Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Setelah Perang dan Sandiwara

19 Oktober 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

  • Hasif Amini

    Dunia adalah medan perang. Inilah sebuah ”metafor induk” yang, mungkin tanpa kita sadari, telah jauh meresap ke dalam cara berpikir dan berbahasa kita. Metafor turunannya pun bertebaran dalam medium lisan dan tulisan.

    Alangkah sering komentar atau berita pertandingan sepakbola atau catur, misalnya, berisi kata-kata ini: taktik, strategi, manuver, serangan balik, benteng, pertahanan, merebut, menguasai, menaklukkan, dan seterusnya. Deretan kata itu pun tak sulit kita jumpai dalam pembicaraan tentang bisnis atau politik. Di dunia kesenian atau penerbitan, jika seseorang atau suatu kelompok mengadakan pelbagai kegiatan di luar jalur resmi, ia atau mereka bisa dianggap (atau menganggap diri) melakukan gerilya. Di masa lampau, negeri ini pernah mengalami zaman politik sebagai panglima. Dan bahasa kita, selain menyimpan ungkapan lama seperti senjata makan tuan, juga menyerap istilah dari khazanah asing semisal kamuflase atau bom waktu.

    Tak jelas betul sejak kapan pandang-an tentang ”dunia sebagai medan perang” itu mulai bekerja. Lima abad sebelum Masehi, Heraklitos konon pernah berkata, ”Perang adalah ayah segala hal-ihwal.” Tetapi aforisme itu tampaknya hanyalah sebuah simpul dari benang panjang pikiran manusia yang memandang konflik dan kekerasan sebagai keadaan alamiah kehidupan di muka bumi. Memang alam menghamparkan diri sebagai medan yang sering tampak ganas: ada hewan (bahkan tumbuhan) pemangsa, virus dan bakteri pembunuh, gas beracun, angin penggulung, dan seterusnya. Sederet bahaya ini, ditambah mudahnya perseteruan meletup antara puak-puak yang bertetangga, barangkali lambat laun membangkitkan pandangan yang bersumbu pada citraan ”medan perang bernama dunia” itu.

    Soalnya kemudian: pilihan metafor bisa menentukan bagaimana kita melihat dan memperlakukan hal-ihwal di dunia. Bukankah orang yang sering membawa golok di pinggang akan cenderung mengandalkan goloknya untuk menyelesaikan masalah? Karena itu kita perlu bertanya lagi: jika ternyata kita diam-diam gemar menggunakan pelbagai turunan metafor ”dunia adalah medan perang”, apakah itu suara bawah sadar kita yang cenderung kepada sikap berseteru ketimbang bersikap damai? (Oh, tapi tentu saja ada kemungkinan lain: metafor sebagai sublimasi. Kita menggunakan metafor bermuatan kekerasan justru untuk menyalurkan dorongan-dorongan brutal ke dalam bentuk verbal sehingga tak menjelma jadi tindakan.)

    l l l

    Sebuah metafor induk lain menawarkan pemandangan agak berbeda: dunia adalah panggung sandiwara. Pada akhir 1970-an Achmad Albar menyanyikan lirik Taufiq Ismail: ”Dunia ini panggung sandiwara/ Ceritanya mudah berubah….” Barang tentu itu bukan kali pertama metafor demikian muncul ke tengah orang ramai. Pada awal abad ke-17 William Shakespeare, dalam lakon As You Like It, pernah menulis: ”All the world’s a stage/ And all the men and women merely players.” Jika dunia adalah semacam teater besar yang berisi sekian banyak lakon, babak, peran, pemain, dengan sutradara dan khalayak penontonnya, dengan rangkaian klimaks dan antiklimaksnya; maka kita pun cenderung mafhum bahwa pelbagai rangkaian peristiwa di dalamnya sampai taraf tertentu ”sudah disuratkan”—meski entah bagaimana (mungkin dari luar atau mungkin dari dalam diri), sehingga tetap bisa mengejutkan pada setiap momen kejadiannya. Dengan kata lain, dunia adalah sebangun konstruksi, sebentuk ”rekaan”, yang belum selesai dan terus digerakkan oleh para pelaku yang memainkan peran masing-masing di ”panggung” itu.

    Metafor ”medan perang” menekankan watak keras dan berbahayanya kehidupan dunia, dan karena itu cenderung melupakan sifat lembut dan moderatnya iklim bumi yang telah memungkinkan munculnya kehidupan. Sedangkan metafor ”panggung sandiwara” menonjolkan watak bermain dan berubah-ubahnya dunia, dan dengan begitu bisa agak melalaikan kenyataan kian lanjut dan seriusnya masalah kelangsungan hidup para makhluk di dunia. Betapapun, sebuah metafor bisa bermanfaat memberi gambar yang hidup dan intens untuk konteks pembicaraan tertentu, bukan untuk setiap keadaan.

    l l l

    Dunia dan kehidupan di atasnya niscayalah sangat beraneka. Setiap metafor pada akhirnya memang menampilkan hanya sebagian atau bahkan secuil gambaran dunia. Demikianlah, selain sebagai medan perang dan panggung sandiwara, dunia niscaya ”adalah” hal-hal lain juga: pasar, kebun binatang, rumah sakit, kampung, lapangan olahraga, jalan raya, dan sebagainya. Masing-masing bisa menjadi metafor induk dengan pelbagai turunannya. Silakan pilih, tapi hati-hati sebelum ”membeli”.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus