Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Maaf

Perdana Menteri Belanda meminta maaf atas kekerasan ekstrem selama masa kolonialisme. Padahal kolonialisme adalah kekerasan ekstrem itu sendiri.

19 Februari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Maaf

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Perdana Menteri Belanda meminta maaf kepada Indonesia atas kekerasan ekstrem di masa kolonialisme.

  • Belanda tahun 1940 berbeda dengan Belanda tahun 2022.

  • Kolonialisme adalah institusi jahanam yang arogan yang rakus.

SAYA tak ingat persis. Tapi kini bisa saya duga, siang itu satu hari di bulan Februari 1948. Umur saya tujuh tahun. Sejak semalam sebelumnya saya dengar orang dewasa berbicara tentang “gencatan senjata”; kini saya simpulkan mereka berbicara tentang satu kesepakatan “Perjanjian Renville” yang mencoba mendamaikan konflik bersenjata antara Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dunia tahu, perdamaian itu akhirnya tak bersungguh-sungguh. Tapi hari itu suasana memang tenang. Tadi malam tak terjadi tembak-menembak lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada selintas rasa lega, mungkin riang, tapi juga ganjil.

Tentara Belanda masih mondar-mandir di jalan mengendarai jip terbuka, dengan bedil dipangku, tapi penduduk kota kecil kami memasang bendera merah putih di pintu-pintu. Orang bahkan datang berhimpun di sebuah lapangan. Saya ke sana, ikut Ibu. Tak ada rasa waswas. Satu saat malah orang bersama-sama menyanyikan “Tujuh Belas Agustus” yang waktu itu baru kami kenal. Saya lihat seorang perempuan, teman Ibu dari tanah pembuangan Digul, bernyanyi keras sekali, dengan air mata meleleh.

Tapi ternyata tak sepenuhnya keadaan tenteram.

Agak sore kami pulang dari lapangan, dan penjaga rumah, Sambyat, bercerita bahwa beberapa tentara Belanda bersenjata masuk ke ruang depan, setelah mencabut semua bendera Republik di pintu pagar kami. Seorang serdadu memaksa Sambyat menelan dua helai bendera kertas, lalu mereka pergi.

Malam harinya Ibu bercerita, siang itu ada empat pemuda ditembak mati di tengah sawah. Seregu pasukan KNIL melakukan itu, tanpa ada perkelahian. “Yang mereka bunuh bukan gerilya,” kata Ibu.

Mungkin sejak itu dalam percakapan di rumah, kata “gencatan senjata” berubah jadi “gencetan senjata”....

2022, hampir seabad kemudian, pemerintah Belanda mengeluarkan statemen. “Untuk kekerasan ekstrem yang dilakukan secara sistematis dan meluas oleh Belanda, dan yang secara konsekuen diabaikan kabinet-kabinet sebelumnya, saya atas nama pemerintah Belanda meminta maaf yang dalam kepada bangsa Indonesia,” kata Perdana Menteri Mark Rutte.

Saya tahu kenapa ia minta maaf, tapi saya tak tahu adakah ia orang yang tepat untuk minta maaf. Rutte lahir di tahun 1967—dua puluh tahun setelah Van Mook, pejabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda, mencoba memorak-porandakan bangunan Republik dan memerintahkan agresi militer. Rutte bahkan mungkin tak tahu dengan baik sejarah Indonesia. Ia bagian dari generasi sekian tahun setelah Westerling mengeksekusi ratusan orang di Sulawesi dan mencoba mengudeta pemerintah RI.

Tapi saya tahu sang Perdana Menteri memosisikan diri sebagai “wakil” sebuah bangsa. Ia seakan-akan proxy sebuah sejarah yang, sebagaimana umumnya sejarah, selalu punya, dalam kiasan Hegel, “bangku pembantaian”, Slachtbank.

Saya duga tak ada dorongan hati ketika ia menyatakan minta maaf. Lagi pula di mana saja itu “bangku pembantaian”?

Sejarah ditulis, ingatan kolektif dihimpun. Tapi historiografi punya cacat mendasar: menggunakan bahasa, dan memberi nama, dengan asumsi bahwa dengan itu semua arti dan makna akan bisa dibangun bersama.

“Belanda”, “Indonesia”, “Kekerasan”, dan makna tentang pentingnya kemerdekaan manusia—itu yang diproduksi para sejarawan. Ada harapan bahasa yang dipakai punya arti yang final. Tapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan “Belanda” dan “Indonesia”?

“Belanda” hanya punya arti dalam perbandingan dengan yang “bukan-Belanda”, juga “Indonesia” hanya jelas dalam perbedaan. Perbandingan itu tak akan ada habisnya; arti “Belanda” akan selalu tertunda. Pemberian arti tak bisa selesai dengan sebuah definisi atau sederet kalimat Wikipedia. Kita memahami bahasa bersama waktu. Tiap nama, tiap identitas, tiap cap, sebuah proses.

Maka saya tak mengatakan sesuatu yang orisinal jika mengatakan “Belanda” di tahun 1940-an bukan “Belanda” di tahun 2020. Kaitan antara pemerintah di Den Haag sekarang dan Westerling—yang setelah keluar dari dunia militer mencoba jadi penyanyi opera—hanyalah sebuah hasil abstraksi.

“Saudara masih membenci orang Belanda?” tanya seorang guru besar di Leiden ketika saya baru berkenalan dengannya.

“Tidak,” jawab saya, agak kaget.

“Saya tanyakan itu sebab kami, orang Belanda, masih membenci orang Jerman,” jawabnya.

Dan saya pun ingat Anne Frank. Gadis remaja yang harus bersembunyi selama dua tahun di loteng sebuah rumah di Amsterdam itu, kita tahu, akhirnya tertangkap tentara Jerman yang menduduki Nederland. Anne mati di kamp tahanan orang Yahudi di Bergen-Belsen. Umurnya belum 15.

“Pengalaman kita berbeda,” jawab saya.

Pengalaman, yang selamanya pribadi, selamanya berbeda. Saya tak percaya “ingatan kolektif” bisa jadi saksi yang sahih, tanpa cela. Juga tentang “kekerasan yang ekstrem”. “Kita—anjing diburu—hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang”, kalimat Chairil Anwar ini tiap kali terngiang ketika saya dengar orang hendak menghakimi apa yang terjadi di suatu masa.

Maka saya katakan “ya, saya ikut memaafkan”, ketika seseorang bertanya bagaimana sikap saya terhadap statemen Rutte. Saya ingat, di Makassar, Monginsidi memaafkan regu tentara Belanda yang akan menghabisi nyawanya, 5 September 1949.

Tapi apa arti “kekerasan ekstrem” sebenarnya? Revolusi bukan perjamuan makan malam, kata Mao Zhedong. Dan revolusi Indonesia seperti revolusi Cina, Rusia, Iran, dan Aljazair—tak hanya punya satu “bangku pembantaian”.

Tak berarti semua jadi kabur dan tak mungkin ada penghakiman. Bagi saya “kekerasan ekstrem” jelas: kolonialisme itu sendiri. Kolonialisme adalah institusi jahanam yang arogan yang rakus yang dibangun dengan “ideologi” yang merasa berhak menjadikan orang Indonesia (atau siapa saja) sebagai subhuman, hamba yang tak bernilai manusia.

Itu yang sampai sekarang tak bisa saya maafkan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad

Penyair, esais, pelukis. Catatan Pinggir telah terhimpun dalam 14 jilid. Buku terbarunya, antara lain, Albert Camus: Tubuh dan Sejarah, Eco dan Iman, Estetika Hitam, Dari Sinai sampai Alghazali.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus