Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Indonesia akan mulai ikut skema perdagangan karbon pembangkit batu bara.
Skema regulasi yang ada dan tarif perdagangan karbon banyak celah.
Pemerintah mesti menyiapkan langkah pendukung mendorong penurunan emisi.
SETELAH uji coba perdagangan karbon pembangkit listrik batu bara sukses tahun lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral akan mulai meresmikannya pada 1 April 2022. Dalam dua bulan ini Kementerian meminta semua pembangkit mendata emisi mereka untuk dicatat sebagai komoditas yang akan diperdagangkan hingga 31 Desember 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada tiga skema perdagangan karbon sektor energi: cap and trade, carbon offset, dan pajak karbon. Cap and trade adalah perdagangan emisi yang memakai batas (cap) emisi diizinkan. Pembangkit yang emisinya melebihi batas yang ditetapkan pemerintah itu harus membeli hak mengemisi kepada pembangkit produksi emisinya yang lebih rendah dari batas tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika emisi masih berlebih, pembangkit bisa memakai carbon offset, yakni membeli penyimpanan karbon kepada mereka yang menjaga lingkungan. Apabila masih berlebih juga, pemerintah mengizinkan pembangkit membayar pajak karbon senilai Rp 30 ribu per ton setara karbon dioksida (CO2).
Perdagangan karbon merupakan amanat Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang nilai ekonomi karbon sebagai satu cara mitigasi krisis iklim. Pemerintah Indonesia sudah berjanji kepada dunia melalui Konferensi Iklim 2015, atau yang dikenal sebagai Perjanjian Paris, mengurangi emisi karbon sebanyak 29-41 persen dari 2,87 miliar ton setara CO2 pada 2030.
Perdagangan karbon adalah satu skema menurunkan emisi gas rumah kaca sebagai penyebab krisis iklim tapi menguntungkan secara ekonomi. Indonesia masuk gelanggang perdagangan emisi seperti 24 negara maju lain di dunia yang lebih dulu menerapkannya untuk bersama-sama mencegah suhu bumi naik di atas 1,5 derajat Celsius pada 2030.
Masalahnya, skema perdagangan karbon sektor energi masih lunak kepada produsen emisi. Dengan pajak karbon, pemerintah sesungguhnya menyediakan jalan pintas. Dengan tarifnya yang murah dan flat, pengelola pembangkit batu bara akan langsung memilihnya dengan mengabaikan dua skema lain yang ruwet karena harus bernegosiasi dengan pembangkit lain atau dengan pembangkit energi terbarukan.
Penetapan pajak karbon juga riskan membuat skema cap and trade dan carbon offset macet. Harga karbon yang terbentuk dalam skema ini mau tidak mau lebih rendah dari pajak karbon agar menjadi pilihan. Harga karbon yang murah tak menjadi insentif bagi mereka yang rendah produksi emisinya atau insentif kepada pembangkit energi terbarukan.
Di negara lain, pajak karbon dipatok tinggi untuk membebani produsen emisi sehingga mereka segera menurunkan emisinya dengan beralih ke energi terbarukan. Akibatnya, harga karbon juga mahal sehingga menjadi insentif bagi mereka yang memakai energi bersih. Di Finlandia, misalnya, pajak karbon US$ 24,39 atau Rp 349 ribu per ton CO2. Pajak karbon Singapura Rp 53 ribu per ton.
Kementerian Keuangan memang berjanji menaikkan pajak karbon secara gradual, tapi tata waktunya tak jelas. Apalagi batas emisi yang boleh diproduksi juga belum ditetapkan turun secara drastis setiap tahun. Padahal harga dan batas emisi akan memaksa produsen karbon menekan produksi gas rumah kaca mereka.
Meski menguntungkan secara ekonomi, tujuan utama perdagangan karbon adalah menurunkan emisi untuk mencegah krisis iklim. Tanpa batasan-batasan jelas, keras, dan tegas, perdagangan karbon akan berakhir sebagai cuci dosa alias greenwashing belaka.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo