Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Seusai normalisasi ri-rrc

Indonesia dan rrc menjalin kerjasama di bidang po- litik dan ekonomi. rrc tetap mempertahankan sosia- lisme dengan menerapkan mekanisme pasar pada pere- konomian dan membuka diri pada perdagangan.

18 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seusai Normalisasi RI-RRC MOHAMMAD SADLI KUNJUNGAN dari Indonesia ke RRC sangat meningkat. Tapi, untuk itu, masih diperlukan izin khusus. Tampaknya, tak ada alasan yang masuk akal lagi untuk memberlakukan batasan itu, kecuali mungkin sekadar inersia birokrasi. Kalau tak ada pembatasan, mungkin delegasi atau rombongan yang mau pergi ke Cina akan lebih banyak lagi. Rombongan Kadin sekitar 80 orang, dan delegasi CSIS yang kami sertai -- sekitar 40 orang -- berkunjung ke Cina pekan lalu. Hubungan bilateral telah maju sekali. Dengan kemajuan itu, nilai ekspor-impor Indonesia mencapai US$ 1,2 milyar setahun. Tak terhitung yang lewat Singapura dan Hong Kong. Prestasi itu masih bisa meningkat. Indonesia sudah dianggap sebagai mitra dagang besar bagi RRC. Tapi masih kalah dengan Singapura dan Muangthai. Walaupun ada yang mengharapkan Singapura dan Hong Kong sebagai middlemen bisa disisihkan, peran kedua pelabuhan transito ini tetap akan besar. Keduanya punya keunggulan dalam infrastruktur. Lebih menguntungkan bila hal itu dimanfaatkan saja. Perdagangan RRC-Amerika Serikat pun punya pola yang sama. Apakah dalam jangka panjang neraca perdagangan bilateral surplus atau defisit janganlah dianggap terlalu penting. Sekarang Indonesia punya sarplus. Tapi, di kemudian hari, hal itu bisa berbalik. Ekspor Indonesia sebagian terbesar masih berupa komoditi primer, terolah atau belum. Dari RRC, kita impor barbagai hasil industri. Kita punya pesaing, yakni Malaysia dan Muangthai. Sementara itu, RRC juga harus bersaing dengan banyak negara Asia lainnya dalam memasok barang industri. Dewasa ini banyak terdengar keluhan adanya dumping barang RRC di pasar Indonesia. Hal ini juga dibicarakan di pertemuan kami di Shanghai dan Beijing itu. Delegasi RRC meberi keterangan bahwa gejala banting harga selalu bisa timbul sebagai akibat cara kalkulasi biaya pokok dan harga di BUMN Cina, subsidi ekspor yang masih berlaku (akan tetapi mau dihapuskan), dan persaingan sengit antara BUMN pusat dan daerah. Melihat RRC pertama kali lewat Shanghai dan Beijing, timbullah tanda tanyan. Dunia menyebut negara ini miskin, 40% di bawah pendapatan per kapita Indonesia. Tak tampak demikian, terutama di Beijing yang sudah menjadi ibu kota modern, dengan jalan-jalan yang lebar, lurus, banyak underpass dan overpass. Lagi pula, di mana-mana tampak gedung perumahan rakyat yang tinggi dan yang baru. Shanghai yang lebih besar (13 juta) tak nampak semakmur Beijing karena "tak punya duit" untuk membangun flat-flat baru dan jalan raya. Padahal, keluh orang Shanghai, mereka menyumbang 15% dari anggaran belanja Pusat. Baru sekarang Shanghai punya rencana perluasan kota yang lebih modern, di sebelah timur sungai besar, yang dalam sejarah tak berkembang karena tak adanya jembatan. Sekarang dua terowongan sudah selesai dibangun dan kelak dua jembatan panjang akan selesai konstruksinya. Di daerah Pudong ini juga akan tersedia untuk lokasi khusus perusahaan asing. Sejak modernisasinya (mulai 1979) RRC menerapkan ekonomi pasar, dan kemajuannya sejak itu mengesankan sekali. Seperti Indonesia sejak 1967, RRC sejak 1979 menempatkan pembangunan ekonomi pada urutan pertama, dan sasaran-sasaran lainnya tidak boleh mengganggu prioritas baru ini. Empat sektor dijadikan sasaran modernisasi: industri, pertanian, teknologi, dan pertahanan. Maka, kepentingan pertahanan dan politik tak nomor satu lagi. Ini punya konsekuensi yang luas. Politik luar negeri mencari perdamaian dan kerja sama untuk mendukung sasaran pembangunan (ekonomi). Karena Orde Baru di Indonesia juga sama haluannya, kerja sama di bidang politik dan ekonomi menjadi mudah. Delegasi CSIS juga punya kesan kuat bahwa Cina menghendaki sekali kerja sama dengan Indonesia, yang dipandangnya negara berkembang terbesar lain di kawasan Pasifik. Yang menjadi teka-teki penulis ini adalah sistem politik yang masih berkuasa di RRC. Mereka tetap mempertahankan sosialisme, tidak seperti beberapa negara Eropa Tengah yang sudah menanggalkan sosialisme dan mau meniru sistem demokrasi dan ekonomi Eropa Barat. Di lain pihak, RRC menerapkan "mekanisme pasar" pada perekonomiannya dan membuka dirinya terhadap perdagangan dunia. Ekspornya sudah sangat meningkat, mendekati US$ 60 milyar setahun, jadi sudah setingkat NIEs (empat Macan Asia). Indonesia belum mencapai US$ 25 milyar setahun. Surplus ekspornya ke AS sekitar US$ 10 milyar sehingga AS marah-marah dan mengancam menarik status MFN-nya, sekaligus mau menekan beberapa persyaratan politik (pelepasan tahanan demonstrasi Lapangan Tiananmen, kebebasan bersuara, dan sebagainya). RRC punya beberapa big country complex (seperti juga Indonesia dan India). Terhadap AS tak akan lekas mengalah, lebih baik menderita sekiranya status MFN dicabut. Di pihak lain, Jepang dan Korea Selatan lebih cepat tunduk. Presiden Bush sebetulnya mengerti dan mau kompromistis, tetapi Senat dan Kongres kepala batu. RRC juga tampak sangat sensitif terhadap kemungkinan re-militerisasi Jepang, mungkin karena ia sendiri sudah bertekad tidak membangun angkatan perang yang mahal. Apa konsekuensi tetap mempertahankan sosialisme di satu pihak dan mematuhi mekanisme pasar di lain pihak? Apa pengaruhnya terhadap saingan dagang dengan Indonesia? RRC belum mau melepaskan dominasi perusahaan negaranya. Peran swasta masih kecil, terutama di pertanian, industri, perbankan, transpor, atau niaga, masih monopoli BUMN, walaupun timbul persaingan antara BUMN pusat, daerah, joint ventures, dan lain-lain. Tetapi produktivitas serta efisiensi BUMN tetap rendah, dan di sini, Indonesia, dengan sektor swasta yang kuat, mungkin bisa menang persaingan di pasar dunia. Sebetulnya, ada tiga atau lebih ekonomi di Cina: ekonomi dari coastal areas, pedalaman, PMA dan perusahaan patungan, serta dari special economic zones. Apa konsekuensi jangka panjang sistem campuran yang gado-gado ini? Apakah akhirnya sistem ekonomi-kapitalis dan sistem politik demokrasi parlementer akan menggeser sistem lama? Pada saat ini, Partai Komunis masih berkuasa di Beijing. Tetapi "peralihan generasi" berjalan dan mereka akui sendiri akan berpengaruh besar. Maka, rupa dan pola RRC 10-20 tahun yang akan datang merupakan tanda tanya besar. Apa saja bisa terjadi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus