Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bambang Bujono
*) Wartawan
APA makna kata ”hadir”? Mungkin sekali Anda mendengar atau membaca kata itu lebih dari sekali dalam sehari. Seandainya tak sesering itu, ”hadir” bukanlah kata yang sulit dimengerti sehingga Anda harus membuka kamus. ”Hadir” adalah kata sederhana, yang maknanya juga biasa: ada atau datang.
Tapi belakangan ini, di Mahkamah Konstitusi, makna kata ”hadir” diperdebatkan dengan sungguh-sungguh. Makna yang disepakati bisa menentukan apakah keputusan dalam sebuah sidang DPR sah atau tidak. Ada ketentuan bahwa sidang DPR bisa mengambil keputusan bila dihadiri oleh lebih dari separuh jumlah anggota.
Diketahui kemudian, ada sidang yang dihadiri kurang dari separuh jumlah anggota namun sidang itu tetap mengambil keputusan karena yang hadir sudah memenuhi persyaratan. Dalam kalimat tersebut kata ”dihadiri” mengacu pada keberadaan anggota secara fisik: ia ada dalam sidang—entah duduk atau berdiri, mungkin pula jongkok. Sedangkan kata ”hadir” yang dicetak miring itu menghitung keberadaan anggota Dewan menurut jumlah tanda tangan pada daftar hadir.
Adakah ”kehadiran” anggota Dewan dalam konteks ini harus berarti anggota itu hadir secara fisik di dalam sidang? Atau cukup anggota itu datang sampai di meja daftar hadir, memberikan tanda tangan, menengok sebentar ke dalam ruangan, lalu pergi, bahkan sehabis menandatangani daftar hadir, ia langsung menghilang?
Mungkin, dua makna tersebut benar. Kamus bahasa Indonesia (Kamus Besar Bahasa Indonesia cetakan yang mana pun) membuka peluang penafsiran ”hadir” seperti itu, karena penjelasan di kamus begitu sederhana: arti kata hadir adalah ada atau (ada) datang. Tak ada penjelasan lanjut, misalnya, apakah hadir itu bermakna ada selama acara dilangsungkan, atau bisa saja hadir sebentar atau setengah bentar. Dan bisakah dianggap ”hadir” meski hanya teken di daftar hadir lalu meninggalkan tempat pertemuan.
Tapi sebuah kamus adalah kamus dan bukan buku pelajaran bahasa. Ketika sebuah kata dalam kaitan tertentu diartikan berbeda, untuk menentukan arti yang tepat dari kata tersebut mungkin tak cukup dengan hanya melihat lema kata itu dalam kamus. Mungkin diperlukan ”diskusi”. Misalnya, perlu dipertanyakan, untuk apa seorang anggota Dewan hadir dalam sidang. Akal sehat mengatakan, anggota Dewan itu diharapkan terlibat dalam sidang, ikut berpikir tentang yang disidangkan, berpendapat, berargumentasi, menolak, menyetujui, atau abstain. Dari diskusi itulah diharapkan sebuah keputusan dalam sidang—kesepakatan bulat, musyawarah, atau melalui pemungutan suara—sahih dan beralasan kuat.
Jadi, mungkinkah tanda tangan di daftar hadir bisa diajak berpikir, berpendapat, atau memberikan suara dalam pemungutan suara? Kiranya—selain dalam dongeng nan fantastis atau dalam film kartun dan animasi—hal ini sulit (untuk tak mengatakan mustahil) terjadi: seleret tanda tangan bisa bicara bahkan menyatakan pendapat. Alhasil, makna ”hadir” dalam sebuah sidang DPR yang harus mengambil keputusan, dan ditetapkan bahwa sidang hanya bisa melakukannya bila dihadiri lebih dari setengah jumlah anggota, adalah bermakna kehadiran nyata: kehadiran tubuh dan jiwa.
Dan sesungguhnya, dengan makna tersebut, ”hadir” secara nyata pun bisa dimaknai ”tidak hadir”, yakni apabila yang bersangkutan hanya tidur, mengobrol dengan sesama anggota di sebelahnya, dan tidak mempedulikan masalah yang disidangkan. Bahkan ketika yang bersangkutan ini memberikan suara dalam pemungutan suara, karena ia tak memahami persoalan yang disidangkan, suaranya seharusnya tak dihitung—atau ia tak dilibatkan dalam pemungutan suara itu. Lebih jauh lagi, bila anggota ini tak menguasai masalah yang diperdebatkan, tak memiliki ”ilmu” berkaitan dengan persoalan yang hendak diputuskan, ia sebenarnya juga ”tidak hadir”. Tapi kita mesti berasumsi baik bahwa partai-partai telah memilih orang yang mempunyai otoritas di bidangnya. Kalau tidak, kita mesti mendukung kalau ada presiden hendak membubarkan DPR.
Alhasil, mungkin bijaksana ketika dalam suatu sidang DPR peserta tak menyanyikan lagu kebangsaan yang seharusnya dilakukan. Soalnya pemimpin sidang khawatir, meski jumlah yang ”hadir” lebih dari separuh anggota, ”para hadirin” yang diminta berdiri untuk menyanyikan lagu kebangsaan hanya menghasilkan paduan suara yang antara terdengar dan tidak. ”Para hadirin” itu sebagian besar ternyata hanyalah tanda tangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo