Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Membuka restoran kecil di cina

Pemulihan hubungan diplomatik indonesia-cina diharapkan akan memperlancar hubungan dagang antara cina dengan indonesia. indonesia mencatat surplus dalam perdagangan dengan cina. pendapat beberapa pihak.

4 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA punya minat berdagang ke negeri Cina? Pintu peluang itu mungkin akan menguak lebih lebar bila hubungan diplomatik RI-RRC kelak mencair. Setidaknya sejumlah kerepotan diharapkan akan menghilang setelah normalisasi itu terjadi. Saat ini masih banyak tetek-bengek. Setiap pengusaha yang ingin berdagang dengan Cina lebih dulu harus memperoleh rekomendasi dari KIKC (Kadin Indonesia Komisi Cina). Setelah itu, mereka harus lulus pula dalam skrining yang dilakukan Bakin. "Bahkan pengusaha yang sudah lima-enam kali ke RRC, jika hendak berangkat lagi, tetap harus menjalani skrining di Bakin," kata Boedihardjo Sastrohadiwirjo, Ketua KIKC. Karena itu, meski hubungan dagang langsung kedua negara sudah dibuka hampir empat tahun yang lalu, toh, seperti diamati Boedihardjo, masih banyak pengusaha yang ragu-ragu mengadu untung ke Cina. Soalnya, proses skrining itu membutuhkan waktu yang, menurut Boedihardjo, "tak bisa selesai dalam waktu lima menit." Maka, ada saja pengusaha yang tak mau repot-repot, lantas main "tembak", saja langsung ke RRC. Ada yang tertangkap, ada yang lolos. "Yang tertangkap langsung masuk daftar hitam pihak Imigrasi," kata Boedihardjo, yang juga Direktur Utama Trikora Lloyd, salah satu dari enam perusahaan pelayaran yang ditunjuk pemerintah untuk mengageni kapal-kapal RRC yang masuk ke Indonesia. Sukamdani Sahid Gitosardjono berpendapat, terbukanya saluran diplomatik kedua negara akan memberikan prospek yang cerah pula bagi hubungan dunia usaha kedua negara. Bekas Ketua Umum Kadin itu menunjukkan bagaimana meningkatnya volume perdagangan Indonesia ke RRC sejak dibukanya hubungan dagang langsung kedua negara, setelah penandatanganan Memorandum of Understanding (MOU) antara Kadin (yang waktu itu dipimpin Sukamdani) dan Badan Promosi Perdagangan Internasional RRC (CCPIT), di Singapura, 5 Juli 1985. Menurut data BPS, pada 1985 ekspor Indonesia ke RRC cuma US$ 84.188.000. Jumlah ini meningkat tajam menjadi US$ 343.011.000 pada 1987. Tahun lalu (sampai September), angka itu meningkat lagi menjadi US$ 392.667.000. Memang BPS juga mencatat impor Indonesia dari RRC yang menunjukkan angka yang ternyata lebih besar dari ekspor. Pada 1985, impor Indonesia dari RRC US$ 248.929.000, dan itu meningkat dengan tajam pula pada 1987 (setelah dibukanya hubungan dagang langsung) menjadi US$ 408.571.000. Tahun lalu, sampai September 1988, nilai impor Indonesia dari RRC, US$ 39.451.085. Bila dilihat dari data BPS ini (yang sama dengan data Bank Indonesia), dari 1985 sampai sekarang neraca perdagangan Indonesia dengan RRC menunjukkan angka yang defisit bagi Indonesia. Tapi, menurut data yang ada di Konsulat Jenderal Indonesia di Hong Kong, ternyata Indonesia mengalami surplus dalam neraca perdagangan kedua negara. Menurut catatan Konjen RI itu, sejak 1985 sampai awal 1988, ekspor Indonesia ke RRC mencapai sekitar US$ 1,2 milyar lebih, sedangkan impor dalam periode yang sama cuma US$ 968 juta lebih. Malah, menurut catatan pihak RRC selama hubungan dagang kedua negara dijalin, RRC yang mengalami defisit sampai US$ 770 juta. Betapapun, menurut Sukamdani, "Kita masih surplus dalam perdagangan dengan RRC, sekalipun tidak sebesar yang dikatakan pihak RRC itu." Sukamdani tampaknya lebih akur pada data yang dikeluarkan Konjen di Hong Kong. Ia punya alasan. Menurut pengusaha dan pemilik sejumlah hotel ini, masih ada ekspor barang-barang Indonesia yang dijual ke RRC melalui Singapura dan Hong Kong. "RRC membuka LC (Letter of Credit) melalui Singapura dan Hong Kong," katanya. Saat ini ekspor Indonesia terbesar ke RRC adalah kayu lapis. Ekspor lainnya: karet, kopi, cokelat, semen, pupuk, besi beton, kapulaga produk rotan, besi baja, dan tekstil. Sedang impor dari RRC berupa kapas, kedelai, jagung, makanan ternak, mesin-mesin pertanian, dan batu bara. Pengusaha yang lain, Sofyan Wanandi, melihat bahwa kalaupun kelak hubungan Indonesia-RRC dinormalisasikan, itu lebih banyak karena kepentingan ekonomi. Betul, bahwa sampai saat ini volume perdagangan Indonesia dengan RRC masih kecil dan belum berarti. "Tapi penduduknya yang satu milyar lebih itu merupakan market yang besar untuk alternatif ekspor kita di masa datang," kata bekas tokoh KAMI itu. RRC sekarang berpenduduk 1,1 milyar dengan pendapatan per kapita US$ 350 setahun. Berdasarkan penjajakannya, Sofyan tak percaya bahwa pengusaha-pengusaha WNI yang besar-besar di sini akan memindahkan modal ke RRC setelah normalisasi hubungan diplomatik kedua negara. Katanya, adalah amat bodoh bila ada pengusaha Indonesia yang melarikan modalnya ke Negeri Tirai Bambu itu. Sebab, meski sekarang telah terjadi banyak perubahan, Cina masih tetap negeri komunis. Memang ada pengusaha di sini yang masih punya saudara di negeri leluhurnya itu. Maka, bisa saja terjadi mereka akan membantu saudara-saudaranya. Tapi, menurut Sofyan, kalaupun itu terjadi, "Bantuan itu paling sifatnya cuma manusiawi, misalnya, membantu saudaranya membuka restoran kecil."Amran Nasution, Tri Budianto Soekarno, Budiono Darsono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum