagi: RRC menegaskan tak akan memberi bantuan terhadap sisa-sisa PKI. "Ini merupakan salah satu penegasan pidato pertanggungjawaban saya kepada MPR pada Sidang Umum MPR Maret 1988 yang lalu," kata Pak Harto. "Di situ saya sebutkan masalah pemulihan hubungan diplomatik dengan Cina tergantung perubahan sikap RRC." Ternyata, kata Presiden pula, kini RRC menyatakan tak akan membantu sisa-sisa PKI. Dalam rencana pemulihan kini, Presiden menegaskan tidak adanya negera perantara. Soalnya, pada dasarnya RI dan RRC sudah sama-sama memiliki perwakilan di PBB, yakni tempat melakukan berbagai kontak selama ini. Langkah lanjut dari pertemuan bersejarah di Tokyo ini adalah pembicara tingkat menteri maupun pejabat-pejabat lain yang ditugaskan. Hal yang antara lain masih harus dibicarakan adalah menyangkut persyaratan dan status perwakilannya. Mungkin juga masalah dwikewarganegaraan, ataupun soal para keturunan Cina yang kewarganegaraannya tidak jelas alias stateless ("tunanegara"). Selama ini, sejumlah keturunan Cina dengan status tak berkewarganegaraan masih tetap jadi masalah Imigrasi. Pada 1986, dari 350 ribu orang asing di Indonesia, 250 ribu di antaranya adalah keturunan Cina denan status tunanegara. Menurut Kepala Humas Imigrasi H.S. Wijaya kepada TEMPO, jumlah keturunan Cina dengan status seperti itu pada 1987 meningkat 273.000. Jumlah itu naik turun, karena faktor kelahiran, kematian, atau yang bersangkutan mendapatkan kewarganegaraan dari negara lain, lantas pergi meninggalkan Indonesia. Atas dasar kemanusiaan, orang-orang dengan status itu mendapat perlindungan hukum, dengan dibolehkannya mendapatkan surat pendaftaran orang Cina di Indonesia. Mereka memiliki dokumen imigrasi, namun tak berhak mendapatkan paspor kewarganegaraan. Sebagian besar keturunan Cina dengan status begitu tinggal di Jakarta. Selebihnya di kota-kota besar seperti Surabaya, Medan, Semarang, Bandung, dan Pangkalpinang. Dengan dibekali surat pendaftaran sebagai keturunan Cina di Indonesia, mereka tidak terkatung-katung tanpa kepastian hukum. "Dan memudahkan pemantauan," kata Wijaya menambahkan. Selanjutnya mengenai Cina perantauan (huaqiao) yang dulu, 30 tahun yang lalu, terkena peraturan yang disebut "PP 10", (lihat hlm. 21) jumlahnya kini -- menurut pihak Imigrasi -- ada sekitar 5.000 orang. Oleh pemerintah, kelompok yang seharusnya sudah meninggalkan Indonesia ini diberi dokumen yang disebut SKK (Surat Keterangan Kependudukan). Soal-soal teknis kewarganegaraan seperti itu memang suatu hal yang amat penting dalam hubungan Indonesia-RRC. Ketakjelasan akan memudahkan api kerusuhan rasial yang selalu dirasakan berada dalam sekam ini akan bisa meletup kembali. Dalam penyerbuan ke kedutaan besar RRC di tahun 1867 itu, misalnya, ada saja poster yang berbau rasialis. Poster itu, ditulis dalam karakter Cina, berbunyi "Hua Ren, Jiju Wu Ye ...", yang maksudnya menyerukan agar orang-orang Cina itu mengingat kejadian Mei 1963 -- ketika terjadi ledakan rasialisme yang dimulai di Bandung dan merembet ke Sukabumi dan kota-kota lainnya itu. Peristiwa ini, dengan sejumlah korban meninggal, telah menyebabkan banyak orang mengalami trauma. Peliknya masalah ini tak menjadi lebih mudah dengan lambannya proses pencatatan. Sampai Februari ini, hanya sekitar 3.000 huaqiao yang dulu terkena peraturan PP 10 yang memanfaatkan SKK. Sisanya belum. Ini berarti mereka dinyatakan sebagai imigran gelap -- yang akan harus dilacak untuk diproses di pengadilan. Belum lagi perkara yang timbul ketika orang-orang yang terkena PP 10 dulu -- setelah kembali ke Cina -- hendak pula masuk lagi ke sini, secara glap. Padahal, setelah mereka tertangkap, diadili, dan ditahan, sulit pula dikirim kembali ke RRC. Ini "karena mereka tidak memiliki dokumen," seperti kata Wijaya dari Imigrasi. Akhirnya pemerintah memberi kartu pengenal orang asing wajib lapor. Jumlahnya sekitar 1.200 orang. Yang menarik, sebenarnya masih ada beberapa orang Indonesia yang tinggal di RRC. Sebagiannya, dengan memegang pas jalan dari pemerintah setempat, ada yang sudah pindah ke Eropa. Sisanya, yang masih di Beijing misalnya, lazimnya tinggal di You Yi Pin Guan (Friendship Hotel), tak jauh dari Universitas Beijing. Seorang di antaranya, gadis muda berusia 29 tahun, sebut saja Saskia namanya, ketika dihubungi TEMPO lewat telepon, menyatakan kegirangannya mendengar kabar rencana normalisasi hubungan RI-RRC. "Jika bisa, saya ingin kembali ke tanah air," kata gadis yang bekerja di sebuah perusahaan multinasional di Beijing dengan gaji 8.000 yuan ini -- suatu gaji yang besar, mengingat gaji seorang profesor di sana hanya 100 sampai 150 yuan. Saskia tumbuh dengan mental dan tingkah laku Barat. Ia di Beijing tinggal sendiri, sementara orangtua dan pacarnya ada di Eropa. Tentu saja Saskia berbeda dengan kelompok orang asal Indonesia lain yang kini sudah tua. Di antara mereka ini ada nama tokoh PKI Jusuf Adjitorop. Orang seperti dia tak mungkin berharap akan pulang. Apalagi banyak mereka yang bersangkut-paut dengan PKI dulu, dan terdampar di Beijing di tahun 1965, kini sudah pindah ke Eropa yang lebih bebas. Tapi mereka tentunya tak akan merepotkan pulihnya hubungan Beijing-Jakarta. Tapi di luar soal keimigrasian, pemulihan hubungan punya soal lain, yang mungkin sepele: soal penggantian gedung kedutaan RRC. Sebab, halamannya yang semula sudah dipakai untuk perparkiran, sedang gedungnya sendiri teronggok tak terawat. Pemerintah Daerah Jakarta pernah menyebutkan menyediakan tanah penggantinya, entah dibagian mana di kawasan Kuningan. Soal macam ini tak akan dihadapi RRC. Gedung bekas kedutaan besar RI di Beijing tampaknya masih terawat baik. Soal lain menyangkut kepentingan ekonomi. Bisa dikatakan, aba-aba adanya niat baik kedua belah pihak untuk pemulihan hubungan ini justru dimulai dari sektor ekonomi. Resminya dengan penandatanganan MOU (Memorandum of Understanding) di Singapura, Juli 1985, antara Kadin Indonesia dengan CCPIT (Badan Promosi Perdagangan Internasional RRC). Sukamdani Sahid Gitosardjono. waktu itu Ketua Kadin, melalui Komisi Cina Kadin, pada November 1984 mulai berkorespondensi. Tahun berikutnya ia melakukan kontak pertama dengan Menlu RRC (waktu itu) Wu Xueqian yang berkunjung ke Singapura. Disusul kontak dengan perwakilan dagang RRC di Kota Singa itu. Puncaknya: dialog dengan CCPIT. "Setelah puluhan kali masing-masing utusan bertemu, akhirnya tercapai kesepakatan," tutur Sukamdani. Pemerintah juga membuktikan dukungannya. Sebuah Inpres di tahun 1985 dikeluarkan mengatur hubungan dagang langsung Indonesia-Cina. Pada dasarnya, ada hubungan dagang langsung atau tidak, produk RRC sudah biasa masuk ke Indonesia via Hongkong, terutama. Bentuknya: dari alat pertukangan sampai makanan kaleng. Sebaliknya, komoditi Indonesia, seperti karet dan kayu lapis, juga sudah masuk ke Cina Daratan. Perdagangan yang tak memakai barang tapi cukup gencar adalah turisme. Meskipun kunjungan ke RRC resminya diharuskan memakai izin khusus, jumlah turis berpaspor RI yang bepergian ke Cina naik terus. Paling tidak sampai 1987. Dari data yang diterbitkan Zhongguo Louyu Chubanshi (Badan Penerbitan Turisme Cina), tercatat pada 1982 jumlah turis Indonesia di atas 21.000. Pada 1984 ada di atas 23.000. Setelah 1936 naik hampir 24.000, sedang ada 1987 makin bertambah lagi, jadi 38.000. Jumlah ini mungkin berubah menurun, setelah Dirjen Imigrasi Sikap Sinuraya, akhir tahun lalu, mengedarkan ketentuan baru mengenai perjalanan ke RRC. Di sana nampak pembatasan bagi siapa pun yang hendak ke Cina, disertai ancaman pencabutan paspor bagi yang melanggar. Bagaimana ketentuan ini nanti setelah hubungan diplomatik cair kembali, masih harus dilihat. Dari pihak Indonesia keinginan agar pemulihan berlangsung cepat bukannya tak ada. Jauh sebelum ada rintisan yang dimulai dengan hubungan dagang langsung, isyarat pemulihan hubungan bukannya tak pernah dilakukan. Pada akhir 1979, sempat santer terdengar adanya rencana itu. Terutama ketika Wapres (waktu itu) Adam Malik menyatakan bahwa ASEAN akan meningkatkan hubungannya dengan RRC, untuk menjaga keseimbangan dan kestabilan di kawasan Asia Tenggara. Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja waktu itu berhati-hati. Terutama pernyataan Deng Xiaoping pada 1978, ketika itu masih sebagai wakil perdana menteri, vang menyatakan tetap akan menyokong setiap gerakan komunis di Asia Tenggara. Anehnya, pada saat yang sama, RRC selalu menyatakan niatnya untuk pemulihan hubungan dengan Indonesia, disampaikan melalui beberapa pimpinan negara lain yang berkunjung ke Beijing. Beberapa negara besar, seperti AS dan Jepang, bahkan sudah menawarkan diri menjadi perantara. Semuanya secara halus ditolak oleh Indonesia. Mochtar sendiri ketika itu berpendapat. "Kita harus melakukannya atas dasar yang matang, jangan sebagai reaksi. Politik bebas aktif itu bukan reaktif." Harus dicatat, bahwa dari pandangan keamanan, kalangan ABRI cenderung menolak normalisasi hubungan yang mulai didengungkan Adam Malik itu. Tapi kini nampaknya susunan politik internasional sudah berubah. Beijing dan Moskow sudah merencanakan sebuah pertemuan tingkat tinggi pada Mei mendatang, setelah bertahun-tahun mereka bertengkar, biarpun sesama komunis. Kedua negara nampak kian mencurahkan kepada masalah mereka yang akut: tekanan ekonomi, yang tak bisa diatasi dengan doktrin-doktrin komunis yang lama. Tampaknya Soviet dan RRC mulai sadar bahwa untuk orientasi baru ini, baik atas nama perestroika ataupun reformasi, banyak hal tak bisa dilaksanakan dengan meregang urat. Bahkan Beijing sudah mulai berwajah ramah kepada Vietnam, tetangganya yang pernah dia kasih "pelajaran" dengan gempuran artileri. Maka memang sudah tiba saatnya bagi Indonesia untuk mengadakan perhitungan baru. Dan gong pun sudah dibunyikan oleh Pak Harto di Tokyo untuk pelaksanaan "huifu qiaoji. Pendapat di dalam negeri memang belum terdengar jelas, gembira atau tidak. Tapi Sofyan Wanandi, misalnya, kini pengusaha berusia 46 tahun, dulu tokoh yang ikut mengerahkan massa anti-PKI dan RRC, menyatakan bahwa normalisasi sudah waktunya. Meskipun ia menambahkan, "saya lebih banyak melihat dari segi ekonominya." Dalam jangka pendek, tambah Sofyan, RRC memang tak akan memberikan keuntungan ekonomis kepada Indonesia. Tapi, "Kita lebih maju selangkah dalam pembangunan ekonomi dibanding RRC. Maka kita harus melihat RRC, dengan penduduk lebih dari 1 milyar itu, dalam jangka panjang bisa sebagai pasar untuk alternatif ekspor kita. Produk kita harus bisa menembus pasar yang potensial itu." Masih dalam kaitannya dengan kepentingan ekonomi pula, hubungan dengan Taiwan -- negeri yang memiliki investasi di sini sebesar US$ 912,7 juta -- barangkali belum semestinya jadi korban. Paling tidak, demikianlah harapan pemerintahan Taiwan, yang disampaikan juru bicaranya di Jakarta, Calvin Chen. "Kami mengerti bahwa Indonesia menganut One China Policy (hanya mengakui satu saja negara Cina --Red.). Harapan kami, normalisasi hubungan RI-RRC tidak sampai merusak hubungan dengan kami yang ada selama ini," kata Calvin Chen. Hubungan dengan Taiwan selama ini hanya pada tingkat Kamar Dagang. Zhonghua Shanghui alias Kamar Dagang Republik China (Taiwan) berdiri di Jakarta sejak 1971. Beberapa tahun setelah hubungan dengan Beiiing beku, bahkan di paspor dinas Indonesia, seorang pejabat Indonesia tak boleh menggunakannya untuk masuk Taiwan. Di luar itu, para pengamat tampaknya sepakat bahwa "huifu qiaoji" dengan RRC akan banyak nilai plusnya, terutama dari segi geopolitik strategis. Menurut Yusuf Wanandi, dari CSIS hubungan yang baik antara kedua negara besar ini akan bisa sama-sama menjaga stabilitas kawasan. Keamanan dalam negeri? Pemimpin Redaksi Jakarta Post Sabam Siagian terus terang mengatakan, "Apa yang disebu masalah sekuriti dalam negeri jangan mendapatkan aksentuasi berlebihan. Bagi saya, bobot dan makna geostrategis jauh lebih penting." Untuk ke arah itu rasanya perlu juga menengok yang terjadi di dalam RRC sendiri. Apakah gerak reformasi Deng yang didukung oleh Sekjen Partai Komunis Cina Zhao Ziyang, masih bisa akan bertahan sampai beberapa pukuh tahun mendatang? Adakah kemungkinan garis keras dan agresif seperti dulu tak mungkin berulang, bila Deng dan Zhao gagal? Itu pertanyaan yang sulit dijawab.Mohammad Cholid, Budiono Darsono, Yoppie Hidayat, Tri Budianto S. (Jakarta), dan Siichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini