KESEPAKATAN Tokyo, antara Presiden Soeharto dan Menlu Cina Qian Qichen, pekan lalu -- untuk membuka pintu ke arah normalisasi hubungan diplomatik -- bisa dikatakan merupakan puncak dari suatu proses panjang. Hubungan Jakarta-Beijing sejak dimulai pada 1951 memang sering diganggu oleh berbagai persoalan. Soalnya, RRC yang secara resmi berdiri pada 1 Oktober 1949 -- menganggap Indonesia tak lebih dari sebuah negara "fasis". Itu tak lain karena keberhasilan republik yang masih muda itu menindas pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Cina juga menilai Indonesia adalah "negara boneka" Jepang, bangsa yang paling dibenci Cina. Sedangkan Soekarno-Hatta tak lain dari dua tokoh yang mewakili golongan "feodal" dan "aristokrat". Oleh karena itu pula Cina tak bersedia mengakui pemerintah Indonesia lantaran curiga bahwa Jakarta akan menjalankan politik dua Cina. Maklum, pada waktu itu tujuh konsulat Kuomintang masih aktif di Indonesia. Tapi Hatta, yang jadi perdana menteri RI waktu itu, segera mengatakan kepada Jenderal Wu bahwa Indonesia berniat meningkatkan hubungan dengan Beijing. Ia memerintahkan agar ketujuh konsulat Taiwan itu segera berhenti beroperasi, untuk kemudian ditutup. Kenapa Indonesia memilih RRC ketimbang Taiwan? Itu berdasar pertimbangan Hatta: bahwa kalau Indonesia ingin menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif, ia tak boleh mengabaikan Cina. Berita itu terdengar oleh Menlu Zhou Enlai di Beijing. Ia sadar, kalau Cina ingin agar ketujuh konsulat ditutup, RRC mesti mengakui dulu RI. Setelah menunggu sekitar tiga bulan, akhirnya pada 28 Maret 1950 pengakuan itu datang juga. Hubungan diplomasi Jakarta-Beijing dibuka dengan penyerahan surat-surat kepercayaan Duta Besar Wang Renshu kepada Presiden Soekarno pada 14 Agustus tahun itu juga. Namun langkah-langkah awal yang diambil oleh Wang Renshu sungguh tak menggembirakan Jakarta. Ia tak menunggu lama untuk menghubungi berbagai organisasi golongan keturunan Cina. Rupanya Wang, yang sangat chauvinis Cina, mendapat tugas dari Beijing agar memenangkan simpati golongan Cina yang tadinya telah digalang oleh perwakilan Kuomintang. Maka terjadilah perebutan pengaruh atas kesetiaan golongan minoritas Cina di Indonesia antara RRC dan sisa-sisa Kuomintang. Kekuatan ekonomi golongan Cina di Indonesia merupakan salah satu sumber keuangan yang ingin dipetik RRC dalam membantu pembangunan ekonomi. Kekesalan Indonesia atas sepak-terjang Wang didasarkan pada alasan kuat. Segera setelah hubungan diplomatik terbentuk, di samping kedutaan besarnya di Jakarta, RRC juga membuka konsulat di Medan, Jakarta, Banjarmasin, dan Ujungpandang. Masalah konsulat ini erat hubungannya dengan soal Cina Perantauan (huaqao), yang menurut U.U. Cina yang berlaku pada waktu itu termasuk warga negara RRC. Padahal berdasarkan Konperensi Meja Bundar (KMB), orang Cina yang lahir di Indonesia, yang menurut hukum penjajahan diakui sebagai kawula Hindia Belanda, dengan sendirinya -- setelah Pengakuan Kedaulatan -- menjadi warga negara Indonesia. Dikecualikan dari ketentuan itu adalah mereka yang menolak kewarganegaraan Indonesia selama dua tahun setelah 27 Desember 1949 itu. Tapi, sebagai hasil gebrakan Wang itu, RRC berhasil menanamkan pengaruhnya di kalangan minoritas Cina di Indonesia. Sekitar 600 sampai 700 ribu orang dari mereka menyatakan dirinya sebagai warga negara RRC dan menolak kewarganegaraan Indonesia. Jumlah itu cukup besar karena merupakan 40% dari seluruh warga Cina yang berada di Indonesia. Selain itu, RRC juga berhasil menarik Bank of China untuk membelot dari Taiwan ke Negeri Leluhur. Mungkin lantaran ulah Wang Renshu itulah Indonesia hanya diwakili oleh Kuasa Usaha Ishak Mahdi, yang baru sampai di Beijing enam bulan setelah peresmian hubungan diplomatik. Malahan baru pada Oktober 1953 Indonesia mengangkat Arnold Mononutu sebagai duta besarnya yang pertama di Beijing. Tapi hubungan Jakarta-Beijing berangsur-angsur bertambah baik setelah Wang Renshui yang kontroversial ditarik dan digantikan oleh Huang Zhen yang tiba di Jakarta pada November 1954. Hubungan itu makin hangat dengan keberhasilan Indonesia menyelenggarakan Konperensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada April 1955. Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Zhou Enlai -- yang mengetuai delegasi RRC -- menjadi bintang konperensi. Dengan tegas Zhou mengatakan bahwa kedatangan delegasi Cina ke Bandung adalah untuk mencari persamaan dan kerja sama, dan bukan pertengkaran. Hal-hal yang dikatakan Zhou itu sungguh mengena dengan sikap Bung Karno waktu itu, yang berpendapat bahwa netralisme tak berarti berdiam diri terhadap gerak-gerik neokolonialime, kolonialisme, dan imperialisme (Nekolim). Masa pasca-1955 merupakan awal zaman keemasan persahabatan erat antara Indonesia dan Cina. Hubungan yang makin mesra itu ditandai pula dengan diadakannya Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan, tak lama sebelum KAA berlangsung. Kedua pihak berharap agar perjanjian itu akan mengakhiri konflik antara kedua pihak dalam masalah minoritas Cina. Hubungan itu makin mesra setelah Bung Karno pada 1956 berkunjung ke RRC dan terkesan dengan sistem politik di sana. Meskipun demikian, itu tak berarti bahwa tak ada kerikil-kerikil tajam dalam hubungan kedua negara. Menjelang 1960 muncul cobaan. Perjanjian soal kewarganegaraan itu ternyata, karena beberapa hal teknis, tak bisa direalisasikan dan bahkan diratifikasi dengan segera. Di beberapa daerah, terutama Jawa Barat dan Jawa Timur, muncul berbagai insiden. Penguasa militer setempat, atas dasar alasan-alasan keamanan, melarang orang asing (baca: Cina) berdiam di wilayah-wilayah di bawah kecamatan. Atas dasar peraturan -- yang kemudian dikenal dengan PP 10/1959 itu -- terjadilah pengusiran atas orang-orang Cina yang tadinya berdiam dan mencari nafkah di desa-desa. Ternyata tindakan itu mengundang kemarahan Beijing. Kedubes RRC di Jakarta segera mendaftar orang keturunan Cina yang ingin pulang ke Negeri Leluhur. Waktu itu ada sekitar 119 ribu orang yang terdaftar untuk dipulangkan ke Cina. Sebagian bisa pulang ke Cina, namun banyak yang urung meninggalkan Indonesia, karena kapal-kapal Cina -- entah kenapa -- tak lagi datang menjemput. Namun krisis itu akhirnya bisa diredam. Akhirnya Perjanjian DwiKewarganegaraan berhasil ditandatangani pada 1960. Setelah 1959 hubungan Indonesia-Cina makin bertambah mesra saja. Netralisme aktif Indonesia makin berimpit dengan strategi politik luar negeri Cina yang juga makin kekiri-kirian. Bahkan setelah 1963 terbentuklah apa yang dinamakan dengan Poros Jakarta-Peking -Hanoi-Pyongyang, yang pada dasarnya terdiri dari negara-negara yang radikal. Akan halnya usaha RRC menempel Indonesia, itu tak lain demi kepentingan nasional RRC sendiri. Tujuan utama RRC adalah untuk menolong PKI. Cina berharap, dengan menempel Soekarno, akan terbuka peluang bagi PKI untuk sampai ke pusat kekuasaan. Dan akhirnya -- kalau PKI sukses -- itu akan menempatkan Indonesia di bawah komunisme dan dengan demikian akan pro-RRC. PKI, sejak 1961 di bawah Aidit memang makin pro-Beijing saja. Aidit, misalnya, menerapkan konsep Mao Zedong yang menekankan pada perjuangan kaum tani sebagai "sokoguru revolusi" -- dan kebetulan sekali menjadi retorik yang paling disukai Bung Karno. Banyak tulisan Aidit di segala bidang, mulai dari politik, strategi perjuangan, ekonomi, sampai kesusastraan, mengambil alih begitu saja karya-karya Mao. Alhasil PKI di bawah Aidit ingin menerapkan pengalaman revolusioner Partai Komunis Cina di Indonesia. Tentu saja, dengan "disesuaikan" pada kondisi Indonesia -- persis seperti yang dikatakan Mao pada 1930-an dulu, ingin menerapkan Marxisme sesuai dengan kondisi Cina. Mungkin oleh karena itulah pada 5 September 1963 Aidit diangkat sebagai anggota kehormatan Academia Sinica (Akademi Ilmu Pengetahuan). Dengan meletusnya G30S-PKI pada 1965, strategi Cina di Indonesia berantakan. Usaha Cina untuk menguasai perkembangan politik di Indonesia gagal. Yang paling terpukul dari kegagalan itu tentu PKI sendiri. Dengan sendirinya hubungan Indonesia-Cina terpengaruh. Soalnya, para penguasa Orde Baru Indonesia menuduh Cina tahu sebelumnya akan rencana kudeta G30S-PKI, bahkan terlibat di dalam persekongkolan itu. Terjadilah saling mengusir diplomat. Gelombang anti-komunis di Indonesia sejak Oktober 1965 dan meletusnya Revolusi Kebudayaan di Cina pada 1966 telah membawa kedua pihak berada pada dua ujung yang saling berlawanan dan ekstrem. Indonesia menuduh RRC bersama dengan PKI mendalangi Gerakan Tigapuluh September, sedangkan Cina menuduh pemerintah baru Indonesia sebagai pemerintah "fasis" yang menindas "perjuangan rakyat". Tuduhan terhadap RRC itu makin diperkuat lagi lantaran negeri komunis itu ternyata melindungi tokoh-tokoh PKI yang ketika G30S meletus kebetulan berada di sana. Kedubes RRC di kawasan Kota, Jakarta, beberapa kali di demonstrasi massa, bahkan diserbu. Pada 1967, tak dapat dihindari lagi, hubungan diplomatik pun menjadi beku. Sidang-sidang Mahmilub atas para tokoh peristiwa berdarah September 1965 itu kemudian memberi indikasi bahwa RRC, paling tidak, tahu akan gerakan PKI itu. Info yang menyatakan sakit parahnya Bung Karno, misalnya, justru datang dari tim dokter Cina -- yang memeriksa kesehatan Bung Karno -- membocorkannya kepada Aidit. Sakitnya Bung Karno itulah yang mendorong Aidit mendahului mengadakan gerakan militer agar tidak "didahului" Angkatan Darat, penghalang utama PKI mencapai puncak kekuasaan. Mao meninggal pada 1976, dan diikuti oleh kampanye mengikis unsur-unsur radikal kiri di dalam partai dan pemerintahan. Para penguasa baru RRC, apalagi setelah Deng Xiaoping berhasil mengkonsolidasikan kekuasaannya, mulai mendekati Indonesia untuk mengadakan normalisasi. Tapi, sebegitu jauh, Indonesia belum berminat, dan menuding RRC dan PKC masih mendukung sisa-sisa PKI dan para pembelot kiri lainnya di kawasan ini. Tuduhan itu memang ada benarnya. Buktinya, sampai akhir 1978 media massa Cina selalu mengirimkan ucapan selamat pada HUT PKI atau partai-partai komunis lain di Asia Tenggara. Beberapa pemimpin PKC pernah menyatakan bahwa secara prinsip, mereka akan selalu mendukung gerakan komunis di mana pun. Tapi sejak 1979 ucapan-ucapan semacam itu makin jarang, dan belakangan tak ada lagi. Yang lebih menonjol lagi adalah makin tersingkirnya ideologi komunis. Sehingga banyak yang mengatakan bahwa Cina sedang bergerak ke arah kapitalisme. Karena itu, ucapan para pemimpin Cina -- bahwa ia tak lagi berhubungan dan mendukung PKI -- tampaknya bukanlah sekedar suatu langkah politik untuk mengelabui Indonesia. Meski kemungkinan untuk itu bukannya sama sekali tak ada.A. Dahana, Jopie Hidayat, dan Budiono Darsono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini