Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 dimaksudkan untuk menjamin kesejahteraan para pekerja di masa tua.
Namun aturan tersebut dianggap merugikan pekerja.
Dalam banyak kasus, persoalan dapat muncul dari istilah serta definisi yang tidak tepat atau kabur.
DALAM beberapa pekan terakhir, tak ada kata yang lebih pegah daripada kata pensiun. Kepegahan kata pensiun ini setidaknya disokong oleh berita ihwal diundangkannya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pensiun didefinisikan sebagai 1) tidak bekerja lagi karena masa tugasnya sudah selesai, 2) uang tunjangan yang diterima tiap bulan oleh karyawan sesudah ia berhenti bekerja atau oleh istri (suami) dan anak-anaknya yang belum dewasa kalau ia meninggal dunia. Sementara itu, Cambridge Dictionary memberikan definisi pensiun sebagai an amount of money paid regularly by the government or a private company to a person who does not work any more because they are too old or have become ill.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peraturan menteri yang berlaku pada 4 Februari 2022 ini dimaksudkan untuk menjamin kesejahteraan para pekerja di masa tua. Namun para pekerja justru menilai sebaliknya. Aturan tersebut dianggap merugikan mereka. Di tengah-tengah masa pandemi yang belum selesai ketika banyak pekerja dikenai pemutusan hubungan kerja, aturan pengambilan manfaat JHT yang terdahulu mereka anggap lebih masuk akal. Pekerja yang kena pemutusan hubungan kerja (PHK) dapat memanfaatkannya untuk merintis usaha dan/atau untuk bertahan hidup.
Dalam banyak kasus, persoalan dapat muncul dari istilah serta definisi yang tidak tepat atau kabur. Jika kita selisik lebih jauh, aturan-aturan yang membawahkan ihwal tenaga kerja ini kabur dalam definisi usia pensiun.
Aturan-aturan tersebut meliputi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dan tentunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Sebelum Undang-Undang Cipta Kerja berlaku, Serikat Pekerja Perusahaan Listrik Negara menggugat ketidakjelasan usia pensiun ini ke Mahkamah Konstitusi. Pasal yang dipermasalahkan adalah Pasal 154 huruf C Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dalam pasal itu disebutkan, “Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat 3 tidak diperlukan dalam hal: pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan” (Tempo.co, Kamis, 17 September 2020). Namun ikhtiar itu kandas di tengah jalan seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 ketika Pasal 154 huruf c dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dihapus. “Permohonan penggugat kehilangan obyek,” demikian argumen dari MK.
Meskipun demikian, kekaburan definisi (usia) pensiun “seolah-olah” pindah ke Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 yang tidak sinkron dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015. Dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 Pasal 3 disebutkan, “Manfaat JHT bagi peserta yang mencapai usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a diberikan kepada peserta pada saat mencapai usia 56 (lima puluh enam) tahun.” Sementara itu, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015 dalam ketentuan umumnya (Pasal 1 ayat 15) menyebutkan, “Usia pensiun adalah usia saat peserta dapat mulai menerima manfaat pensiun.” Dan, dalam peraturan pemerintah yang sama, usia pensiun versi pemerintah ini “bergerak”. Saat pertama kali diundangkan, usia pensiun versi PP Nomor 45 adalah 56 tahun, mulai 1 Januari 2019 menjadi 57, dan selanjutnya bertambah satu tahun untuk setiap tiga tahun berikutnya sampai mencapai usia pensiun 65 tahun.
Maka seharusnya yang tak kalah penting untuk dikritik adalah (usia) pensiun versi PP Nomor 45 Tahun 2015.
Pensiun yang dalam masa penjajahan Jepang disebut sebagai “onyokin” adalah uang kurnia yang diberikan kepada bekas pegawai yang telah bertahun-tahun bekerja di dinas pemerintah (Aswin Eka Adhi, Pengertian dan Ruang Lingkup Pensiun Pegawai). Dari pengertian ini semestinya tidak ada “bolong waktu” antara seorang pekerja yang telah memasuki usia pensiun dan hak pensiunnya mulai dibayarkan. Karena rata-rata perusahaan menentukan usia pensiun pekerjanya pada usia 56 tahun, jaminan pensiun yang diatur dalam PP Nomor 45 baru akan diterima beberapa tahun kemudian. Penyebabnya adalah beda antara usia pensiun riil pekerja dan usia pensiun versi PP Nomor 45. Dan “bolong waktu” paling lama akan dialami oleh pekerja yang mulai memasuki masa pensiun (dengan asumsi usia pensiun riil 56 tahun) pada 2043. Pada tahun itu, usia pensiun versi PP Nomor 45 telah mencapai “puncaknya”, yakni 65 tahun.
Atas aturan-aturan ketenagakerjaan tentang pensiun yang polemis ini, saya jadi teringat (almarhum) Bob Sadino. Dia menyatakan bahwa sebagus-bagusnya produk adalah yang cocok dengan selera konsumen.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo